CEO Kembar Dan Gadis Pilihan
"Katakan padanya untuk berhenti melakukan kesalahan. Setidaknya ini peringatan pertama sekaligus yang terakhir dariku. Selepas ini, jika hal semacam ini terulang kembali, maka enyah secepatnya kau dari gedung ini."
Suara bariton itu menggema, memenuhi ruangan. Tanpa menatap, CEO muda itu melontarkan kata-kata pedasnya untuk seseorang gadis berpakaian cleaning service yang menundukan kepala di depannya.
Tak mampu berbuat banyak, gadis itu hanya mampu tertunduk sebagai bentuk penyesalan.
"Baik, Tuan." Seorang manager keuangan berusia matang menganggukan kepala, meneruti perintah Erich, yang menjabat sebagai CEO di sebuah perusahaan tempatnya bekerja sebelum keadaan bertambah runyam.
"Pergilah!" sarkas Eric seraya memalingkan wajah, engan menatap kearah gadis yang sudah mengotori berkas-berkas pentingnya dengan cairan kopi.
"Baik, tuan." Sang Manager itu pun lekas menarik pergelangan tangan sang gadis pembersih itu untuk membawanya keluar ruangan secepat mungkin.
Begitu pintu ruangan tertutup, manager itu melepaskan pergelangan tangan sang gadis, kemudian menghela nafas dalam.
"Kenapa kau bisa seceroboh ini? Kau sudah melakukan kesalahan fatal. Beruntung Tuan Eric bisa mengontrol emosinya kali ini. Jika tidak, kau pasti akan dipecat dari perusahaan hari ini juga." Meski diliputi kekesalan, namun pria matang itu tetap bertindak sebijak mungkin untuk tidak mencaci bahkan memaki gadis yang nyatanya baru bekerja dua hari ini.
Gadis itu masih butuh bimbingan. Begitulah sang manager berkesimpulan.
"Ingat, setidaknya pikirkan Bu Retno. Jika kau tak fikirkan pekerjaanmu, maka fikirkanlah pekerjaan bu Retno."
Gadis bernama Isabel itu kian tertunduk.
"Maaf, tuan."
"Jadi, berhati-hatilah dalam setiap melakukan pekerjaan. Terlebih, jika menyangkut dengan tuan muda Eric."
"Pergilah."
Tanpa menunggu Isabel pergi, manager tersebut kembali memasuki ruangan CEO. Sungguh, ia lelah jika berada dalam situasi seperti ini. Kemungkinan besar ialah yang akan menjadi tempat pelampiasan sang tuan atas kesalahan yang baru saja diperbuat oleh gadis cleaning service tersebut.
Sial
"Di mana bu Retno?" Cecar Eric begitu manager memasuki ruangan.
"Maaf, tuan. Bu Retno sedang sakit hingga sementara waktu pekerjaanya akan digantikan oleh Isabel."
Eric membuang nafas kasar. Tak senang dengan jawaban pria di depannya.
"Sakit apa, dan lagi pula kenapa harus digantikan dengan karyawan baru yang sama sekali tak berpengalaman?"
Manager itu menelan saliva berat. Tentu tak akan mungkin ia menjawab jika seluruh cleaning service memilih angkat tangan dan ketakutan jika menyangkut urusan tuannya. Terlebih untuk memasuki ruangan yang mereka lebih menyeramkan dari pada ruang eksekusi.
"Maaf, tuan. Seluruh staf pembersih menolak. Mereka beralasan jika Isabel sudah mendapatkan penjelasan langsung dari Bu Retno segala seluk beluk ruangan, penataan, juga letak berkas-berkas penting milik tuan begitu pun dengan makanan juga minuman yang kerap tuan konsumsi. Tentu Bu Retno menjelaskan semua dengan terperinci pada Isabel yang menggantikan perannya sebagai staf pembersih ruangan tuan untuk sementara waktu."
Eric menghela nafas dalam.
"Cukup, keluarlah dan katakan pada gadis itu untuk pergi dari gedung ini, sekarang. Hari ini, aku tak ingin melihatnya keluar masuk ruanganku."
"Baik tuan." Menundukan kepala, selepas memutar tumit manager itu pun berlalu dari hadapan sang tuan.
💗💗💗💗💗
"Isabel," panggil seorang gadis yang tak lain adalah Starla, sekertaris pribadi Eric. Isabel menggeser pandang, hingga dua pasang netra itu berpautan.
"Kemarilah," ucap Starla lagi.
Isabel mengangguk, lantas berjalan pelan ke arah Starla.
"Duduk dan minumlah." Starla menepuk kursi kosong di sisinya kemudian mengulurkan sebotol air mineral pada gadis berpakaian Office girl tersebut.
