Kedua mataku membulat menyaksikan, wanita berdiri di abang pintu apartemen dengan memakai pakaian yang terlihat minim. Ternyata itu adalah Bu Nina.
Aku kira dia berubah, dengan tampilannya menjadi wanita berhijab. Namun ternyata aku salah, karna bagaimana pun manusia tidak bisa memaksa keinginan hati seseorang. Apa pun keinginan harus di dasari dengan hati, dan kemantapanan jiwa.
Aku pernah mendengar perkataan emak, beliau pernah berkata padaku." Kalau punya istri usah ain yang berhijab ya nak."
"Tapi kalau jodohnya enggak yang berhijab gimana mak, kan namanya jodoh sapa yang tahu."
"Kalau kamu dapatnya yang enggak berhijab, ya kamu kasih tahu dia. Pelan-pelan, ajari dia untuk menutup aurat, insya Allah wanita mana yang enggak bakal nurut sama kamu."
"Iya dia nurut, terus karna terpaksa gimana?"
"Enggak papa terpaksa juga lama-lama menjadi terbiasa."
"Memang apa istimewanya sih mak wanita berhijab dan yang enggak."
"Enggak ada bedannya, semua wanita sama saja. Mereka sama-sama istimewa. Yang berhijab yang enggaknya mereka patut kamu hormati. Cuman kamu mau nanti aurat istrimu yang harus di tutupi terlihat oleh lelaki lain."
"Ya enggak mau lah."
"Makanya, kalau kamu dapat yang enggak berhijab juga nanti kamu ajari dia."
"Oh ya mak, kalau nanti aku dapatnya janda bukan gadis gimana?"
Emak tertawa, sembari menggeleng-gelengkan kepala seraya menjawab!" Kalau memang jodohnya kenapa enggak boleh, emak enggak bakal melarang kamu. Yang terpenting wanita itu sayang sama emak sama kamu. Haikal semua wanita sama di hadapan sang maha kuasa mereka mulia, yang membedakan hanya di mata manusia karna status. Jadi kalau nanti kamu dapat ya janda atau gadis, emak ingatkan kamu. Perlakukan wanita yang menjadi istrimu sebaik mungkin, ingat itu. Atau ku gorok kamu nak."
"Ya elah mak, sadis bener."
Itu lah obrolanku dulu bersama emak. Ahk, rasanya kangen dengan perkataan emak yang selalu menasihati.
Emak menasihati tanpa memaksa aku. Harus begini harus begitu, beliau memang ibu terbaik bagiku.
Melangkah berjalan menghampiri Bu Nina, melihat kedua matanya tampak bengkak seperti habis menangis, ada apa dengan Bu Nina?
"Bu Nina?"
"Haikal." Bu Nina melangkah menghampir badanku. Ia hampir saja memeluk tubuhku ini, untung saja aku langsung menghindar.
Tubuhnya terduduk di atas lantai, ia menangis terisak-isak.
"Bu Nina, kenapa? Ayo berdiri bu. Malu di lihat orang nanti di kira apa," ucapku meraih kedua lengannya agar berdiri lagi.
Bu Nina masih menangis, sesegukan.
"Gimana kalau kita pergi ke cafe terdekat, kalau aku bawa Bu Nina masuk ke dalam apartemen. Nanti apa kata orang?"
Sebenarnya di apartemen ini tampak sepi,
Orang tidak akan memperdulikan kami kalau masuk berdua ke dalam apartemen.
Namun tetap saja aku sebagai lelaki merasa risi, karna menurutku tidak baik membawa seorang wanita masuk ke dalam apartemen.
Setidaknya aku adalah lelaki yang punya nafsu, aku takut tidak bisa mengontrol diri. Apalagi dengan tampilan baju Bu Nina yang minim dan terlihat seksi, mungkin setan akan berusaha menggodaku. Hingga iman ku lemah. Sesungguhnya menghindari lebih baik.
Setelah sampai di Cafe, kami duduk dan memesan minuman.
"Coba Bu Nina jelaskan, kenapa Ibu menangis?" tanyaku pada wanita yang tengah duduk di hadapanku. Wajahnya tampak murung, ia membungkukkan pandangannya ke bawah, seakan enggan bertatap muka denganku.
