Ch. 3 : Percaya Padaku

...*****...

"Aku pulang!" Selepas melewati hari yang panjang, akhirnya Budi sampai di rumah.

Ia membuka pintu kayu lapuk tersebut dan perlahan masuk sembari mengedarkan pandangan ke segala arah. Sunyi, hanya itu kata yang tepat untuk menggambarkan suasana di dalam rumah sempit ini.

Sembari mengelap peluh yang masih bercuran, Budi berjalan lunglai ke arah kamar mandi. Karena tidak memerhatikan jalan, tanpa sengaja laki-laki itu menabrak seseorang.

"Eh?!" Tabrakan kecil tadi berhasil menyadarkan Budi dari rasa penatnya.

"Kalo jalan liat-liat dong!" Seorang gadis dengan rambut hitam panjang memekik nyaring–memarahi Budi. Alis yang mengernyit serta bibir rapat penuh rasa geram. Tak salah lagi, dia Arin.

Meski dia adalah adik Budi, tetapi nyatanya, Arin enggan menganggap Budi sebagai kakaknya. Ada beberapa faktor yang membuatnya memilih pilihan itu. Terutama tentang kejadian saat di sekolah tadi.

Masalah yang membuatnya kesal selama ini adalah karena dia dan kakaknya–Budi–disekolahkan di sekolah yang sama. Menyadari bahwa kehidupan mereka jelas bertolak belakang, dan memahami bahwa status Budi di sekolah tidak begitu baik, anak perempuan ini pun memutuskan untuk berpura-pura tidak mengenal Budi di sekolah.

Ia akan bersikap seolah dia hanyalah adik kelas biasa. Walaupun sebenarnya, Arin seringkali merasa kesal karena Budi selalu diperbudak oleh preman-preman di sekolah. Sampai hari ini tiba. Hari di mana Arina Khanzira Putri membulatkan tekad untuk menyelamatkan kakaknya.

"Ah, maaf deh, hahaha ...." Budi menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. "Y-ya udah, aku mau mandi dulu deh. Kamu udah makan?" lanjut Budi bertanya.

"Hem." Arin merespons singkat. Gadis itu membuang muka dan berjalan melewati Budi. Tampak tersirat ekspresi bahwa dia masih marah teringat kejadian tadi pagi.

Budi memandangi Arin dengan tatapan aneh. Ia lalu berbalik dan meraih handuk biru bermotif garis lengkung khas abad 21 miliknya. Kaki kiri hendak melangkah masuk, tetapi tiba-tiba hati Budi terketuk oleh perkataan Arin saat di sekolah. Ia mendadak merasa bersalah karena telah menerima tantangan Reza, mengingat bahwa Arin telah membantah mati-matian demi dirinya.

Laki-laki yang awalnya optimis berkat kehadiran Fighter System, sekarang terjebak dalam situasi bingung. Ia menarik lagi kaki kurusnya dan melamun.

Tak heran jika Arin tak sudi menganggapnya kakak selama ini. Sebab, dirinya memang selalu bertindak bodoh.

Pikiran itu muncul secara tiba-tiba. Namun, di saat Budi sedang terjebak, tiba-tiba terdengar suara dari arah sekitar.

Ding!

"Eh?" Budi melirik ke samping lalu mendapati sebuah tulisan di panel biru. Matanya membola, kata-kata berhuruf futuristik itu menyelesaikan segalanya. Hati Budi tergugah, dia tersenyum miring sembari bergumam, "Aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang."

Budi berbalik, berniat menemui Arin kembali. Tetapi, ketika cowok ini baru sampai di ruang tamu, dia tak sengaja menabrak Arin lagi. Keduanya berekspresi sama. Mimik wajah orang yang hendak meminta maaf.

"Eh, ma-maaf, Rin. Aku nggak liat kamu tadi ...." Budi segera meminta maaf lebih dulu agar tidak terjadi permasalahan lebih lanjut.

"...." Tidak ada balasan dari Arin.

Situasi semakin runyam. Budi dapat merasakannya, meski Arin tak bersuara. Ia berpikir bahwa mungkin Arin tengah marah sekarang.

Tetapi, di luar dugaan. "Maaf ...." Arin justru mengucap permintaan maaf. Ia lalu mendongak untuk menatap Budi. "Maaf ... kata itu yang bakal kamu ucapin, kan?" Ternyata, tidak.

Deg!

