Semilir angin malam menerpa kulit. Terasa dingin, bahkan menusuk hingga ketulang. Isabel berjalan pelan memasuki gerbang utama kediamannya. Gadis bersurai panjang itu menghela nafas saat menatap sebuah kendaraan yang cukup familiar baginya terparkir rapi di garasi.
"Isabel." Suara itu spontan tertangkap indra pendengaran saat tubuh Isabel baru saja membuka pintu rumah utama.
Gadis bernama Isabel itu mendongak, menatap wajah seseorang yang beberapa detik lalu menyebut namanya.
Steven
Seorang pria berpakaian casual sedang duduk di sofa ruang tamu bersama seorang gadis yang tak lain saudara tirinya, Larasati sedang duduk berhimpitan dan cukup terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
Isabel tak menjawab. Tanpa ragu, ia kembali melanjutkan langkah. Abai pada kedua insan yang tengah dimabuk asmara.
"Isabel Praja Diwangka."
Isabel sontak menghentikan langkah. Ia tarik nafas dalam, sebelum berbalik badan.
"Ya, ada apa." Isabel menatap sosok gadis yang kini tengah menyerigai. Ya, lebih tepatnya seulas serigai kemenangan.
"Buatkan kami minuman," titah Larasati yang tanpa sungkan menyandarkan kepalanya pada bahu bidang stiven.
"Lara, bukankah ada pelayan. Kau tidak harus menyuruh Abel." Steven tampak tak nyaman yang justru mendapatkan tatapan tajam dari larasati.
"Hei bukankan dia juga pelayan di rumah ini? Kau pasti tak lupa 'kan sayang?"
Steven terdiam. Sementara Isabel memalingkan wajah. Disamakan dengan seorang pelayan, sungguh membuat hati Isabel memanas. Bukannya tak terima, namun tidakkan saudara tirinya itu memperlakukannya sedikit lebih baik dari pada seorang pelayan walau itu di rumahnya sendiri.
"Kalian ingin minuman apa?" Tanya Isabel pada akhirnya tanpa menatap kearah dua sejoli di hadapannya.
Lagi, Larasati tersenyum miring.
"Em, jus. Ya jus apel. Kau suka sekali dengan jus apel 'kan sayang." Lara meminta persetujuan pada steven, meski pria itu hanya bungkam. "Nah buatkan kami jus apel dengan campuran semangka. Ingat, jangan sampai menyisakan ampas juga jangan tambahkan gula. Kau faham, gadis Pe-la-yan?" goda Lara setengah mengejek.
"Baik." Isabel lekas berlalu. Lebih lama berinteraksi dengan kakak tirinya justru membuat luka lama yang belum mengering dalam hatinya, kembali menganga.
Larasati tergelak. Untuk kesekian kali ia benar-benar merasa puas. Entah mengapa seperti ada kepuasan tersendiri dalam batinnya saat berhasil membuat hati seorang Isabel terluka. Sedari awal bisa menghancurkan hidup Isabel adalah menjadi impiannya dan rupanya impiannya tersebut benar benar terwujud.
Ayah, kehidupan mewah bahkan pria terdekat Isabel pun berhasil ia rebut. Hebat bukan?
Lara tersenyum jumawa, menatap punggung Isabel yang mulai menjauh dari hadapanya.
💗💗💗💗💗
"Apa yang sedang nona kerjakan?" Ratih, pelayan itu mendekat. Mencari tau apa yang sedang sang nona lakukan.
"Membuat minuman." Isabel mengambil beberapa buah apel yang sudah dicuci bersih juga potongan buah semangka yang akan dia masukkan kedalam alat pembuat jus.
"Biar bibi saja yang membuat." Ratih sudah hendak mengambil alih, namun Isabel dengan tegas menolak.
"Tidak usah bi, biar aku saja."
"Non Lara memang tak punya hati." Ratih bergumam. Kakak kandung dari Retno tersebut terlihat tak begitu menyukai Lara.
"Biarkan saja. Aku pun sudah lelah berdebat dengannya. Bukankah setiap aku menuruti semua keinginannya, sudah membuat hatinya luar biasa senang?.
Ratih hanya mengangguk. Memang seperti itulah adanya. Lara begitu senang andaikata Isabel mematuhi semua ucapnya dan mengikuti semua inginnya.
Dulu Lara bukanlah siapa-siapa. Berbeda dengan Isabel yang berkehidupan mewah. Ketamakan Ibunda Lara, nyatanya menurun pada sang anak. Iri seolah menutupi hati nurani. Hingga tanpa ragu sepasang Ibu dan anak itu, menukar posisi. Lara kini memiliki segalanya dan bersiap untuk menginjak-injak Isabel, karna hawa nafsu ayah dari gadis tersebut.
"Biar bibi saja non," tawar Ratih saat dua gelas jus sudah tersaji di atas nampan.
"Terimakasih, bi. Biar Isabel saja." Tetap kekeh menolak dan membawa nampan tersebut ke arah ruang tamu.
Isabel terkesiap dan lekas menunduk saat mendapati kedua sejoli itu tengah berciuman dengan begitu mesra.
