Di depan pintu ruangan CEO yang masih tertutup rapat, seorang gadis tampak berdiri dengan memegang nampan berisikan secangkir kopi di tangan. Gadis itu menarik nafas dalam. Berulang. Guna meredam rasa takut juga cemas yang menjalar disekujur tubuh.
Satu
Dua
Tiga
Isabel kembali memejamkan mata. Maju mundur ketika hendak mengetuk pintu atau justru berbalik arah dan pergi tanpa memerikan secangkir kopi pesanan sang tuan.
Akan tetapi, bagaimana dengan nasib secangkir kopi yang ia bawa.
Ah sial.
Isabel merutuki diri. Kenapa Erich memesan kopi dalam situasi yang tidak pas. Saat tak ada satu office boy pun di area dapur yang bisa diminta bantuan untuk membuatkan kopi sesuai selera sang tuan. Hingga mau tak mau ia lah yang harus meracik minuman berwarna hitam pekat itu, meski tak yakin jika Erinc akan sudi meminumnya.
Satu tangan gadis itu mulai terangkat ke udara. Ragu, namun tak ada pilihan lain sebelum kopi panas itu menjadi dingin.
Keempat ruas jemarinya membentur pintu bercat putih tersebut hingga menimbulkan suara.
"Masuk." Terdengar sahutan dari dalam.
Gadis itu menarik nafas dalam. Berdehem. Sebelum tangannya bergerak untuk menekan gagang pintu.
Isabel tertunduk saat pintu berhasil terbuka. Sepasang kakinya melangkah menuju meja kerja sang tuan. Demi apa pun, Isabel benar-benar dibuat gemetar sekarang.
"Saya membawa kopi yang tuan pesan."
"Hem."
Secangkir kopi pun mendarat sempurna tanpa cela ke atas meja. Isabel bisa menarik nafas lega sebab kali ini ia melakukan tugas lebih baik dari hari sebelumnya. Meski Ia bukan gadis lemah, akan tetapi saat berhadapan dengan Eric, membuat keberaniannya menghilang seketika.
Menunggu sejenak. Belum adanya perintah membuat Isabel hanya berdiri di tempat semula.
"Pergilah," titah sang tuan.
"Ba-baik."
Gadis dengan rambut diikat rapi itu lekas berbalik. Segera menghilang sebelum sang tuan berubah fikiran.
Selangkah, dua langkah dan tiga langkah.
"Tunggu."
Isabel menegang. Sontak matanya memejam. Pasti ia melakukan kesalahan hingga Erich menghentikan langkahnya.
"I-ia, tuan," jawab Isabel selepas berbalik badan. Menghadap ke arah sang tuan.
"Siapa yang membuat kopi? OB atau..?"
Isabel menelan salivanya berat. Demi apa pun Erich kini sedang membahas siapa pembuat kopi yang baru saja disesapnya. Dan sayangnya, secangkir kopi itu adalah hasil racikannya.
"Sa-saya, tuan." Tertunduk dalam. Isabel yankin jika sebentar lagi cangkir berisikan cairan kopi itu akan melayang ke wajahnya.
"Kenapa kau yang membuatnya?"
"Karna sama sekali tak ada OB di dapur hingga saya berinisiatif untuk membuat kopinya sendiri untuk tuan."
"Dan kau percaya diri dan yakin jika aku akan menyukai kopi buatanmu?"
Isabel menyesal.
"Ma-maaf, tuan. Saya terlalu lancang."
"Hem, pergilah."
Gadis itu mengangguk. Melangkah gontai menuju pintu dan menghilang secepat mungkin dari hadapan sang tuan.
💗💗💗💗💗
Isabel membawa tubuhnya menuju ruang istirahat khusus pelayan. Di sebuah kursi yang terletak di sudut ruangan, gadis manis itu merutuki kesalahannya yang sudah lancang membuatkan kopi untuk seseorang dengan jabatan tertinggi di perusahaan tempatnya bekerja.
"Bodoh, seharusnya aku menunggu OB datang hingga tak mendapat masalah seperti ini."
Meski dilanda sesal, namun Isabel pun mendapat kesenangan saat bisa menyentuh kembali mesin kopi setelah beberapa bulan lamanya.
Sejujurnya Isabel juga tak sembarang meracik kopi untuk sang tuan. Gadis berlesung pipi itu rupanya punya keahlian khusus dalam bidang meracik kopi. Baik mengunakan mesin kopi canggih atau pun manual.
Hingga gadis itu pun menyakini jika secangkir kopi yang ia buat tadi untuk Erich, memiliki rasa yang nikmat. Terutama bagi mereka yang merupakan kaum pencinta kopi. Hanya saja, Isabel belum tau pasti, kopi sejenis apakah yang kerap dinikmati sang tuan.
Ah sudahlah. Demi sebuah keinginan, walau seberat apa pun rintangan, Isabel tak akan menyerah. Keinginannya tetap kuat demi lembaran cuan, yang akan membawanya juga sang ayah menuju kebebasan.
Sementara itu di ruangan lain.
Kenapa jadi senikmat ini.
Erich kembali menyesap kopi dalam cangkir itu perlahan. Seolah begitu menikmati setiap teguk cairan hitam yang mengalir lembut di tenggorokannya.
Kenapa bisa pas seperti ini.
Bertahun Retno membuatkan kopi untuknya, tetapi Erich yakin jika rasanya tak kalan nikmat dari kopi yang dimunumnya saat ini, dan itu adalah buatan Isabel yang notabene baru bekerja di perusahaannya beberapa hari ini.
Ini gila.
Erich tergolong pria yang pemilih dengan segala macam asupan makanan juga minuman yang masuk ke dalam tubuhnya. Juga tidak sembarang orang mengerti seleranya, terkecuali orang-orang sudah sekian lama melayaninya. Seperti Retno dan Zara, ibundannya. Namun kini, kenapa kopi racikan isabel serasa begitu pas di indra pengecapnya?.
Erich tak ambil pusing. Ia pun kembali meneguk kopi, hingga tetes terakhir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Dewi Nafara
dari kopi jadi cinta🥰🥰🥰
2023-02-19
0
Uda Yani
dari kopi turun ke hati
2022-12-14
0
fifid dwi ariani
trus bahagia
2022-11-23
0