Bu Nina masih saja diam, ia tidak menjawab pertanyaanku saat itu. Entah kenapa dengan dirinya?
"Bu, kenapa ibu diam saja?"
Bu Nina benar-benar tidak menjawab pertanyaanku. Entah ada apa dengan dirinya, sehingga ia bungkam dan tak mau bicara.
Aku mengusap kasar rambutku, menyenderkan punggung pada kursi.
Saat itu mulut Bu Nina mulai berani berkata." Sebenarnya ...."
"Sebenarnya apa, Bu?" tanyaku yang tak sabar mendengar masalah apa yang di hadapi oleh Bu Nina saat ini.
"Haikal, apa kamu mau menikah dengan saya?"
Aku yang mendengar perkataan Bu Nina, membuat punggungku yang menyender seketika bangkit duduk dengan tegap. Menempelkan kedua lenganku pada meja, menatap tajam kearah wanita yang duduk di hadapanku.
"Jangan bercanda, Bu," ucapku.
"Saya serius Haikal. Sebenarnya papah saya mau menjodohkan saya dengan lelaki pilihannya!" jawab Bu Nina air matanya mengalir.
"Terusss .... Apa hubungannya dengan saya, Bu?" tanyaku yang tak mengerti.
"Saya ingin kita menikah kontrak, selama satu tahun. Untuk mengelabui papah saya agar tidak menikahkan saya dengan lelaki pilihannya!"
Saat itu aku menolak keras keinginan Bu Nina, dengan menepak meja cafe begitu keras.
"Saya menolak bu, karna pernikahan itu bukan sebuah permainan. Jadi maafkan saya, saya tidak bisa membantu ibu."
Aku berdiri dari tempat duduk, melangkah maju, pergi dari hadapan Bu Nina. Tapi dia malah menarik jari tanganku yang mengepal.
"Haikal saya mohon bantu saya, pleas. Saya akan bayar kamu lebih besar dari gaji kamu, gimana?"
Kedua mataku melirik pada wajah Bu Nina, ada rasa kasihan menyelimuti hati. Tapi harus bagaimana lagi, aku tidak mau. Membuat pernikahan hanya untuk sebuah permainan.
Apa nanti kata emak. Dia akan kecewa dengan aku yang sebagai anaknya.
"Maaf Bu, sebaiknya ibu cari saja pria lain. Saya tidak bisa Bu."
Menepiskan tangan Bu Nina yang memegang jari tanganku.
"Kalau itu jawaban mu. Besok kamu jangan bekerja di tempat saya lagi," ancam Bu Nina. Membuat langkahku terhenti seraya menjawab." Baik saya akan pergi, terima kasih atas semuanya Bu Nina."
Mungkin ini adalah keputusan yang terbaik, aku tidak mau terjerumus dalam kebohongan. Yang memang kebohongan itu akan terus menerus dilakukan.
Pagi hari aku mengembalikan fasilitas yang di berikan oleh Bu Nina padaku. Baru saja bekerja sudah dapat masalah, biaralah. Demi kebaikan menjauhi yang buruk mendekati yang lebih baik.
"Apa kamu tidak menyesal Pak Haikal, padahal saya kasih kamu semuanya. Tinggal kamu menuruti keinginan saya."
"Bagi saya tidak ada kata menyesal bu. Lebih baik menyesal sekarang dari pada harus menyesal pada akhirnya."
"Kamu ini keras kepala Pak Haikal. Menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi orang sukses dan kaya raya."
"Bukan dengan cara seperti itu bu. Untuk mendapatkan kesuksesan dan kekayaan, bukan dengan cara instan. Seperti yang di tawarkan Bu Nina."
"Kamu benar-benar bodoh Pak Haikal."
"Saya. Bukannya ibu yang seperti itu, harusnya masalah pribadi jangan dibawa ke tempat pekerjaan. Dan untuk masalah perjodohan jika ibu tidak mau, harusnya ibu lebih tegas menolak."
"Diam kamu Haikal."
"Dari tadi saya diam. Cuman ibu yang terus bicara."
