Arana berjongkok didepan pintu apartemennya dan meremas lembut wajah Snowy yang mengeong manja dalam elusannya.
"Snowy, kakak berangkat bekerja dulu, ya~ Kakak harus bekerja untuk membelikan Snowy makanan enak~" Kata Arana sembari menggerakkan dua jemarinya menggaruk dagu Snowy.
"Meong~"
Alana menyisir rambut panjangnya rapi, membentuk poni hingga sebatas bulu matanya. Rambutnya yang panjang hanya diikat rendah menggunakan pita putih. Kacamata hitam bertengger diwajahnya. Ia mengenakan sebuah sweeter coklat berlengan panjang dengan celana jeans hitam yang menampilkan bentuk kakinya yang ramping. Senyumnya mengembang menikmati setiap moment-nya dengan Snowy yang selalu lucu dimatanya.
Menutup pintu setelah memastikan keadaan apartemen aman untuk Snowy, Arana mengunci pintu dan berbalik pergi. Langkah demi langkah membawanya menuju halte.
"Jam berapa sekarang?" Bergumam, Arana menatap jamnya dan mendapati jamnya bergerak lebih cepat.
Ia merogoh ponselnya dan melihat bahwa sebenarnya masih kurang duapuluh menit sampai bus tiba. Nampaknya dia bangun terlalu awal pagi ini. Setelah memastikan, Arana memilih menunggu di halte sembari sesekali melihat kendaraan lain yang berlalu lalang dijalanan. Beberapa pengguna jalur pejalan kaki beberapa kali meliriknya, dan Arana hanya menganggukkan kepalanya dengan senyuman menanggapi mereka yang menundukkan kepala dan balas tersenyum padanya.
"Oh, busnya sudah datang." Gumamnya ketika melihat bus merah yang sering ditumpanginya mendekat ke halte.
Arana bersama beberapa orang menaiki bus dan memasukkan selembar uang kedalam kotak yang ada disamping pengemudi. Setelahnya, dia mencari tempat duduk dan menunggu bus membawanya kehalte didekat caffe tempatnya bekerja.
Duapuluh menit berlalu, Arana turun dari bus dan berjalan selama lima menit untuk menuju tempatnya bekerja.
"Selamat pa—" Ucapan Arana terhenti kala melihat pemandangan yang ada didepannya.
Ada dua orang yang tengah duduk bersama Amber yang segera menoleh ketika melihat kedatangannya. Amber adalah yang pertama bereaksi, berdiri dan mendekati Arana.
"Arana, mereka mendatangiku tadi malam dan menanyakan alamat rumahmu. Aku tidak memberitahu mereka karena sudah sangat malam, jadi aku menyuruh mereka datang kesini pagi ini." Amber menjelaskan.
Ia meraih lengan Arana dan bertanya dengan ragu. "Apakah mereka, benar-benar orangtuamu?"
Wanita itu menatap Arana dari atas sampai bawah. Sebelum memandang pria yang berdiri disebelahnya. Pria itu turut memandangnya dan menganggukkan kepalanya.
"Arana, kami datang untuk menjemputmu." Wanita itu berkata lebih dahulu, menarik Arana dari lamunannya.
Mereka orangtuanya. Ayah dan Ibu kandungnya.
Michael Damarian——ayahnya, adalah seorang pengusaha yang dikenal sebagai seorang suami yang setia dan ayah yang penyayang. Tak hanya parasnya yang menawan, Michael juga memiliki perusahaan yang sudah dikenal dikancah internasional. Sementara Lidia Amarisa Putri——ibunya, adalah mantan model terkenal yang dulunya berada dibawah naungan Darmian Entertain. Namun semenjak melahirkan putra sulungnya, dia berhenti menjajaki dunia permodelan dan memilih mengelola sebuah restoran yang menjadi restoran bintang lima sekarang.
Keduanya adalah sosok yang terkenal dimata umum.
Dan mereka adalah orangtua, yang telah menelantarkannya di kota, dinegara dan dibenua yang berbeda ini. Dan memilih mengasuh dan membesarkan kakak serta kembarannya. Tidak ingin direpotkan dengan kehadirannya.
Sembilan belas tahun yang lalu, dia dilahirkan kedunia tanpa diinginkan. Dia tahu kenyataan ini saat umurnya menginjak duabelas tahun, tepat dihari kematian nenek yang selama ini telah membesarkannya. Ia dilahirkan dalam keadaan sehat, namun kakak kembarnya dilahirkan dalam keadaan sakit-sakitan. Entah bagaimana pikiran mereka, orangtuanya menganggap bahwa dirinyalah yang membuat putri mereka menjadi lemah. Sehingga mereka menjauhkan Arana dari mereka.
Bahkan setelah kematian neneknya, orangtuanya benar-benar tidak menganggap keberadaannya ada didunia. Mereka tidak pernah lagi mengirimi uang hidup untuknya, membuatnya harus bekerja diusianya yang masih belia hanya untuk bertahan hidup.
Ia bahkan harus menjual rumah peninggalan sang nenek untuk melanjutkan hidupnya. Memiliki rumah sebesar itu untuk hidup sendiri memerlukan banyak usaha. Selain itu, Arana kerepotan membersihkan rumah sebesar itu sendirian. Sehingga ia menjualnya, dan menggunakan uangnya untuk menyewa apartemen kecil yang ditinggalinya saat ini.
Tetapi dalam hati kecilnya, Arana bertekad bahwa suatu saat nanti dia akan membeli kembali rumah peninggalan sang nenek.
Sekarang setelah bertahun-tahun tanpa kabar, keduanya ada dihadapannya. Bolehkah Arana sedikit berharap?
"Ma—Mama, papa." Lirih Arana.