"Terimakasih banyak, kak." Isabel menurut. Duduk kemudian meneguk minuman tersebut perlahan.
"Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja. Percayalah." Starla menyemangati, meski sejujurnya tak membantu meredakan kecemasan Isabel sama sekali.
Gadis itu hanya mengulas senyum tipis, hingga pintu ruangan CEO tiba-tiba terbuka. Isabel menghela nafas dan sigap berdiri saat sang manager-lah yang keluar dari balik pintu tersebut.
"Pulanglah," titah sang manager yang mana membuat Isabel meneguk saliva berat.
"Apa tuan benar-benar memecat saya? Lalu bagaimana dengan nasib bi Retno. Saya mohon tuan, maafkan kesalahan saya. Beri saya satu kesempatan lagi, saya janji akan bekerja lebih baik lagi." Isabel mengiba. Bukan hanya untuk dirinya, namun lebih kepada nasib hidup Retno yang kini berada di tanggannya.
Manager itu tersenyum tipis.
"Pulanglah sekarang dan kembalilah esok pagi. Kau tetap bekerja. Tuan muda tidak memecatmu, hanya saja saat ini beliau sedang tidak ingin melihatmu berkeliaran di ruangannya." Sang manager memberi penjelasan.
Isabel dan Starla menghela nafas lega. Saling pandang dan tersenyum bersamaan.
"Terimakasih tuan."
"Jangan berterimakasih padaku, berterimakasihlah pada tuan muda Eric yang sudah berbaik hati untuk tidak memecatmu. Meski sejujurnya yang beliau pertahankan bukanlah dirimu, melainkan Bu Retno."
Isabel menunduk. Sadar jika dirinya bukanlah siapa-siapa tanpa ada nama Retno yang membentenginya.
💗💗💗💗💗
"Bibi, maaf." Wajah Isabel menunduk di hadapan perempuan yang punggungnya bersandar di pembaringan.
Retno tersenyum tipis. Perempuan baya berwajat pucat itu menatap wajah Isabel lekat.
"Apakah nona melakukan kesalahan lagi?"
Gadis itu mengangguk.
"Aku menumpahkan kopi di atas berkas-berkas penting tuan. Tapi demi tuhan, aku benar-benar tak sengaja bi."
Retno tersenyum. Wajahnya yang memucat, kini mulai memerah, seakan teraliri darah. Rupannya kedatangan Isabel membawa dampak besar pada kesehatan tubuhnya yang mulai menurun.
"Apakah Nona masih tetap yakin untuk mengantikan posisi saya hingga bisa kembali bekerja? Maaf, apakah nona masih sanggup untuk menghadapi sikap tuan muda Eric."
Sejenak Isabel terdiam, hingga anggukan kepala pelan, menjadi jawaban pertanyaan Retno.
"Aku benar-benar butuh uang untuk bisa membawa Ayah pergi dari rumah. Sedangkan aku tak yakin untuk bisa mendapatkan pekerjaan dalam waktu dekat, selain menggantikan bibi." Isabel tertunduk lesu. Sungguh sejujurnya ia tak ingin berada dalam posisi hidup seperti ini.
"Bersabarlah nona. Saya yakin jika tuhan memiliki rencana indah untuk orang-orang penyabar seperti nona," hibur Retno.
"Semoga."
Enggan berlarut dalam kesedihan, Isabel bergerak membuka tas yang sedari tadi bertengger di punggungnya.
"Untuk bibi." Isabel menguluskan sekotak makan dari dalam tas.
Retno menatap sayu gadis di depannya. Sudut matanya memanas. Ia terharu.
"Nona tidak perlu melakukan ini. Pergunakanlah uang nona untuk memenuhi kebutuhan nona sendiri."
Setiap kali berkunjung Isabel tak pernah absen membawa buah tangan. Namun kini, kondisinya berbeda. Gadis muda itu bahkan rela menjadi cleaning service untuk menyambung hidup.
"Tapi aku senang melakukannya." Senyum tulus di bibir gadis itu terulas. "Baiklah, Abel tak bisa berlama. Ayah pasti sudah menunggu di rumah." Bangkit, Isabel berpamitan pada Retno selepas mencium punggung tangan paruh baya itu.
💗💗💗💗💗
Ada sejejak kegetiran kala gadis berusia sembilan belas tahun itu mulai menjejakkan kaki di pelataran rumah megah yang sudah sekian tahun ia tinggali.
'Rumahku Istanaku', Isabel tersenyum miris. Apakah masih pantas disebut istana jika tak ada lagi kehangatan di dalamnya. Justru bangunan megah itu lebih terlihat seperti neraka, begitu mencium aroma kebusukan dari para penghuni rumah.