Aku segera pamit meninggalkan Bu Nina, yang tengah emosi karna perkataanku.
Dengan berjalan gontai, terasa lemas badan ini. Aku kembali lagi ke kontrakan yang pernah aku tempati kemarin.
"Pak Haikal balik lagi?"
"Iya Bu, saya mau mengontrak lagi di sini apa boleh? Soalnya saya di pecat di tempat kerja."
"Boleh pastinya Nak Haikal. Kontrakan ini selalu terbuka untuk Nak Haikal, oh ya. Ibu turut prihatin semoga aja Nak Haikal dapat lagi kerja ya."
"Amin, maka sih Bu."
"Sama-sama. Ini kuncinya."
Ku rebahkan tubuhku di atas tikar, dengan pelan. Rasa kantuk kini ku rasakan, membayangkan kebahagiaan yang baru saja di rasakan kini sirna seketika.
Mengusap pelan wajah dengan tangan seraya menyebut sang maha kuasa Allahu Akbar.
Di balik ujian ini selalu tersimpan kebahagiaan.
Aku hanya tinggal berusaha, ikhtiar dan berdoa.
Rasa rindu kian menghantui pikiranku, ingin menghubungi emak. Namun aku sedikit malu, aku takut emak kuatir dengan anaknya ini yang di pecat dari pekerjaan.
Waktunya untuk tidur melupakan masalah. Dan menunggu hari esok untuk mencari pekerjaan baru.
Saat mata mulai menutup secara perlahan, suara cacing perut seakan meronta-ronta meminta jatah makanan. Aku merogok dompet dan hanya ada selembar uang dua puluh ribu saja. Mana cukup untuk besok ongkos mencari kerja, biar aku tahan dulu saja sampai pagi.
Tok ... tok ..
Suara pintu di ketuk. Ternyata tetangga sebelah.
"Loh Bu Nunik ada apa?" tanyaku. Wanita tua itu menyodorkan rantang berisi makanan kepadaku.
"Ini Nak, dimakan ya. Kebetulan ibu masak banyak, jadi ini untuk Nak Haikal."
"Alhamdulillah, terima kasih Bu."
Aku meraih rantang nasi itu dengan kedua tanganku rasanya bahagia. Bisa mengisi perut yang tengah keroncongan.
Pertolongan Allah selalu saja ada, dia tahu. Dimana umatnya tengah kesusahan. Rezeki memang enggak ke mana.
Memakan makanan yang di berikan Bu Nunik, sungguh nikmat terasa.
***********
Pagi hari aku melihat Suami Bu Nunik tengah kewalahan memperbaiki angkotnya, dengan sigap ku bantu dia.
"Kenapa pak mobilnya?"
"Aduh mogok, den!"
Mencoba untuk memperbaiki angkot milik Pak Hasan, dengan keahlian yang di berikan almarhum bapak dulu. Saat almarhum memulai usahanya membuka bengkel mobil motor.
Namun, sekarang bengkel almarhum mengalami kebangkrutan. Karna bapak yang sering sakit-sakitan dan uang hasil bengkel habis untuk berobat bapak di rumah sakit.
"Alhamdulillah sudah beres pak."
"Benaran, den."
"Iya pak."
"Makasih den. Ini ada uang sedikit."
"Gak usah pak, saya ikhlas."
"Terima saja. Rezeki."
"Gimana kalau saya ikut bapak narik angkot."
"Emh, ya sudah ayo."
Selagi aku belum mendapat pekerjaan, lumayan narik angkot saja dulu.
Pekerjaan apa pun akan aku lakukan selama itu baik dan juga halal.
"Pak Haikal," panggil seorang wanita yang tak lain adalah Bu Nina. Ia melipatkan kedua tangannya seraya berkata," jadi sopir angkot sekarang."
"Ya, alhamdulillah selama belum dapet pekerjaan. Kerja apa aja yang penting halal!" jawabku. Membuat Bu Nina merasa kesal dengan jawaban yang aku lontarkan.
"Ya sudah saya berangkat kerja dulu ya, Bu."
Aku menatap raut wajah kekecewaan pada wajahnya mungkin Bu Nina masih berharap aku mau membantunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 289 Episodes
Comments