Detik berikutnya, pandangan mata Lily mulai berembun. Dadanya terasa sesak. Kenangan akan tujuh tahun yang lalu mulai berlarian di kepalanya.
Flash Back On
Tujuh tahun yang lalu ...
Dari kejauhan, suara bel sekolah sudah berbunyi dua kali. Itu artinya Lily hanya punya kesempatan satu menit untuk sampai di gerbang sekolah. Sebelum pak Amat, satpam sekolah menutup gerbang sekolah dengan sempurna.
Lily mengencangkan ransel di pundaknya dengan kedua tangannya. Tanpa aba-aba, gadis berusia tujuh belas tahun itu berlari sekencang mungkin untuk tepat sampai di gerbang sekolahnya.
"Jangan sampai aku terlambat lagi. Bisa-bisa namaku di coret dari daftar sekolah." gumam nya sambil terus berlari. Padahal mana ada nama dicoret dari daftar sekolah. Hi..hi..hi..
Dari dalam gerbang sekolah, dia bisa melihat dan mendengar teriakan sahabat karibnya yang menyemangatinya untuk segera sampai di gerbang sekolah.
Bel kedua telah usai menjalankan tugasnya. Sekarang bel ketiga mulai berbunyi. Ia semakin kalang kabut mendengarnya. "Awas pak...minggir dek..." teriak Lily sambil berlari.
"Lily! Buruan, dikit lagi!" teriak Rafa sambil menangkupkan kedua tangan ke mulutnya agar Lily dapat mendengar suaranya.
"Lily! Kalo elu telat lagi, hari ini gue ngga jadi traktir lu di kantinnya Bu Kokom, loh." Naya tak mau ketinggalan meneriaki Lily.
Mendengar teriakan Naya, membuat Lily semakin bersemangat. Tepat sebelum bel ketiga berakhir, selangkah lagi dirinya bisa melewati gerbang sekolah. Namun,
Bruk...
Trreeetttt... ceklek...
Bokong Lily sukses mencium aspal bersamaan dengan berakhirnya bunyi bel ketiga, ditutupnya gerbang sekolah, dan dikunci gerbang sekolah oleh pak Amat.
Dia hanya dapat melihat pak Amat menutup gerbang dengan lemahnya. Sedangkan pak Amat memberikan senyuman terbaiknya sambil melambaikan tangan ke arahnya.
"Besok jangan lupa telat lagi ya, Non. Permisi, bapak masuk dulu kedalam." ucap pak Amat, kemudian meninggalkan Lily yang terduduk di depan gerbang.
"Alhamdulillah...selamat uang gue!" teriak Naya. Dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas. "Yuk... Fa, ke kelas!" ajak Naya. Dia menarik lengan Rafa dengan sedikit paksaan.
Rafa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak habis pikir dengan Lily. Bisa-bisanya dia begitu rajin terlambat ke sekolah.
Mendengar teriakan Naya membuat Lily ingin menampol lengan temannya itu. Tapi apa daya tangan tak sampai, dia masih berada di luar gerbang sekolah. "Dasarrrr... temen ngga ada akhlak!" teriak Lily.
Dia berusaha bangkit dari jatuhnya. Ia baru tersadar kenapa dia bisa jatuh di detik-detik terakhir mencapai pintu gerbang. Dia menabrak sesuatu yang dia sendiri tidak tahu apa yang ditabraknya.
Hatinya mulai memanas. Perasaan kesal mulai merasukinya. Ketika dia akan bangkit, sebuah tangan terulur dihadapannya.
Lily mendongak keatas dan menatap seorang pria tampan. Matanya sangat biru seperti langit. Seketika dia merasakan kedamaian disaat menatap mata pria tampan itu.
Pria itu melambaikan tangannya. Lily tersadar dari lamunannya yang sesaat. "Maaf, Nona." pria itu berkata dengan lembut.
Suara pria itu begitu maskulin sehingga membuatnya terbuai mendengar suara pria itu. Namun segera ditepisnya, dia tidak ingin terlihat terpesona oleh pria itu untuk yang kedua kalinya.
Lily meraih tangan itu dan berdiri dengan perlahan. "Maaf sih maaf. Tapi aku telat lagi gara-gara kamu! Mana harus nunggu di depan gerbang selama dua jam." ucap Lily dengan ketusnya.
Padahal didalam hatinya "Oh my God ... mimpi apa gue semalem. Ganteng banget nie cowok. Bule pula, *ish ... kalo tiap hari di tabrak kek gini sih, ikhlas gue*. Telat tiap hari juga rela."
Pria itu melirik Lily dan tersenyum. "Namaku Zack. Zack Alexander." pria itu kembali menyodorkan tangan kanannya untuk berkenalan dengan Lily.
Lily menerima uluran tangannya dengan muka yang dibuat sejutek mungkin. "Lily" jawab Lily sekenanya. Lily pun melerai tangannya. Zack mengangkat sebelah alisnya. " Just Lily, sir. L-I-L-Y" ucap Lily dengan ketus yang dibuat-buat.
Zack tersenyum.