Beberapa pengawal yang tanpa sengaja berpapasan tampak menunduk pada Isabel yang tengah berlalu. Namun tak jarang mereka abai, sebab sadar jika Gadis tersebut bukanlah majikan yang sebenarnya kini.
Isabel menghela nafas dalam saat sudah memasuki pintu depan rumah utama. Senyap, diruang tamu tampak lengang. Tak ada siapa pun. Namun samar terdengar gelak tawa dari arah meja makan.
"Abel, kau sudah pulang. Kemarilah, kita makan malam bersama." Suara perempuan menyambut saat tanpa sengaja Isabel melewati ruang makan di mana beberapa pasang mata tengah menikmati hidangan mewah serentak menatap kearahnya.
Langkah Isabel terhenti. Mau tak mau sepasang mata beningnya menatap kearah wajah pemilik suara yang beberapa detik lalu menyapanya.
Dua orang pria, dan dua orang perempuan duduk saling berhadapan di meja makan. Sial, Isabel merutuk diri. Seharusnya ia memilih masuk lewat pintu belakang untuk menghindaru bertemu pandang dengan mereka. Tapi, ah sudahlah...
Pemilik suara itu tersenyum tipis, yang justru membuat Isabel muak. Sungguh pemandangan yang membuatnya memanas. Arum, ibu tirinya tampak duduk berhadapan dengan Erwin, orang kepercayaan Ayahnya. Sementara di samping, Larasati, saudara tirinya tampak berhadapan dengan Steven, putra sulung Erwin. Sungguh memuakkan. Para penghiat rupanya tengah berpesta.
"Isabel kemarilah." Kini giliran suara lembut mendayu milik Larasati menyapa indra pendengaran. "Selain makan malam, kami juga sedang membahas perihal pertunanganku dengan Steven bulan depan. Apa kau tak ingin tau seantusias apa kami melakukan persiapan." Serigai kemenangan terukir jelas dibibir berpoles lipstik warna nude milik Larasati. Ya, gadis itu bangga, sebab mampu merebut seorang Steven dari rengkuhan saudara tirinya, Isabel.
"Terimakasih. Silahkan lanjutkan acara kalian. Maaf, Aku permisi," tolak Isabel. Gadis itu sempat menundukan kepala sejenak, sebelum berlalu meninggalkan ruang makan. Lamat-lamat Isabel mampu mendengar gelak tawa menggiring kepergiaannya yang Isabel yakini keluar dari bibir seorang Larasati.
💗💗💗💗💗
Isabel bukanlah gadis miskin. Hidupnya berkecukupan dan ditunjang fasilitas mewah. Namun itu dulu, sebelum Arum datang dan menyelinap masuk kedalam rumah tangga orang tuanya.
Pergi dari ruang makan, Isabel melangkahkan kaki menuju sebuah ruangan yang berada diujung bangunan kediaman mewahnya.
Isabel membuka kenop pintu perlahan hingga tak menimbulkan suara. Hening dan temaram lampu tidur menyapanya.
Sang penghuni ruangan mungkin sudah tertidur.
Gadis itu meraba saklar lampu hingga seluruh ruangan berubah terang benderang. Isabel menghela nafas, menatap nanar tubuh renta yang tergolek lemah di atas ranjang. Tubuh kurus dengan rambut separuh memutih menjadikan seseorang yang tengah terlelap itu lebih tua dari usia sebenarnya.
"Ayah," sapa Isabel sesaat sesudah menjatuhkan bobot tubuhnya di pinggir ranjang.
Pria yang disebut ayah itu mengerjap. Sepasang netra sayu berbinar, dam tersenyum haru saat mendapati sang putri duduk di sampingnya.
Isabel menatap sepiring makanan di atas nakas yang sepertinya belum tersentuh.
"Ayah sudah makan?"
Pria itu menggeleng lemah.
"Ayo, Isabel suapi." Isabel mengangkat tubuh sang ayah untuk bersandar di pembaringan. Menyuapinya dengan telaten dan penuh kehati-hatian.
Sudut mata pria paruh baya itu memanas. Bola matanya mulai berkaca-kaca. Hidup dalam kelumpuhan membuatnya tak mampu berbuat apa-apa, walau untuk menebus kesalahannya di masa lalu.
"Ma-maaf, maafkan ayah nak," ucap pria paruh baya itu dengan bibir bergetar.
Sang putri bungkam, hanya anggukan samar pertanda jawaban.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Mutia Aulia
seruuu bangett /Smile/
2023-10-15
0
Wiwit Safitri
ceritanya awalnya bagus
eps panjang
2023-03-11
1
fifid dwi ariani
trus sehat
2022-11-23
0