Mentari mulai tenggelam di ufuk timur. Sinarnya perlahan meredup dan menggelap, bergantilah siang menjadi malam. Di kursi kebesaraan Erich masih duduk terdiam. Sementara lidahnya masih mengecap nikmat dari sisa secangkir kopi yang ia habiskan beberapa saat lalu. Seluruh pekerjaan sudah selesai, namun entah mengapa ia masih ingin berlama-lama di ruang kerjanya.
Pria berpostur tinggi tegap itu bangkit dari duduk. Meregangkan otot tubuh sejenak sebelum melangkah sisi ke tempat yang menjadi area terfavorit di ruang kerjanya ini.
Erich menyingkap tirai kaca hingga menampakkan pemandangan kota dari tempatnya berdiri kini.
Pria itu menghela nafas dalam Kemudian menghempaskan bobot tubuh pada sebuah sofa empuk berbahan lembut.
Semenjak setahun lalu seperti inilah cara Erich menghabiskan waktu selepas merampungkan seluruh pekerjaan. Memilih duduk terpekur seraya menatap langit senja hingga berubah gelap dari pada pulang ke kediamannya untuk beristirahat.
Langit di luar terliahat cerah dengan sinar bulan purnama yang melingkar sempurna. Erich menyandarkan punggung lebarnya pada sandaran sofa, sementara fikirnya melanglang buana.
Terlahir sebagai anak kembar tak membuat Erich dan Ernest memiliki kepribadian serupa, akan tetapi justru sebaliknya.
Beberapa tahun ini Erich memang memilih untuk menjauh. Menjalankan Anak perusahaan keluarga yang berada di luar pulau, berbeda dengan Ernest yang tetap tinggal di kantor pusat, masih dalam bimbingan sang Ayah.
Erick memang memilih menjauh sekaligus ingin membuktikan pada sang Ayah jika dirinya layak disandingkan dengan pengusaha muda lain, tanpa harus membawa nama Surya Atmadja agar bisa dikenal publik.
Sosok Erich memang merupakan pria muda yang pekerja keras. Prestasinya cukup gemilang, dengan tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Tanggap dan pintar mencari peluang.
Akan tetapi dari sekian banyak kelebihan yang ia miliki, hanya satu kekurangan yang membuat pria tegas ini terkesan keras dan dingin jika dilihat. Kekasih.
Usia Erich kini menginjak 29 tahun, namun belum sekali pun ia menikmati indahnya percintaan seperti pria muda pada umumnya. Sebagian besar waktunya ia habiskan untuk bekerja dan bekerja. Meski sejujurnya semua itu pun juga ia lakukan sebagai bentuk pelarian. Ya, dari pelarian dari kisah cintanya yang rumit beberapa tahun lalu.
"Ck."
Erich berdecak. Ia menginginkan secangkir kopi lagi. Tetapi tidak mungkin jika ia meminta Isabel untuk membuatkan kopi lagi selepas kejadian beberapa saat lalu. Tentu pria itu merasa gengsi, juga Isabel pun akan berbangga diri jika tahu Erich menyukai kopi buatannya.
"Ah sial," rutuk Erich. "Kenapa Bi Retno harus sakit disaat-saat seperti ini."
Erich memang cukup dekat dengan Retno. Selama Erich menjabat sebagai CEO, memang Retno_lah yang ditugaskan secara khusus untuk membersihkan ruangan juga mempersiapkan apa pun yang pria itu butuhkan. Dan hingga saat Retno sakit seperti saat inilah, membuat seorang Erich kelabakan luar biasa.
Seperti yang diketahui jika Erich tak mudah beradaptasi dengan sembarang orang, begitu pun dengan Retno yang memiliki tempat cukup khusus bagi seorang Erich sebagai salah seorang kepercayaannya di perusahaan.
Retno bukanlah sekedar clening service biasa, ia bisa melakukan tugasnya begitu baik dan tanpa cela untuk seorang Erich yang selalu menuntut kesempurnaan dalam segala apa pun termasuk pekerjaannya.
