“Bagus Lembah, kini kau telah menguasai berbagai ramuan. Aku yakin kau akan menjadi pendekar sejati!” puji sang guru.
“Terima kasih guru, ini semua juga berkat bantuan guru,” sahut Lembah Manah membungkukkan badannya.
Dan potongan ruas bambu yang ketiga telah terisi. Lembah Manah kembali melanjutkan tugasnya untuk menyapu halaman perguruan. Pemuda itu melangkahkan kakinya keluar dari dapur berbarengan dengan Mbok Pani yang tengah pulang dari pasar.
“Emm sini Mbok, Lembah bantu!” ucap Lembah Manah berjalan mendekati Mbok Pani.
“Nggak usah toh le, simbok masih kuat kok!” sahut Mbok Pani menolak bantuan Lembah Manah.
“Sudah biar Lembah saja yang bawa, Mbok!” Lembah Manah memaksa sembari menyambut karung yang di bawa Mbok Pani.
“Sudah beres Mbok, Lembah taruh di atas meja. Emm, Mbok, Lembah mau lanjut ke halaman perguruan!” ujar Lembah Manah sesaat setelah meletakkan karung di atas meja dekat tungku perapian.
“Makasih ya le!” sahut Mbok Pani.
Hari menjelang siang, matahari bersinar sangat terik, Lembah Manah mengayunkan kedua tangannya untuk menyapu halaman dengan sapu lidi yang sudah usang.
Pemuda itu memandangi sekitar halaman perguruan dan sesekali menjatuhkan pandangannya ke aula pembelajaran yang tampak sunyi dengan pintu tertutup rapat.
“Tumben aula pembelajaran sepi, apa si jahil itu tak mengikuti materi!” lirihnya.
Ki Tunggul mengisyaratkan murid perguruan untuk istirahat, karena materi yang pertama telah selesai. Murid perguruan diberi waktu hingga Ki Tunggul kembali ke aula pembelajaran.
Para murid perguruan pun beristirahat. Sembari melepas kepenatan, mereka saling bercengkerama pada paseban yang disediakan di pelataran halaman. Namun, bukannya beristirahat, Ni Luh malah menghampiri Lembah Manah.
“Hei Lembah. Aku mendengar kamu kena hukuman ya atas tindakanmu kepada Wanapati!” ucap Ni Luh mendekati Lembah Manah.
“Emm anu, eh, iya Ni Luh, aku kena hukum dari guru Tunggul!” sahut Lembah Manah dengan nada gugup yang tak berani memandang wajah Ni Luh.
“Aku turut prihatin, semoga kamu bisa melalui hukuman ini ya!” lanjut Ni Luh yang dijawab dengan anggukan kepala Lembah Manah.
Ni Luh Jayanti adalah teman Lembah Manah semasa berada di perguruan. Gadis berambut panjang itu orang tuanya tewas karena melindunginya dari serangan Ki Badra. Dan sebelum dibawa kabur oleh Ki Badra, Ki Gendon berhasil merebut Ni Luh dan membawanya ke Perguruan Jiwa Suci.
Namun, yang membuatnya berbeda adalah, Ni Luh dibawa ke perguruan itu saat berusia lima tahun. Ketika itu, Lembah Manah telah berada di perguruan terlebih dahulu dan usianya tujuh tahun, jadi usia mereka terpaut dua tahun.
Ki Badra Ancala adalah musuh dari Ki Gendon. Dulu mereka berdua saudara seperguruan dan sama-sama menimba ilmu di Perguruan Lembah Kidang. Namun, Ki Badra menyimpang dari ajaran kebaikan dan memilih jalan pintas untuk mendapat kekuatan.
Ki Badra selalu berbuat onar bersama para antek-anteknya. Menculik pemuda dan anak-anak, pria atau wanita, untuk dijadikan ajudan ataupun bahan percobaan ilmu aliran hitam.
Ada juga yang meminta kekuatan kepada Ki Badra, dengan imbalan untuk menjadi pengikut dan patuh pada Ki Badra. Bahkan pria tua bermata satu itu tak segan-segan untuk merampok warga desa yang miskin sekalipun.
“Oh iya Ni Luh, anu, sepertinya aku tak melihat Wanapati, apakah dia tak mengikuti materi?” seru Lembah Manah memberanikan diri menatap lawan bicaranya.
“Iya Lembah, hari ini Wanapati tak mengikuti materi. Kata Jayadipa, Wanapati demam, tubuhnya panas dan menggigil sedari kemarin!” jawab Ni Luh.
“Emm, apakah sudah ada yang memeriksanya?” Lembah Manah penasaran dan kembali bertanya.
“Kemarin sore, Tabib Lee mencoba memeriksanya, tapi beliau tak mengetahui penyebab penyakitnya, jadi hanya diberi ramuan penenang!” sahut Ni Luh menjelaskan.
Beberapa saat yang lalu...
Kemarin sore Wanapati, Jayadipa dan Nata mencoba untuk mengganggu Lembah Manah yang tengah membersihkan perpustakaan.
