Makan malam kini sudah selesai dan tanpa kehadiran Gilang yang memang sudah mengabari akan makan malam bersama dengan Bayu asistennya.
Cahaya sudah diperkenalkan oleh Jelita pada kedua mertuanya, Gavin suaminya dan terakhir Grizelle putrinya. Semuanya menyambut Cahaya dengan baik, hingga hal itu membuat Cahaya merasa sangat bersyukur.
"Hmm, Terima kasih ya Cahaya, makan malam ini sangat enak. Kata Bik Narti, kamu yang memasak semuanya," Gavin buka suara yang ditanggapi dengan anggukan kepala oleh semua yang ada di meja makan itu, membenarkan pernyataan Gavin.
"Sama-sama, Tuan. Aku senang kalau semuanya suka dengan masakan saya," sahut Cahaya dengan sopan.
"Ya udah! mudah-mudahan kamu betah ya, bekerja di sini," Melinda yang merupakan mamanya Gavin buka suara.
"Iya, Nyonya!" sahut Cahaya.
"Panggil saja oma! aku sudah tua soalnya," sambar Melinda yang memang tidak suka dipanggil nyonya dari dulu
"Tapi ...."
"Tidak ada tapi-tapi! kamu panggil aku Oma, sama seperti kedua cucuku," Melinda langsung menyela ucapan Cahaya.
"Ba-baik, Oma!" pungkas Cahaya akhirnya.
"Nah, begitu lebih bagus," Melinda tersenyum senang. "Emm, sepertinya aku mau ke ruang TV dulu. Oma tinggal dulu ya," Melinda berdiri dari kursinya dan berjalan meninggalkan ruang makan disusul oleh Ganendra sang suami. Tidak lama kemudian, Gavin juga berdiri dari kursinya, disusul oleh Jelita dan Grizelle.
Setelah ruang makan sudah kosong, Cahaya dengan sigap langsung membereskan meja makan dan mencuci segala peralatan makan. Kemudian setelah semuanya bersih, Cahaya pun kembali masuk ke dalam kamarnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Cahaya kini sudah terlihat berganti pakaian dan berbaring di atasnya ranjangnya. Ranjang yang sangat empuk dan nyaman. Ini benar-benar sangat berbeda dengan kasur tempat tidurnya di panti.
Mata gadis itu, menerawang menatap langit-langit kamarnya, mengingat kisah yang dia alami selama ini. Tiba-tiba, cairan bening menetes membasahi pipinya dan langsung disekanya. Beginilah sebenarnya dirinya. Di depan orang-orang dia akan selalu tersenyum, berusaha untuk menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja. Namun, ketika dia sudah sendiri, air mata akan selalu menemani gadis itu.
"Mama, Papa, aku merindukan kalian berdua," gumam Cahaya dengan mata yang berkilat-kilat.
Di saat Cahaya hendak memejamkan matanya, terdengar ada bunyi dering yang datang dari dalam tas bututnya. Cahaya langsung bangun dari tidurnya, dan mengambil benda yang berdering itu dari dalam tasnya. Tampak sebuah ponsel butut, yang sudah diikat dengan sebuah karet dapur, berkedip-kedip pertanda ada yang sedang menghubunginya.
"Halo, Bu!" ucap Cahaya pada orang yang menelepon, yang tidak lain adalah ibu panti, wanita yang sangat menyayanginya, seperti putri kandung sendiri. Wanita yang memberikan kasih sayang dengan tulus padanya.
"Hallo, Nak. Bagaimana, apa kamu baik-baik saja? apa majikan tempat kamu bekerja itu baik? apa kamu sudah makan?" tanya wanita di seberang sana dengan bertubi-tubi. Terdengar jelas kalau wanita itu sangat khawatir dengan keadaan Cahaya.
"Tanyanya satu-satu dong, Bu. Aya kan jadi bingung mau jawab yang mana dulu," protes Cahaya, dengan tersenyum, walaupun dia tahu kalau wanita di seberang sana tidak akan bisa melihat senyumnya.
Terdengar suara tawa kecil dari seberang sana. Ya, seperti itulah ibu panti yang sering dipanggil dengan ibu Sukma itu. Wanita itu selalu saja memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus pada semua anak-anak panti, tidak terkecuali Cahaya. Wanita itu selalu tidak pernah absen untuk bertanya bagaimana keadaan anak-anak yang dia asuh. Apalagi sekarang, Cahaya yang baru saja keluar dari panti. Hal itu membuat ibu Sukma khawatir dengan keadaan Cahaya.
"Kamu seperti tidak kenal ibu saja, Aya. Ibu benar-benar khawatir, Nak sama kamu. Ibu takut kamu mendapat perlakuan tidak baik dari majikan tempat kamu bekerja," ucap ibu Sukma.
Cahaya kembali tersenyum, mendengar ucapan ibu Sukma. "Ibu tenang saja. Aku baik-baik saja di sini, Bu dan majikanku semuanya orang baik. Aku juga sudah makan tadi, Bu." ujar Cahaya, menenangkan ibu Sukma.
"Syukurlah, kalau begitu." ucap Sukma, lega. "Nak Cahaya, apa kamu benar-benar mau bekerja di sana? apa tidak sebaiknya kamu kembali ke sini, Nak. Kamu bisa membantu ibu untuk mengurus adik-adikmu," Sukma kembali berusaha membujuk Cahaya agar berpikir ulang untuk bekerja sebagai pembantu.
