Setelah hampir satu minggu Hartanto pergi ke luar kota bersama istrinya untuk urusan bisnis, akhirnya ia harus pulang ke rumah tanpa ditemani Kirana karena istrinya itu masih memiliki urusan penting di sana.
Saat Hartanto melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Suasana rumah ini terasa tidak seperti biasanya. Ia berjalan menaiki tangga dengan hati-hati. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara tangisan dari lantai atas. Ia menelusuri asal suara itu, dan betapa terkejutnya ia saat mengenali suara itu sebagai tangisan anaknya, Dimas.
"Mutiara... aku mohon, tolong maafkan diriku... Aku tidak sengaja menyentuhmu... aku sedang dipengaruhi alkohol dan kehilangan akal sehat saat malam itu," ujar Dimas dengan isak tangisnya yang dalam.
DEG.
Hartanto terdiam, syok setengah mati mendengar pengakuan anaknya sendiri. Ia langsung berbalik turun ke lantai bawah dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Tangannya bergetar, pikirannya kalut.
"Aku harus bagaimana kalau Kirana tahu kejadian ini? Dia pasti akan menceraikan aku, dan memenjarakan Dimas! Tidak... jangan sampai itu terjadi!" batinnya kacau sambil mengacak rambutnya frustasi.
"Kenapa sih mereka selalu jadi penghalang untuk kebahagiaanku..." gumamnya lirih, lalu menatap gelas di tangannya.
"Bagaimanapun caranya... aku harus buat mereka diam. Jangan sampai salah satu dari mereka cerita ke Kirana... terutama Mutiara. Aku harus bisa membuat anak itu pergi dari rumah ini... tanpa harus repot-repot mengusirnya..." lanjutnya sambil memutar-mutarkan gelas.
Sementara itu, di lantai atas, Dimas masih berdiri di depan kamar Mutiara.
"Pergi, Kak! Aku tidak mau melihat wajahmu lagi!" tangis Mutiara dari balik pintu.
Dimas terdiam. Ia tahu tidak ada gunanya memaksa. Dengan berat hati, ia berjalan turun.
Saat ia sampai di dapur untuk mengambil air, ia terkejut melihat ayahnya sudah duduk di meja makan dan menatapnya tajam.
"Papah...? Sejak kapan datang? Seharusnya papah kasih kabar, biar aku bisa jemput di bandara."
"Papah sudah tahu semuanya," jawab Hartanto datar. "Sekarang duduk. Papah mau bicara."
Dimas duduk.
"Kenapa kamu lakukan ini? Apa kamu nggak mikir dampaknya?!"
"Maafkan Dimas, Pah. Aku sangat menyesal... Sekarang, aku harus bagaimana?"
Hartanto memijit pelipisnya. Ia berpikir keras, lalu menatap anaknya dengan serius.
"Begini saja. Jangan pernah kamu cerita soal ini ke Kirana. Anggap aja kejadian ini nggak pernah terjadi. Paham?"
"Tapi, Pah... bagaimana dengan Mutiara? Bagaimana nasib dia nanti?"
"Papah yang akan bicara sama dia nanti. Kamu nggak usah mikir itu. Pikirin aja dirimu sendiri. Semua ini papah lakukan demi masa depanmu juga. Mengerti?"
"Iya, Pah... Tapi tolong sampaikan permintaan maafku ke Mutiara."
Sementara itu, Mutiara yang sudah siap berangkat sekolah, akhirnya turun ke dapur untuk mengambil camilan. Sesampainya di dapur, ia kaget melihat Dimas dan Hartanto sedang berbicara serius dan menatapnya bersamaan. Ia hanya bisa menunduk, lalu berjalan cepat ke kulkas.
"Huh... sial. Kenapa tadi aku malah ke dapur? Kalau tahu begini mending langsung aja berangkat ke sekolah... Tapi mau gimana lagi, urusan perut nggak bisa ditunda," batinnya, lalu berjalan keluar tanpa menoleh sedikit pun.
Saat di perjalanan menuju sekolah, sebuah mobil membuntutinya dari belakang.
Bim bim bim!
"Mutiara, ayo bareng aja naik mobil. Daripada nunggu taksi, kesel nanti," ajak Dimas sambil memperlambat laju mobilnya.
DUK.
"Singkirkan mobilmu dari pandanganku!" ketus Mutiara. "Aku nggak butuh tumpanganmu. Jadi, menyingkirlah!"
Dimas hanya bisa terdiam ketika adiknya berjalan menjauh, melambaikan tangan memanggil taksi.
---
Sesampainya di sekolah, beberapa temannya menyapa Mutiara dengan ramah.
"Tumben... kenapa mereka sok ramah? Ah... mungkin karena hari ini ujian terakhir matematika. Mereka pasti berharap aku kasih contekan. Heh... jangan harap!" batinnya sambil membuka roti sandwich.
Waktu ujian pun dimulai. Saat ia sedang fokus mengerjakan, beberapa teman tiba-tiba mengerumuninya.
"Ara, mana kertas soalnya? Sini!"
"Gue dulu, dia udah banyak yang diisi tuh!"
"Ara, please... kamu kan baik... ya?" rayu yang lain.
"TIDAK MAU!" tegas Mutiara. "Kerjakan sendiri! Kembali ke meja kalian!"
"Huh... mana tuh guru pengawas. Kok lama banget di toilet?" gerutunya.
"Eh, cepat balik! Tuh, guru mau datang!" ucap Mutiara sambil menunjuk ke arah pintu.
Sontak mereka semua kembali ke tempat duduk masing-masing.
"Ehem... maaf ya, Ibu lama di toilet," ucap guru pengawas.
"Santuy, Bu... eh," celetuk salah satu siswa.
"Sudah-sudah! Cepat kerjakan! Waktu tinggal beberapa menit lagi!"
Tiba-tiba Mutiara mengangkat tangan.
"Bu, Ara sudah selesai."
Semua mata menatapnya takjub.
"Oke, silakan kumpulkan kalau sudah yakin."
"Sudah diperiksa juga, Bu. Ara yakin."
"Baik, silakan kumpulkan dan boleh pulang."
Mutiara berjalan ke depan, lalu sebelum keluar, ia menoleh dan mengedipkan mata pada teman-temannya sambil menyeringai.
"Sialan! Anak itu sombong banget!" geram salah satu temannya.
---
Saat pulang ke rumah dan hendak masuk kamar, Mutiara dihadang oleh Hartanto.
"Mutiara, sini dulu. Papah mau bicara."
Ia mendekat dengan ragu.
"Soal kejadian tadi malam... kamu jangan pernah cerita ke Kirana. Kalau sampai kamu cerita... kamu tahu akibatnya! PAHAM?!"
"Ya... itung-itung kamu balas budi. Selama ini siapa yang bayarin sekolah kamu? Siapa yang nampung kamu di rumah ini?! SAYA!" bentaknya sambil menunjuk dirinya sendiri.
Mutiara hanya bisa menangis dan mengangguk pelan, tidak sanggup berkata apa pun.
Tiba-tiba, di sela percakapannya dengan anak tirinya itu, Hartanto mendengar suara yang tidak asing di telinganya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Fadhila Hasna luthfiyah
kek tersambar petir ye
2023-01-07
0
Triple.1
ada ya bapak kek gitu..Weh bapak tiri sih yaa...
2022-04-11
0