Amber melangkah mundur sebelum membiarkan Arana melangkah mendekati mereka dengan senyuman. Arana memiliki senyuman dan sepasang manik yang sedikit berkaca-kaca. Tangannya hampir terangkat bila saja ucapan Lidia tak menghentikannya.
"Arana, tolong bantu Alana!" pinta Lidia.
"A—Apa?" Beo Arana hampir tak bersuara.
Lidia meraih tangannya dan berkata secara langsung. "Alana membutuhkanmu, Arana. Minggu depan Alana akan menikah dengan tunangannya. Kami sadar setelah Alana menjelaskan bahwa Alana sama sekali tidak mencintai Alva. Tolong gantikan dia menikahi Alva, Arana."
Apa?
"Bisnis Alva sangat besar. Kami takut hubungan kerjasama perusahaan Damarian dan perusahaan Erlangga akan hancur karena pembatalan pertunangan ini." Sambung Michael.
Ia lanjut berkata, "Maka tolong gantikan Alana dan menikahlah dengan Alva. Bertukar identitas lah dengan Alana."
Arana menarik tangannya dari cengkraman Lidia dan mundur selangkah. Ia menatap kedua orangtuanya dengan tak percaya. Bagaimana mereka bisa memperlakukannya seperti ini? Bagaimana mereka bisa memperlakukannya bak barang cadangan?
Apakah dia dilahirkan hanya untuk ini?
Arana mencoba menyunggingkan senyuman sinis, tetapi justru terlihat miris dan pedih. "Kenapa .. Kenapa aku harus mau?"
"Aku tidak mau menikah menggantikan Alana. Aku bahkan tidak mengenalnya." Ucap Arana.
Michael berkata dengan tegas. "Kamu harus mau, Arana. Ini menyangkut perusahaan papa, dan ini menyangkut kebahagiaan kakakmu, Alana."
"Lalu bagaimana dengan kebahagiaanku?" tanya Arana spontan.
Lidia dan Michael sedikit terkejut dengan pertanyaan Arana. Namun Lidia segera berkata, "Tidak bisakah kamu sedikit mengalah untuk Alana? Kamu sudah merebut segalanya dari Alana. Kamu diberi kesehatan yang baik. Bahkan kamu lebih cerdas darinya. Tidak bisakah kamu berkorban sedikit saja demi Alana?!"
Bak disambar petir, Arana diam mematung. Begitulah.
"Haha," Arana terkekeh pelan.
Bagaimana dia bisa begitu naif selama belasan tahun ini? Bagaimana dia bisa mengharapkan sedikit saja kasih sayang orangtuanya untuknya? Bagaimana dia bisa memiliki harapan sekonyol itu disaat orangtuanya benar-benar tidak memiliki tempat untuknya dihati mereka?
Mereka mengatakan jika dirinya merebut segalanya dari Alana?
Bukankah justru Alana yang merebut segalanya darinya? Kehidupan remaja pada normalnya. Kasih sayang orangtua? Perhatian dan kepedulian kakak? Bahkan semua prestasi yang diraihnya disekolah ia hasilkan dengan belajar keras.
Dia ingin orangtuanya bangga padanya setelah melihat prestasinya dan berpikir untuk membawanya kembali.
Tetapi kali ini harapannya sirna.
"Belasan tahun aku hidup tanpa peran orangtua. Belasan tahun aku hidup dengan mengharapkan kasih sayang kalian." Kata Arana sembari menunduk.
"Kalian mengatakan aku merenggut segalanya dari kakak kembarku, Alana?" pertanyaannya retoris.
Ia mengangguk dan mendongak, menampilkan wajah masam dan senyum miris. "Tidak apa, kalian bisa menganggapnya begitu."
Ia memandang keduanya dengan manik yang berkilat karena air mata. "Mama dan papa tenang saja. Aku tidak akan lagi mengganggu Alana. Pikiranku untuk mendapatkan kasih sayang kalian pasti juga kesalahan. Jadi aku akan dengan sadar mundur. Terima kasih karena sudah menyadarkanku bahwa aku tidak memerlukan kasih sayang mama dan papa dalam hidupku."
Deg!
Ucapan Arana membuat keduanya tertegun. Mereka memandang Arana yang menghapus air matanya dan memasang wajah datar tanpa ekspresi.
"Mama dan papa juga tidak perlu khawatir dengan pernikahan. Tentang menikahi tunangan Alana, aku bersedia." Ucap Alana.
Perkataannya membuat pikiran Lidia dan Michael teralihkan. Mereka segera menepi perasaan aneh dibenak mereka dan saling pandang dengan bahagia.
"Terima ka—" Lidia hendak berkata dan memeluk Arana sebelum Alana menahan gerakannya.
"Tidak perlu, ma. Aku tidak menginginkan lagi pelukan dari mama ataupun papa. Berikan waktu bagiku untuk berkemas. Aku akan menemui mama dan papa dibandara nanti malam."
Setelah mengatakan itu, Alana berbalik memandang Amber. "Amber, bisakah kamu mengantarku pulang?"
Bahasa Indonesia Amber masih belum lancar. Dia mengerti beberapa kosakata, namun selebihnya, mendengar percakapan mereka membuatnya bingung dan bertanya-tanya. Awalnya Amber membawa mereka menemui Arana karena berpikir mereka berniat membawa Arana karena sadar perlakuan mereka pada Arana selama ini salah. Namun melihat reaksi Arana, nampaknya pikirannya tentang mereka tidak bisa berubah.
Amber mengangguk dan menjawab, "Aku akan mengantarmu."
Amber tidak salah.
Mereka tidak layak disebut sebagai orangtua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments
Kamvret. ortu ga ada akhlak ya gini😠
2023-09-20
2