Mereka bertiga menyelinap melewati kebun tanaman obat di belakang dapur untuk menuju perpustakaan. Namun, nahas bagi Wanapati, tanpa sengaja pemuda itu tergigit ular yang tengah melintas di depannya.
“Aduh!” teriak Wanapati dengan memegangi kaki kanannya.
“Hus, hus, hus, pergi kamu ular sialan!” seru Jayadipa sembari mengusir ular itu dengan ranting kering tak jauh darinya.
“Wanapati, apa kamu baik-baik saja?” tanya Nata tampak khawatir.
Namun, Wanapati hanya merengek memegangi kaki kanannya. Jayadipa dan Nata berniat membawa Wanapati kembali ke kamarnya, setelah mengetahui kawannya itu hanya bisa merengek kesakitan.
“Nata, lebih baik kita bawa Wanapati ke kamar, sebelum ada orang yang melihat!” ucap Jayadipa menolehkan kepalanya ke sekitar.
Akhirnya, Wanapati dibaringkan di dalam kamarnya. Kedua temannya kebingungan melihat tubuh Wanapati yang semakin lama semakin memucat.
Wanapati menggigil kedinginan meski suhu tubuhnya terasa panas. Matanya hanya terpejam, dengan sedikit warna hitam di bawah kantung matanya.
“Guru, guru, guru! Wanapati guru!” teriak Jayadipa memasuki pondokan Ki Tunggul tanpa mengetok pintu terlebih dahulu. “Tolong Wanapati guru!”
“Iya Jayadipa, kenapa dengan Wanapati!” sahut Ki Tunggul.
“Wanapati guru, Wanapati tubuhnya pucat, dia menggigil kedinginan!”
“Ada apa dengan Wanapati, Jayadipa?” Sesepuh Anggada menenangkan Jayadipa.
Seketika guru dan murid itu berlari menuju kamar Wanapati. Ki Tunggul terkejut melihat keadaan Wanapati yang tampak buruk.
“Astaga, kamu kenapa Wanapati? Jayadipa cepat panggil Tabib Lee kemari!” seru Ki Tunggul kepada Jayadipa.
“Kenapa dengan anak ini?” lirih Anggada mengerutkan keningnya.
Jayadipa berlari menuju kediaman Tabib Lee. Rumahnya tidak terlalu jauh dari lokasi perguruan, hanya selisih beberapa puluh meter saja.
Tabib Lee adalah seorang ahli pengobatan, pria tua bermata sipit itu masih ada keturunan dari Tiong Hoa, jadi tak diragukan lagi kemampuannya dalam hal pengobatan.
“Bib, Tabib Lee, tolong saya Bib. Teman saya di gigit ular Bib, tubuhnya menggigil. Ayo Bib, segera ke perguruan, Bib!” seru Jayadipa ketika sampai di rumah Tabib Lee tanpa mengetok pintu terlebih dahulu.
Jayadipa dan Tabib Lee bergegas menuju perguruan dan langsung memasuki kamar Wanapati. Tabib Lee mencoba meraih pergelangan tangan kiri Wanapati, dirasakannya denyut nadi Wanapati.
Dibukanya mata Wanapati yang sedikit berat, terlihat memerah karena efek racun ular itu.
“Bagaimana keadaan muridku, Tabib Lee? Apakah Wanapati bisa sembuh?” seru Ki Tunggul bertanya penuh dengan rasa khawatir akan keselamatan muridnya.
“Iya tabib, bagaimana keadaan muridku?” Sesepuh Anggada juga tampak khawatir.
“Racun ini sudah menyebar ke seluruh tubuh Wanapati, aku tak bisa mengobatinya. Ini kuberikan pil untuk penenang, agar Wanapati tak lagi menggigil!” seru Tabib Lee dengan memberikan beberapa butir pil berwarna hitam kepada Ki Tunggul.
Sekarang...
“Ya sudah Lembah, aku ke dapur dulu ya!” ucap Ni Luh seraya berlalu menuju dapur perguruan.
Lembah Manah belum juga menyelesaikan hukumannya, pemuda itu masih menyapu halaman karena baru saja terhenti oleh kedatangan Ni Luh.
“Apa aku sebaiknya menjenguk Wanapati!” ucapnya lirih.
Pintu diketuk Lembah Manah beberapa kali, tetapi belum ada jawaban dari dalam kamar. Pemuda itu memutuskan untuk kembali ke halaman menyelesaikan tugasnya. Namun, saat Lembah Manah hendak berbalik badan, terdengar suara dari dalam kamar Wanapati.
“Hoi kacung kampret, ada perlu apa kamu kesini!” seru Jayadipa sembari membuka pintu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
◄⏤͟͞✥≛⃝⃕💞༄⍟Mᷤbᷡah_Atta࿐
Laannjjuutt thorrr 👌💪💪
2022-10-13
0
◄⏤͟͞✥≛⃝⃕💞༄⍟Mᷤbᷡah_Atta࿐
Ceritanya makin mantap! 👍👍 tapi sayang sekali kok jarang ada berinteraksi Pembaca dan author atau sesama Pembacanya. 💪💪
2022-10-13
0
lukman
👍👍💪💪
2022-08-08
2