Erich memang memiliki seorang sekertaris, namun bagi pria itu posisi Retno lebihlah penting, mengingat hanya Retno_lah satu-satunya orang yang ia beri kebebasan untuk menyentuh dan merapikan barang-barang berharganya di dalam ruangan. Sama seperti halnya makanan dan minuman, Retno sudah hafal di luar kepala apa-apa saja yang menjadi kesukaan sang tuan, juga sebaliknya. Begitu pun dengan kopi, Erich enggan meminum jika bukan racikan Retno. Hingga kini, Isabel datang dan nyaris menggeser posisi Retno namun hanya dalam urusan secangkir kopi dan bukan yang lain.
Erich tersadar dalam lamunan saat ponsel yang tersimpan di saku jas, bergetar. Dirogohnya benda pipih tersebut dan menatap layarnya sesaat.
Lengkung tipis Erich mengulas senyum. Tertera satu kontak yang ia beri nama 'Ibu Peri' melakukan panggilan Vidio.
Secepat kilat Erich pun menggeser ikon berwarna hijau, hingga panggilan tersambung.
"Malam, sayang," sapa seorang wanita berparas cantik di seberang.
Erich tertawa senang hingga menampakkan jajaran gigi rapinya.
"Malam juga ibu periku tersayang," goda Erich yang mana membuat sang lawan bicara ikut tergelak.
"Hem, nakal kamu ya."
Erich tak menjawab. Ia justu memilih menatap wajah cantik perempuan paru baya di layar ponselnya.
"Ibu merindukanmu, apa kau tidak merindukan Ibu hingga beberapa bulan tak pulang." Terlihat gurat kerinduan mendalam dari wajah pemilik suara.
Erich faham jika Zara merindukannya. Memang beberapa bulan ini aktifitasnya cukup padat hingga tak memiliki banyak waktu untuk menyambangi kedua orang tuanya di luar pulau.
"Tentu, Erich pun sangat merindukan ibu, ayah, juga adik."
"Maka dari itu, pulanglah."
Erich terlihat menghela nafas.
Sang ibu menjadi kelemahan terbesarnya.
"Akan Erich usahakan. Tetapi belum bisa memastikan kapan lebih tepatnya."
"Baiklah," suara itu terdengar lemah. Dari layar Zara mengamati sekeliling sang putra.
"Erich, apa kau masih berada di kantor?"
Erich hanya mengangguk.
"Pulanglah, ini sudah malam dan kau perlu beristirahat."
"Baik, ibu."
Panggilan masih tersambung namun terlihat seorang pria yang mendekat kearah sang ibu.
"Sayang." Terdengar suara diseberang. Kini wajahnya pun terlihat. Rupanya dia Arka yang mendekat kearah Zara kemudian mencium pipi istrinya itu mesra.
Erich lekas memutus panggilan. Terasa geli menatap kemesraan orang tuanya meski pemandangan tersebut tak lagi asing bahinya.
Erich yang tegas seketika akan berubah lembut saat berbicara kepada sang ibu.
Arka dan Zara, kedua orang tuanya tersebut memang masih terlihat seperti pasangan romantis meski diusia mereka yang tak lagi muda. Kelembutan dan kesederhanaan sang ibu rupanya mampu meluluhlantakkan pertahanan sang ayah, hingga pria yang memiliki sifat dingin seperti dirinya, bertekuk lutut dan menyerahkan seluruh jiwa dan raganya pada seorang Azzara biantika.
Erich tersenyum simpul. Sungguh, seperti sang ayah, ia pun juga mengangumi sosok sang ibu yang sudah berjasa melahirkan juga membesarkannya selama ini. Zara hanyalah gadis biasa, meski Erich akui jika sang ibu memiliki paras lembut nan rupawan layak bidadari dari kayangan. Meski bertubuh mungil, namun di mata Erich dan Arka itu terlihat semakin menggemaskan, hingga membuat siapa pun tergila-gila.
Ya tuhan, aku bahkan terobsesi untuk memiliki kekasih yang hampir mirip dengan ibuku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus ceria
2022-11-23
0