Sorot mata dingin penuh kemelut emosi terpancar dari kubu Arin. Bibir tipis yang siang tadi digunakan sebagai media gosip sekarang tertutup rapat. Alis natural tipis mulai mengernyit. Inilah susunan ekspresi wajah Arin yang jelas-jelas telah mencapai batas amarahnya.

Bahkan, karena saking takutnya, sampai-sampai membuat Budi bergidik ngeri dan menelan ludah. "Ah, maa–eeh, maksudku bukan begitu!"

"Ah, ya–"

"Buang-buang waktu." Kalimat singkat yang mengalun menjangkau telinga Budi dan masuk secara tajam.

Arin lagi-lagi tidak menghiraukan Budi dan hanya berjalan lurus.

Semakin melihat Arin, semakin tumbuh pula rasa bersalah Budi. Ia merasa bahwa dia gagal menjadi seorang kakak yang baik.

"Nggak berhasil, ya?" gumamnya seraya menatap ke arah dapur. Budi menurunkan alis karena terbebani oleh perasaan kecewa. "Kayanya percuma. Arin udah marah banget sama aku. Kalo begini, gimana caranya biar bersikap terbuka?!"

"Ah, tauah. Mandi dulu aja." Karena enggan terjebak dalam pikiran yang mendalam, Budi pun memutuskan untuk mandi dulu. Ia pikir, mungkin pikirannya akan segar setelah mandi.

Singkat cerita, Budi yang telah selesai mandi pun masuk ke kamarnya. Sementara Arin terlihat masih berkutat dengan bahan-bahan dan peralatan masak di dapur.

Beginilah kehidupan mereka berdua setiap hari. Semenjak sang ayah meninggal dunia, Budi, Arin, dan ibu mereka hidup dalam keterbatasan. Awalnya, mereka hidup bahagia layaknya keluarga pada umumnya, meski semua serba kekurangan. Budi dan Arin saling menyayangi.

Namun, hubungan manis itu merenggang tatkala ibu mereka divonis mengidap penyakit langka sejak tiga tahun lalu. Budi dan Arin hidup dalam kesendirian. Kelaparan, terlantar, semua telah dirasakan oleh kakak beradik ini.

Keduanya tumbuh tanpa kasih sayang orang tua. Maka dari itu, terkadang Arin bersikap arogan dan selalu marah-marah kepada Budi saat keinginannya tidak dapat terpenuhi. Terlebih lagi, Arin merasa malu setiap kali melihat Budi menjadi target perundungan.

Bagai seutas benang yang terputus. Ikatan erat mereka berdua merenggang oleh waktu.

Kembali lagi kepada Budi. Ia mengambil beberapa pakaian dari lemari kayunya dan mengenakannya sebagai busana. Setelah itu, laki-laki itu duduk di kasur sembari memandangi kalimat pada panel sistem yang sejak tadi tidak menghilang.

[Tips Motivasi : Bersikap terbuka, teguh pada pendirian. Kedua sikap yang akan menuntun Host menuju kehidupan yang lebih baik]

"Bersikap terbuka? Teguh pada pendirian?" Budi merebahkan diri di kasur busa padatnya. "Semua cuma omong kosong. Aku sudah terlanjur membenci kalimat itu, tidak akan ada yang memercayaiku meski aku berkata jujur sekalipun."

Budi menghela napas berat sembari menatap langit-langit kamar.

Krieet ...

Pintu kamar terbuka. Sebuah tangan menggenggam gagang pintu dari luar. Menciptakan sebuah celah di antara pintu dan gawang kayu. Budi bergegas bangkit dari posisi merebahnya.

"Makan malam udah siap," ucap suara rendah dari luar. Arin memberi tahu Budi untuk segera keluar makan malam.

"Iya." Laki-laki kurus ini beranjak dari kasur untuk memenuhi panggilan Arin.

Keduanya duduk di meja makan untuk memuaskan rasa lapar. Sebuah makanan berkuah telah tersaji di atas panci dan dua piring serta nasi putihnya juga telah tertata. Makanan yang selalu sama setiap hari. Mie instan rebus.

Tapi, Budi tak ingin mempersalahkannya. Sebab dia tak ingin lagi membuat masalah semakin rumit. Ia menarik kursi kayu dan duduk di sana.

Sekilas, pupil mata Budi melirik Arin. Gadis itu sepertinya benar-benar tidak menghiraukan Budi dan hanya makan makanannya.

Suasana bertambah canggung setiap detiknya. Arin hanya fokus pada makanannya, begitu juga dengan Budi sendiri. Tidak ada satupun dari mereka yang memulai pembicaraan. Tidak, sampai Budi membulatkan tekad untuk memecah keheningan.

Ia berhenti makan untuk beberapa saat dan mulai berbicara. "Arin, sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu soal kejadian di sekolah, aku tau–"

"Jangan bahas itu lagi." Arin menaruh kembali sendok alumunium miliknya. Ia lalu melanjutkan, "Mulai besok, aku bakal menjauh dari kamu waktu di sekolah. Jangan sok kenal sama aku di sekolah."

Kalimat menyakitkan kembali terdengar. "Arin, kenapa kamu keliatan benci sama aku begitu, emang aku salah apa?!"

"Salah?" Arin menatap tajam kedua mata Budi. "Padahal kamu udah tau juga, kan? Kenapa harus tanya lagi?" sambungnya.

"Si pecundang nerima tantangan berantem sama berandalan padahal udah dibela mati-matian," lirih Arin, "aku udah nyelamatin kamu dan nggak peduli kata-kata orang lain. Abis ini, apa kata mereka nanti? Temen-temenku pasti mikir kalo aku itu punya hubungan yang lain sama kamu."

"Reputasiku bakal hancur kalo tau kalo aku ini adiknya kakak kelas yang setiap hari jadi anjing peliharaan." Arin masih terus menerangkan, "kalo nggak bisa ngapa-ngapain, seenggaknya jangan nyusahin orang lain."

Budi tertunduk lesu saat mendengar segala uneg-uneg adiknya.

"Sekarang pilihannya tinggal satu. Minta maaf sama Reza, atau kita nggak usah kenal sama sekali," tegas gadis tersebut, "aku ngomong ini karena masih mikirin kamu. Mau gimanapun, kamu ini tetep kakak kandungku. Jangan bertindak bod–"

"Kalo misalnya aku bisa ngalahin Reza, kamu bakal nganggep aku sebagai kakakmu?" Budi berbicara dengan kepala tertunduk.

Kalimat itu membuat kedua alis Arin mengernyit. "Apa maksudmu? Jangan bilang kamu mau–"

"Ya, aku bakal tetep ngelawan Reza," ungkapnya, "aku minta maaf karena ngebuat kamu jadi terlibat sampai sini. Tapi, aku janji, besok lusa, aku bakal balikin semuanya."

Brak!

Arin menggebrak meja sekuat tenaga. Deru napasnya mendengus, gigi-giginya bergesekan. "Jangan ngayal deh! Kalo kamu nanti dihajar sampe babak belur sama dia gimana?!"

"...."

Budi melukis senyuman miring. "Percaya padaku. Aku pasti menang."

Arin menatap Budi yang berekspresi seolah semua akan baik-baik saja.

"Ya udah yuk, makan dulu. Aku laper nih." Dalam waktu bersamaan, Budi mengalihkan topik pembicaraan. Berupaya menurunkan emosi Arin sekaligus mencairkan suasana.

~Bersambung~

Terpopuler

Comments

PANITIA KIAMAT

PANITIA KIAMAT

CK Bud pola pikir kamu gimana sih?, kebanyakan bacod tinggal latihan aja seperti latih tubuh atau Seni bela diri gituu, nyusahin aja pantes jadi babu, lawan Ampe mati, antara kamu mati atau musuhmu yang mati, itu baru di kotaa belum diluar negri, beda lagi moralnya, lu pengecut lu habis"an dibully Ampe bundir, makanya jadi laki tuh jangan pengecut, takut boleh tapi tidak selamanya harus takut.