"Silahkan." Isabel hendak berbalik seketika, begitu menyadari jika pasangan itu belum juga menyudahi walau tau jika Isabel ada di hadapan mereka.
"Ehem."
"Tunggu."
Apa lagi.
Jengah, itulah yang Isabel rasa. Demi apa pun Isabel muak untuk berada di ruangan yang sama dengan sepasang manusia itu.
"Terimakasih," ucap Lara sementara tangannya mengusap lembut bibirnya yang basah. Bibir yang baru saja ia gunakan untuk berciuman dengan steven.
Isabel merasa mual, namun di sudut lain hatinya merasa begitu sesak. Sementara di sudut sofa, Steven nampak terengah. Mungkin saja nyaris kehabisan nafas selepas aktifitas menyenangkan untuk pasangan mesum itu.
Isabel mengangguk samar dan berlalu pergi. Meski berusaha tegar, namun pertahannya luruh jua.
Di kamar mandi gadis itu menumpahkan segala perih. Menangis, namun hanya isak lirih yang terdengar. Bertahun lama bertemankan luka, membuat Isabel terbiasa.
Kini waktu malam yang sebagian besar penduduk bumi lakukan untuk beristirahat, kini ia gunakan untuk membersihkan rumah dan aktifitas lain yang selama ini Ibu dan saudara tiri bebankan padanya.
Arum mengizinkan Isabel bekerja, namun dengan catatan jika gadis itu pun tak lalai pada seluruh tanggung jawabnya. Termasuk memandikan dan memberi makan Praja Diwangka yang lumpuh.
Begitu cekatan Isabel melakukan pekerjaan. Tanpa beban apalagi keluh kesah. Gadis itu sudah begitu terbiasa. Hingga Lara yang diam-diam memperhatikan seraya berkacak pinggang itu merasa muak.
"Aku dengar jika kau kembali bekerja." Lara tiba-tiba melempar tanya.
"Ya." Cuek. Isabel hanya menjawab sekenanya.
"Apa kau tak takut jika aku kembali berulah." Isabel yang terlihat meng-elap meja makan, menghentikan aktifitasnya.
"Seperti yang aku lakukan beberapa waktu lalu." Lara tergelak lirih. Mungkin saja mengingat kejadian beberapa waktu lalu saat ia meminta pada pemilik kedai kopi untuk memecat Isabel meski tanpa alasan jelas.
"Bukankah uang bisa membeli segalanya. Termasuk membeli harga diri sahabatmu sendiri." Lara tersenyum miring, yang mana membuat Isabel benar-benar muak.
Memang uang bisa membeli segalanya termasuk harga diri seseorang. Karamel yang notabene sahabatnya sendiri pun seakan terhipnotis oleh lembaran uang saat Lara datang dan melakukan penawaran. Kebetulan Karamel merupakan putri dari pemilik kedai kopi di mana Isabel mengais rezeki. Karamel sendirilah yang menawarkan pekerjaan sebab tau jika sahabatnya tersebut tengah dilanda kesulitan ekonomi semenjak harta orang tuanya dikuasai oleh ibu tirinya.
Isabel tak menyangka jika Karamel pun lemah iman. Diam-diam Lara menawarkan kesepakatan. Isabel dipecat dan Karamel mendapatkan imbalan uang yang bernilai cukup fantastis.
Pada awalnya Isabel sama sekali tak mengetahui, namun serapatnya bangkai disimpan, pasti akan menimbulkan bau. Isabel tak menyangka jika sahabatnya itu lemah iman dan tergiur dengan uang, meski harus menyengsarakan hidup sahabatnya sendiri.
Dari berbagai ujian hidup yang gadis itu dapat, kini membuatnya tak begitu mudah percaya pada siapa pun termasuk orang-orang terdekatnya. Isabel perlahan menjauh dari lingkungan. Ia lebih suka menyendiri dan tak banyak bicara. Sosoknya yang periang dimasa kanak-kanak, kini menghilang seiring beberapa pihak yang sengaja menghancurkan masa depannya.
"Tentu, aku masih mengingatnya dan tak akan pernah melupakannya. Akan tetapi, apakah kau tau?" Isabel balas menatap lekat wajah Lara. Lengkung merah jambunya mengulas senyum tipis. "Bukankah semut yang terus terinjak bisa saja bangkit dan menggigit? Dan untuk dirimu, setidaknya pakai akal sehatmu lebih dulu sebelum bertindak. Jangan sampai hanya karena Obsesi dan emosi semata, membuatmu terhanyut bahkan terbakar oleh kobaran api yang kelak akan membelenggu dirimu sendiri."
Lelah. Lelah hati. Lelah pula berdebat. Isabel membuang kain lap kesembarang arah dan pergi secepatnya dari hadapan Lara. Isabel sempat menangkap rona merah di wajah lara, yang gadis itu yakini sebagai kobaran amarah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Mamak Laila
lanjutkan trooorr semangat
2022-12-05
0
fifid dwi ariani
trus sabar
2022-11-23
0