"Bu, keputusanku sudah bulat. Aku tahu, kalau kondisi panti sekarang tidak terlalu baik. Sudah saatnya aku bekerja, bu. Cahaya akan membantu meringankan beban ibu, walaupun memang hanya sedikit. Sekarang, ibu doakan saja supaya pekerjaan Aya lancar," sahut Cahaya lugas.
Sukma menghela napasnya dengan cukup berat. Wanita itu tahu, kalau Cahaya sudah bertekad, tidak akan ada yang bisa membuat meruntuhkan niatnya itu.
"Baiklah, kalau memang itu sudah menjadi keputusanmu. Kalau untuk masalah doa, ibu tentu saja tidak akan pernah berhenti untuk mendoakanmu. Semoga suatu saat kehidupan kamu semakin baik ke depannya, Nak." ucap ibu Sukma dengan tulus.
"Terima kasih, Bu buat doa dan dukungannya, Bu." ucap Cahaya dengan tulus.
Setelah berbicara beberapa saat lagi, akhirnya Cahaya memutuskan panggilan setelah ibu Sukma pamit hendak tidur.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Gilang menepikan mobil yang dia kemudikan, setelah sampai di depan rumah. Pria itu melangkah masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang terlihat lelah. Bagaimana tidak, hari ini pria itu sangat sibuk. Klien pentingnya yang datang dari luar negeri, akan kembali ke negaranya malam ini juga. Jadi, mau tidak mau, dia yang tadinya sudah pulang dari kantor, terpaksa pergi lagi untuk menemui sang klien.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, ketika pria itu menginjakkan kakinya di dalam rumah. Pria itu tidak langsung naik ke atas, tapi lebih dulu ke dapur karena merasa haus.
Suasana dapur sangat lengang dan minim cahaya. Namun, Gilang tidak berniat untuk menyalakan lampu besar karena tujuannya memang hanya untuk minum.
Sementara itu, Cahaya yang juga tiba-tiba merasa haus, turun dari atas ranjangnya dan langsung melangkah menuju dapur. Wanita itu juga sama seperti Gilang yang tidak berniat untuk menghidupkan lampu.
Jantung Jelita berdebar kencang, begitu melihat ada bayangan di depan dispenser.
"Sepertinya itu pencuri. Aku tidak boleh membiarkannya. Aku harus bisa menangkapnya," batin Cahaya sembari meraih sapu yang sudah dia hapal di mana tempatnya. Kemudian, wanita itu berjalan dengan sangat perlahan, mendekati bayangan yang dia yakin seorang pria itu.
"Mati kamu, mati kamu! dasar pencuri sialan!" maki Cahaya sembari memukulkan sapu yang ada di tangannya ke tubuh Gilang dengan berkali-kali.
"Aduh, sakit, sakit! pekik Gilang sembari berusaha menangkap sapu yang dipukulkan oleh Cahaya.
"Rasain! makanya jangan mencoba untuk mencuri di sini!" umpat Cahaya yang sekuat tenaga berusaha mempertahankan sapu yang ada di tangannya.
"Auw!" jerit Gilang begitu kaki Cahaya menendang benda yang sangat berharga miliknya, apalagi coba kalau bukan senjata pusakanya yang tersembunyi di balik celananya.
"Ada apa ini?" tiba-tiba lampu besar menyala, dan dapur langsung terang benderang.
"Ini, Bu, Tuan, ada yang berniat mau mencuri di sini," ucap Cahaya pada dua orang yang baru datang, yang merupakan Gavin dan Jelita sambil menunjuk ke arah Gilang.
"Pencuri apaan? enak aja nuduh aku pencuri," ucap Gilang dengan wajah yang meringis kesakitan.
"Tu-Tuan Gilang," gumam Cahaya dengan raut wajah takut, apalagi begitu melihat tatapan Gilang yang sangat tajam dan bengis ke arahnya.
"Ma-Maaf, Tuan! aku benar-benar tidak tahu kalau itu anda," Cahaya menundukkan kepalanya, tidak berani menatap wajah merah Gilang.
"Lain kali, jangan sembarangan mukul orang. Kamu mau tanggung jawab kalau aku ada apa-apa? Emangnya kamu ada uang untuk membawa saya ke dokter?" bentak Gilang yang sama sekali tidak peduli dengan tubuh Cahaya yang gemetaran karena takut.
"Sudah, sudah! Cahaya tidak tahu sama sekali kalau itu kamu. Jadi jangan salahkan Cahaya. Itu salahmu sendiri yang tidak menyalakan lampu," Gavin buka suara, menyalahkan sang anak.
Gilang mendengus dan melangkah keluar dari dapur dengan raut wajah kesal.
"Nak Cahaya, maafkan ucapan anak ibu ya! dia mungkin terlalu lelah hari ini, jadi gampang emosi," Jelita mendekati Cahaya yang benar-benar ketakutan.
"Aku yang seharusnya minta maaf, Bu. Aku sudah memukul Tuan Gilang tadi," ucap Cahaya dengan suara yang bergetar menahan tangis.
"Ya udah, tidak apa-apa. Sekarang kamu kembali ke kamar kamu saja. Besok ibu yakin kalau Gilang tidak akan marah lagi," ujar Jelita kembali.
"Baik, Bu!" Cahaya melangkah ke luar dari dapur menuju kamarnya. Rasa haus yang tadinya dia rasakan menguap entah kemana.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
nurul zauhariyah
hahaha...
thor, nama tokohnya sama dgn nama saya... panggilannya juga sama...
cahaya.. aya...
utk nama lengkapnya enggak... 😆😆😆😆
2023-12-17
1
LES TARI
kok aku bahasane
2023-12-17
0
diksiblowing
the best sabar si cahaya
2022-04-23
0