2023-01-15

0

GreatSage_Gilgamesh

GreatSage_Gilgamesh

kalah gelut santet bertindak

2022-08-29

0

Wong kam fung

Wong kam fung

Bercucuran

2022-06-08

0

lihat semua
Episodes
1 Ch. 1 : Budi si Pengecut
2 Ch. 2 : Fighter System
3 Ch. 3 : Percaya Padaku
4 Ch. 4 : Menghadapi Para Preman
5 Ch. 5 : Kemenangan Mudah?
6 Ch. 6 : Saatnya Pembuktian!
7 Ch. 7 : Bertarung Melawan Reza (Part 1)
8 Ch. 8 : Bertarung Melawan Reza (Part 2)
9 Ch. 9 : Menjenguk Ibu
10 Ch. 10 : Melawan Para Perundung
11 Ch. 11 : Kirana?
12 Ch. 12 : Ran, Teman Masa Kecil
13 Ch. 13 : Ran, Teman Masa Kecil (Part 2)
14 Ch. 14 : Ran, Teman Masa Kecil (Part 3)
15 Ch. 15 : SMA Taran Barat
16 Ch. 16 : Pulang Terlambat
17 Ch. 17 : Apa yang Sebenarnya Terjadi?
18 Ch. 18 : Pertarungan Dimulai
19 Ch. 19 : Perseteruan yang Masih Belum Berakhir
20 Ch. 20 : Raya si Cewek Beringas
21 Ch. 21 : Alvaro
22 Ch. 22 : Diterima Kerja dan Musuh Baru?
23 Ch. 23 : Pertemuan Antar Pemimpin SMA Taran
24 Pertemuan Antar Pemimpin SMA Taran (Part 2)
25 Ch. 25 : Pertemuan Antar Pemimpin SMA Taran (Part 3)
26 Ch. 26 : Ajari Aku Silat!
27 Ch. 27 : Jaket Hitam yang Serbaguna
28 Tolong dijawab!
29 Ch. 28 : Menuju Padepokan dan Bertemu dengan Abah Raya
30 Ch. 29 : Cara Mengalahkan Taekwondo? Menjelma Jadi Seorang Grappler!
31 Ch. 30 : Bukan Tangkisan Silat, Tapi Gi-choke!
32 Ch. 31 : Alam yang Seolah Enggan Membantu
33 Ch. 32 : Cara Orang Biasa Mengalahkan Seorang Taekwondo
34 Ch. 33 : Cara Orang Biasa Mengalahkan Seorang Taekwondo (Part 2)
35 Ch. 34 : Cara Orang Biasa Mengalahkan Seorang Taekwondo (Part 3)
36 Ch. 35 : Pria Aneh
37 Ch. 36 : Kenapa Kau di Sini?
38 Ch. 37 : Rencana Theo dan Kawan-kawan
39 Ch. 38 : Chika
40 Ch. 39 : Awal dari Sebuah Konflik
41 Um...
Episodes

Updated 41 Episodes

1
Ch. 1 : Budi si Pengecut
2
Ch. 2 : Fighter System
3
Ch. 3 : Percaya Padaku
4
Ch. 4 : Menghadapi Para Preman
5
Ch. 5 : Kemenangan Mudah?
6
Ch. 6 : Saatnya Pembuktian!
7
Ch. 7 : Bertarung Melawan Reza (Part 1)
8
Ch. 8 : Bertarung Melawan Reza (Part 2)
9
Ch. 9 : Menjenguk Ibu
10
Ch. 10 : Melawan Para Perundung
11
Ch. 11 : Kirana?
12
Ch. 12 : Ran, Teman Masa Kecil
13
Ch. 13 : Ran, Teman Masa Kecil (Part 2)
14
Ch. 14 : Ran, Teman Masa Kecil (Part 3)
15
Ch. 15 : SMA Taran Barat
16
Ch. 16 : Pulang Terlambat
17
Ch. 17 : Apa yang Sebenarnya Terjadi?
18
Ch. 18 : Pertarungan Dimulai
19
Ch. 19 : Perseteruan yang Masih Belum Berakhir
20
Ch. 20 : Raya si Cewek Beringas
21
Ch. 21 : Alvaro
22
Ch. 22 : Diterima Kerja dan Musuh Baru?
23
Ch. 23 : Pertemuan Antar Pemimpin SMA Taran
24
Pertemuan Antar Pemimpin SMA Taran (Part 2)
25
Ch. 25 : Pertemuan Antar Pemimpin SMA Taran (Part 3)
26
Ch. 26 : Ajari Aku Silat!
27
Ch. 27 : Jaket Hitam yang Serbaguna
28
Tolong dijawab!
29
Ch. 28 : Menuju Padepokan dan Bertemu dengan Abah Raya
30
Ch. 29 : Cara Mengalahkan Taekwondo? Menjelma Jadi Seorang Grappler!
31
Ch. 30 : Bukan Tangkisan Silat, Tapi Gi-choke!
32
Ch. 31 : Alam yang Seolah Enggan Membantu
33
Ch. 32 : Cara Orang Biasa Mengalahkan Seorang Taekwondo
34
Ch. 33 : Cara Orang Biasa Mengalahkan Seorang Taekwondo (Part 2)
35
Ch. 34 : Cara Orang Biasa Mengalahkan Seorang Taekwondo (Part 3)
36
Ch. 35 : Pria Aneh
37
Ch. 36 : Kenapa Kau di Sini?
38
Ch. 37 : Rencana Theo dan Kawan-kawan
39
Ch. 38 : Chika
40
Ch. 39 : Awal dari Sebuah Konflik
41
Um...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!