Jakarta, Indonesia
"Selamat datang dirumah Arana. Ayo masuk," ajak Lidia.
Sesuai bayangannya, rumah keluarganya sangat besar. Hampir layak disebut sebagai sebuah mansion. Dinding putih caramel dan jendela-jendela tinggi yang menjulang. Arana bahkan mampu melihat rumah itu dari kejauhan. Yah, berbeda sekali dengan apartemen kecilnya yang patut dikatakan bobrok. Tetapi Arana tidak memiliki sedikitpun kesan terhadap bangunan ini, semewah dan semegah apapun itu.
Seumur hidupnya, Arana tidak pernah mengenalnya sebagai rumahnya.
Ketika Arana melangkah masuk, ada seseorang yang berlari sebelum akhirnya memeluk Lidia dengan erat. Arana sedikit mematung ditempatnya, memandang wajah yang bak pinang dibelah dua darinya. Hanya saja yang membedakan keduanya hanyalah helaian surai curly kecoklatan gadis itu yang sebatas bahu, sementara miliknya hitam panjang.
"Mama, Alana merindukan mama dan papa!" Riangnya.
Ah, Alana sedikit mengalihkan tatapannya. Bahkan suaranya sama, andai saja Arana bisa lebih ceria dan kekanakan.
"Ini .. Arana?" Gadis itu terdiam sebelum bertanya dengan ragu ketika melihat Arana. Ia segera mengernyit. "Kenapa penampilannya sangat kampungan! Bagaimana Alva bisa percaya jika dia menjadi aku, ma?"
Tidak ada haru biru dari dua saudari kembar yang terpisah. Tidak ada air mata kebahagiaan, dan tidak ada pelukan hangat. Hanya ada tatapan mencemooh dan merendahkan, dari gadis yang memiliki wajah serupa dengannya.
"Alana, sayang. Dengarkan mama dulu. Kita akan membawa Arana ke salon dan mendandaninya nanti. Jangan khawatir." Kata Lidia menenangkan Alana.
Arana terkekeh pelan, sebelum memandang Michael. "Bisakah aku beristirahat lebih dulu? Aku sedikit lelah."
"Bibi, antar Arana kekamar tamu." Kata Michael menyuruh bibi pengurus rumah.
Wanita setengah baya itu mengangguk. "Baik tuan. Mari nona, ikuti saya."
Menyeret kopernya, Arana meninggalkan tiga orang diruang utama itu tanpa menoleh lagi. Dia meremat bajunya dan menahan rasa sakit dihatinya. Setelah melihat dirinya dan kembarannya dia sangat yakin jika wajah mereka sama. Mereka juga memiliki tinggi yang hampir sama. Tetapi mengapa mereka diperlakukan begitu beda?
Lihat, bahkan dia ditempatkan dikamar tamu.
Memangnya, apa yang membedakan mereka? Apa yang membuat mereka diperlakukan berbeda?!
"Terima kasih sudah mengantarku, bi." Ucap Arana dengan senyuman.
Bibi didepannya menyunggingkan senyuman dan menganggukkan kepalanya, sebelum melangkah meninggalkan Arana dikamar tamu untuk melepas penatnya setelah melakukan perjalanan udara selama hampir semalaman.
Arana merebahkan dirinya diatas tempat tidur dan memandang langit-langit kamar, sebelum dalam hitungan menit terseret dalam alam mimpi.
...***...
Tok! Tok! Tok!
"Arana, bangun." Suara panggilan dan ketukan pintu itu membuat Arana terbangun dari tidur nyenyaknya. Ketika dia menatap keluar jendela, langit sudah begitu terang.
Ia bangkit berdiri dan membuka pintu. "Ada apa?"
Lidia berdiri didepan pintu dan telah berdandan dengan rapi. Mengenakan sebuah kemeja berlengan panjang berwarna biru dan rok span putih, lengkap dengan sepatu hak tinggi dan tas dompet ditangannya.
"Bersiap-siaplah, kita akan berbelanja sekaligus mengubah penampilanmu. Mama akan menunggu dibawah," katanya.
Ia hendak pergi sebelum berhenti dan kembali berbalik menambahkan sepenggal kalimat. "Dan jangan lupa menggunakan masker. Jangan sampai ada yang melihat bahwa kalian berdua kembar selain penata rias mama."
Arana menurunkan pandangannya sebelum mengangguk. "Baiklah."
Memangnya Arana memiliki pilihan lain?
Setelah menutup pintu kamarnya, Arana keluar setelah setengah jam berlalu. Seperti biasa, Arana mengenakan kacamatanya dan menambahkan masker putih yang menutup wajah cantiknya. Ia mengenakan kemeja berlengan panjang dengan cardigan rajutan warna maroon, sementara bawahannya mengenakan celana panjang berbahan jeans.
Masih sederhana.
Ketika turun, Arana melihat Lidia sedang membenahi penampilan Alana. Gadis itu bersungut ketika merasa terlalu lama menunggu Arana untuk turun.
"Kamu lama sekali, sih!" Keluhnya.
Arana hanya bergumam samar, "Maaf."
"Sudah-sudah, ayo berangkat sekarang. Kita harus membeli banyak keperluan." Kata Lidia membuat Alana mendengus dan segera memasuki mobil.