Senyuman yang selalu Lily ingat dan terekam jelas di ingatannya.
Flash Back Off
Namun kejadian kali ini sedikit berbeda. Tidak ada uluran tangan yang melayang dihadapannya.
Lily menatap pria itu dengan bingung. Ada perasaan sayang, rindu, dan marah. Semuanya bercampur aduk menjadi satu. Ia sampai menangkupkan tangan kanan ke dadanya. Dia merasakan detak jantungnya yang sangat tidak normal.
Dia adalah Zack. Kekasih hatinya yang dua tahun terakhir ini menghilang. Kini berdiri tepat dihadapannya dengan sorot mata yang biasa saja. Tidak ada cinta di mata itu. dia dapat melihatnya dengan jelas. Bahkan Zack terlihat tidak mengenalinya sama sekali.
Butiran kristal perlahan turun di pipi mulusnya. Butiran kristal itu meluncur dengan mulusnya tanpa bebas hambatan.
"Maaf, Nona. Apa anda bisa berdiri?" tanya seorang pria yang berdiri di samping Zack. Pria itu adalah asisten Zack yang bernama Leon.
Bukannya Leon tidak ingin membantu Lily. Di saat wanita itu menabrak tuannya. Leon ingin segera membantunya. Tapi tuannya melarangnya. Leon bingung dengan perilaku tuannya itu. Selama ini Zack sangat hangat dengan siapapun. Tapi hari ini berbeda.
Lily tersadar dengan pertanyaan pria di samping Zack. Pikiran rasionalnya mulai kembali, Untuk apa aku menangisinya. Dia saja terlihat tidak peduli bahkan tidak mengenaliku. Ia menepis semua air matanya dan berdiri perlahan.
Lily berusaha mengatur napasnya agar stabil kembali. Dia tidak bisa berkata-kata. Dia hanya mengangguk dan setengah berlari meninggalkan Zack dan pria disampingnya.
Leon melihat kepergian Lily dengan penuh tanda tanya. "Bukankah hanya tertubruk saja. Mengapa dia sampai menangis seperti itu?." Leon bergumam pelan sambil melihat tubuh tuannya dari atas ke bawah.
Zack menaikkan sebelah alisnya. "Aku hanya heran tuan, apa tubuhmu hari ini terbuat dari batu sampai dia menangis?" ucap Leon dengan santainya.
Pletak
Zack menjitak kening Leon dengan keras. "Auw...tuan...kenapa malah menjitak keningku?". Leon mengusap keningnya dengan perlahan. Bukannya menjawab, Zack malah melangkahkan kakinya menuju ruangan yang akan ditujunya. Melihat tuannya pergi. Leon hanya bisa menyusul sambil mengelus keningnya.
...✳️✳️✳️...
Pantry
Setibanya di pantry, Lily kembali menangis sejadi-jadinya. Untung saja saat ini pantry sedang kosong sehingga ia tidak khawatir terlihat dengan yang lainnya.
Lily bingung. Perasaannya seperti menguap. Pria yang dicintainya melupakan dirinya. Bertahun-tahun dia menanggung beban rindu di hatinya. Jangankan sambutan hangat, tatapan hangat pun nihil dia dapatkan dari pria itu.
Tok ... tok ... tok ...
Suara pintu pantry yang diketuk membuat Lily tersadar. Dia berusaha mengatur napasnya dan mengelap sisa air matanya. Merasa sudah bisa menstabilkan kembali dirinya, ia berjalan ke arah pintu pantry dan membukanya.
Rafa berdiri tepat dihadapan Lily. Rafa bisa melihat dengan jelas muka sembab Lily. "Gue masuk ya?" tanya Rafa dengan pelan.
Lily tersenyum dan memberikan jalan kepada Rafa untuk masuk kedalam pantry "Kalau gue bilang engga juga, lu tetep bakalan masuk." ucap Lily. Suaranya terdengar sangat serak setelah menangis.
Rafa berdiri di sisi meja. Rafa merasa kasihan dengan keadaan sahabatnya. Rafa pun merentangkan kedua tangannya.
"Uch, tayang...tayang...sini-sini, acian," ucap Rafa yang sengaja di cadelkan seperti anak kecil.
Bukannya mendapat pelukan kembali dari Lily, yang ada Lily malah melemparnya dengan bantal kursi. "ish, ngga rela gue dipeluk sama elu." jawab Lily dengan ketusnya.
"Nah ... gitu donk. Udah bisa marah. Kan abang Rafa jadi tenang." ucap Rafa sambil tersenyum.
"What? Abang? Ngga salah ya telinga gue dengernya?" pekik Lily sambil memukul-mukul lengan Rafa.
Rafa menangkis serangan Lily dengan tangannya. Sadar akan kekonyolan yang mereka lakukan, mereka pun tertawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Tuti Hayuningtyas
nyimak dulu thooooorrrr
2022-07-13
1
Momy Victory 🏆👑🌹
punya sahabat cowok itu seruuu
2022-06-11
2
Nana
ngak usah nangis! jadi cewek harus kuat Lily 😭
2022-05-15
0