Ia melirik Arana sinis. "Jika aku tidak membutuhkanmu untuk rencanaku, bagaimana mungkin aku membiarkanmu duduk dimobilku. Kamu membawa banyak kuman ditubuhmu."
Arana yang duduk dibangku penumpang depan tidak mengatakan apapun. Ia hanya menyenderkan punggungnya ke kursi dan memfokuskan pandangannya ke luar jendela mobil yang dikendarai supir pribadi Alana. Dia tidak buta dan dia tidak tuli. Dia jelas merasakan aura permusuhan Alana padanya. Mungkin Alana berpikir jika keberadaannya bisa mengancam kedamaian hidupnya.
Namun sayangnya, Arana bahkan tidak berpikir bahwa dia akan mendapatkan celah sedikitpun dikeluarga itu.
Setengah jam melalui perjalanan dalam mobil, mereka sampai disebuah pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta. Alana dan Lidia lebih dulu turun.
"Kami akan mencarikan barang-barang yang biasa dibeli Alana. Kamu akan diantar supir kesalon tempat favorit mama. Cari saja wanita bernama Manada, dan katakan jika kamu adalah Arana, anak mama. Mama sudah menjelaskan padanya apa yang harus dia lakukan padamu." Kata Lidia.
"Aku mengerti." Dia menganggukkan kepalanya.
Oh, ada satu orang yang menyadari keberadaannya sebagai putri dari pasangan Michael dan Lidia.
"Kalau begitu kami akan masuk. Pak Anton, ketempat biasanya." Kata Lidia membuat supir yang bernama Anton mengangguk.
"Baik nyonya!" Setelahnya, mobil melaju pergi meninggalkan area pusat perbelanjaan itu.
...***...
"Terima kasih sudah mengantar saya, pak Anton." Kata Arana pada Anton.
"Sudah tugas saya, non. Tidak masalah bahkan jika bapak harus mengantar non ke ujung dunia sekalipun!" Canda Anton membuat tawa Arana terbit.
Ia membuka pintu sembari terkekeh, "Haha. Pak Anton bisa saja. Kalau begitu saya masuk dulu ya."
"Silakan non."
Melangkah memasuki sebuah salon besar dan nampak mewah, Arana mendapati bahwa bagian dalam salon itu lebih mewah. Seperti inilah tempat yang selalu didatangi Lidia setiap minggunya sementara dirinya sendiri harus bekerja dari pagi sampai siang hanya untuk membayar hunian sederhananya.
Arana menyunggingkan senyuman miris.
"Halo, apakah ada yang bisa dibantu?"
Arana menoleh dan mendapati seorang pegawai berdiri didekatnya, menyambutnya sesaat setelah dia masuk. "Saya ingin bertemu dengan Bu Manada. Saya sudah membuat janji dengan beliau. Katakan saja jika Arana sudah menunggu dibawah sini."
"Ah, baiklah. Silakan tunggu sebentar, saya akan memanggilkan madam Manada." Pegawai itu mengangguk mengerti sebelum berkata hendak memanggilkan Manada. Setelahnya, dia berbalik dan pergi meninggalkan Arana yang kemudian duduk dibangku tunggu.
"Arana?"
Lima menit berlalu, ada suara yang memanggilnya. Arana meletakkan majalah ditangannya dan menoleh, untuk mendapati seorang wanita bersurai kemerahan curly panjang melangkah turun dari anak tangga. Arana sedikit mengangguk memberi salam.
"Ibumu sudah membuat janji dengan madam. Kita bisa mulai make over-nya." Ucap Manada sembari menatap Arana dari atas kebawah.
Ia menarik Arana dan mendudukkannya diatas bangku putar sebelum menghadapkannya kecermin besar. Dia memegang kedua pundak Arana dan berkata dengan penuh keyakinan.
"Madam akan membuatmu terlihat berkali-kali lebih baik daripada gadis nakal itu, sayang~ Percayakan saja pada madam."
Arana berkedip.
Gadis nakal? Apakah yang dimaksud adalah Alana?
Arana menggelengkan kepalanya samar. Bagaimana dia bisa lebih baik daripada Alana? Sejak kecil Alana sudah terbiasa mendapatkan perawatan yang mewah, hingga bahkan kulitnya pun tidak memiliki satu bekas luka pun. Sementara Arana, bahkan memiliki jejak sisa kapalan ditangannya akibat sering mengangkat pot dan memotong duri bunga yang akan dikemas menjadi buket dan karangan bunga.
Rambut Alana sehalus dan selembut kain sutra, sementara miliknya bahkan hampir menyamai sapu andai saja dia tidak mendapatkan suplai shampo dari Amber ketika gadis pirang itu melihat kondisi rambutnya yang tak terawat.
Tubuh Alana tinggi semampai dan ramping karena pola makannya yang baik, dan Arana lebih kurus daripada Alana karena pola makannya yang tak teratur. Bahkan tak jarang sehari hanya bisa memakan sebungkus mie instan saja.
Lantas, bagaimana dia bisa menjadi lebih cantik daripada Alana?
Itu nampaknya aneh. Bahkan meskipun kembar, perbedaan mereka sangat kentara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments