Dinda wanita itu begitu misterius bagiku, kenapa dengan dirinya yang hanya bisa diam. Apa seseorang membuat mulutnya membungkam begitu saja? Rasa kecewa benar-benar kurasakan saat ini, wanita berwajah imut berhidung pesek itu. Sudah membuat hatiku kecewa karna statusnya yang sudah mempunyai suami. Ahhk, ini karna aku terlalu berharap. Menarik nafas pelan rasanya sesak saat di keluarkan.
Kedua mata ini menatap ke arah langit. Emak jodohku tertutup lagi.
"Bang, tisunya." Ucap seseorang pria menyodorkan satu buah tisu bungkus kepadaku.
Aku mengambil tisu itu, mengelap air mata kekecewaan yang tiba-tiba datang. Tanpa di undang.
"Uangnya bang."
"Lah, aku kira gratis."
"Hanya jodoh yang datang secara gratis. Tisu bayar bang."
Sial, ada-ada ajah lelaki ini, ternyata dia jualan.
Astagfirullah ini kan dompet milik Dinda , aku harus mengembalikan dompet ini. Kalau tak ada dompet mana mungkin Dinda bisa pulang ke rumah.
Melihat jam kantor sudah waktunya pulang, aku mengendarai mobil yang di berikan oleh Bos Nina, saat ini.
Ku lihat wanita bernama Dinda itu masuk ke dalam bis, aku harus menyusul dia mencari tahu apa yang telah wanita itu sembunyikan?
Dengan mengucap Bismillah semoga Allah memudahkan rencanaku, mengikuti bis itu dengan kecepatan penuh. Seperti biasa Dinda turun di samping warung kopi, ia seakan menunggu seseorang.
Benar saja, tiba-tiba lelaki berbadan kekar datang memakai motor metic menjemput Dinda. Aku terus mengikuti dia hingga masuk ke dalam gang yang menurutku terlalu sempit. Untung saja mobil masih bisa masuk.
Setelah motor itu berhenti, aku segera turun dari mobil mengikuti mereka. Ternyata mereka masuk ke dalam rumah, mencoba menghampiri rumah itu.
Dengan lancang aku menempelkan telinga pada pintu rumah yang di masuki Dinda hanya ingin sekedar tahu apa yang dilakukan laki-laki itu pada Dinda?
"Mana uang gaji kamu, sini berikan kepadaku." Hardik lelaki itu di balik pintu rumah.
"Aku sudah bilang, belum waktunya gajian." Teriakan itu menggema di balik pintu pada telingaku. Teriakan Dinda.
Plak ... plak, suara pukulan dan tamparan begitu keras. Aku mencoba mengetuk pintu rumah ini.
"Assalamualaikum, permisi," teriakku mengetuk pintu rumah ini.
Seorang lelaki keluar dan membuka pintu," siapa?"
Aku menjulurkan tangan hanya untuk bersalaman dengan lelaki di hadapanku. Ia tampak mengabaikan tanganku saat itu.
"Saya, Haikal. Ingin menemui Dinda, apa orangnya ada di rumah?" tanyaku. Sedikit mengepalkan kedua tangan.
Lelaki itu berteriak memanggil nama Dinda.
Saat itulah wanita berbulu mata lentik itu keluar dan menyapaku.
"Pak Haikal ada apa ya?" tanyanya. Aku yang melihat penampilannya sungguh merasa kasihan, wanita yang seharusnya di jaga sebaik-baik mungkin. Malah di jadikan nafsu amarah.
Rambut Dinda begitu kusut, kedua matanya nampak berkaca-kaca. Saat itulah ku sodorkan dompet kecil milik Dinda, tapi ternyata malah di rebut oleh lelaki berbadan kekar di sampingnya
Lelaki itu malah menutup pintu, tanpa berkata sepatah kata pun.
Ini benar-benar sudah di luar batas, apa warga di sini tidak mengetahui bahwa warganya ada yang mendapatkan kekerasan fisik.
Dengan isengnya aku bertanya pada ibu-ibu di gang sempit, Dimana rumah Dinda berada.
"Assalamualaikum bu," ucapku memberi salam. Mereka malah menatapku silih bergantian, tanpa mengedip mata.
"Waalaikumsalam. Ada apa ya den?" tanya ibu penjual warung kopi itu.
"Apa ibu mengenal wanita yang berada di rumah yang catnya berwarna biru?" tanyaku pada ibu-ibu yang tengah nangkring di warung kopi itu.
"Oh, itu Neng Dinda sama suaminya Burhan. Ada apa ya?" jawab penjual itu.
"Apa ibu-ibu tidak melihat hal mencurigakan pada mereka?" tanyaku. Ibu-ibu itu malah saling memandang satu sama lain seakan tak mengerti dengan perkataanku.
"Maksudnya?" tanya salah satu ibu yang memakai baju merah maron.
"Seperti Kdrt?" tanyaku lagi.
"Enggak ada tuh, Mas. Perasaan mereka adem ayem aja. Neng Dindanya juga, enggak banyak ngomong." Jawaban ibu-ibu kepadaku, membuat sedikit kesal. Sebagai tetangga mereka tidak tahu menahu tentang keadaan wanita bernama Dinda itu.
Memang di kompleks ini begitu amat sepi, adapun ibu-ibu yang nangkring hanya sementara untuk berbelaja saja. Selebihnya mereka banyak menghabiskan waktu di rumah.
Semua ini membuat aku ingin mencari tahu sedalam mungkin.
Informasi yang ku dapatkan tidak jelas, dengan terpaksa aku menaiki mobil menuju kontrakan.
Pikiranku saat ini masih tertuju pada Dinda dan suaminya. Apa ini arti dari mimpiku setiap malam?
Nafasku benar-benar berat saat ini, seakan banyak sekali beban yang aku rasakan. Membuat hati dan pikiranku seketika kacau.
Suara ponsel tiba-tiba berbunyi. Panggilan dari Bos Nina, segera ku angkat saat itu juga.
"Hallo. Bu," ucapku dalam sambungan telepon.
"Pak Haikal, bagaimana dengan apartemen nya. Apa kamu nyaman?" tanya Bu Nina.
"Maaf bu, saya belum melihat apartemen nya soalnya saya mau pulang. Ke kontrakan dulu, untuk mengambil sebagian barang-barang saya," jawabku.
"Oh, ya sudah kalau begitu," ucap Bu Nina.
Wanita yang menjandi bos di perusahaanku mematikan teleponnya.
Aku yang baru saja sampai di kontrakan di kejutkan dengan orang-orang yang berkumpul di depan kontrakan yang aku tempati, ada apa ya mereka?
Membuka pintu mobil, mereka tampak histeris. Menyambut kedatangaku.
Untung saja aku membeli kecamatan hitam di pinggir jalan, lumayan harga lima belas ribuan sudah bisa bergaya. Dengan gagahnya membuka kaca mata hitam yang aku pakai.
Jerit ibu-ibu di depan kontrakan nampak begitu histeris. Melihat mataku yang bersinar bagai kilau cahayanya, seketika mulut mereka menggagah.
"Tampannya." Itu yang terlontar dari ibu-ibu kontrakanku.
"Pak Haikal, mau pindah dari kontrakan ini ya?" tanya penjual nasi uduk yang menjadi langgananku.
Aku menganggukkan kepala, Bu Lisna penjual nasi uduk itu seakan kecewa.
"Padahal kita senang, di kontrakan ini ada pria ganteng kaya Pak Haikal ini," ucap Bu Nunik pemilik kontrakan ini.
"Udah ganteng, ramah. Lagi," ucap Bu Lisna.
"Aduh. Terima kasih ibu-ibu, memuji saya. Jujur saja hidung saya hampir mau terbang," jawabku sedikit bercanda.
"Ya sudah, kami ibu-ibu di sini hanya bisa mendoakan Pak Haikal sukses dan juga cepat-cepat dapat jodoh," ucap Bu Lisan. Mendoakan.
"Amin."
"Kalau, enggak dapet-dapet jodoh. Ibu Siap jadi ...."
"Jadi apanya Bu Lisna?"
"Jadi mertuanya lah!"
"Oh, kami kira jadi istrinya. Kan Bu Lisna ganjen."
Bu Lisna memanyunkan bibirnya, mendelik kesal pada Bu Nunik.
"Sudah jangan bertengkar, saya mau pamit dulu ya ibu-ibu."
Setelah pamit dari kontrakan, aku mengendarai mobil dengan pelan. Menuju apartemen.
Tiba-tiba suara ponsel berdering.
Panggilan dari emak.
"Hallo, Haikal. Apa kabar kamu nak?" tanya emak dalam sambungan telepon.
"Baik emak, maaf ya Haikal sibuk jadi Haikal belum bisa menghubungi emak!" jawabku. Rasa kangen kian menggebu dalam hati.
"Enggak papa, yang penting kamu baik-baik di sana. Emak harap kamu bisa sukses di sana nak," ucap emak. Mendoakan ku.
"Amin, mak!"
Aku mendengar emak yang tiba-tiba batuk.
"Emak enggak kenapa-napa kan?" tanyaku. Ada rasa khuatir menyelimuti pikiran dan hati.
"Emak baik-baik aja, sudah jangan pikirkan emak. Kamu di sana baik-baik aja, jangan banyak pikiran ya nak!" jawab emak.
Emak langsung menutup panggilan telepon tiba-tiba. Dengan segera aku menelepon balik, tapi no. emak tidak aktif lagi.
Di dalam perjalanan menuju apartemen, aku melihat sosok wanita berjalan. Wanita itu seperti Dinda. Memberhentikan mobil menghampiri wanita yang berjalan seakan tengah menangis.
Berlari tergopoh-gopoh," Dinda."
Wanita itu berbalik arah ke hadapanku.
"Maaf mas, siapa ya?"
Ternyata dia bukan Dinda. Entah kenapa pikiranku selalu tertuju dengan wanita bernama Dinda itu, padahal dia sudah bersuami!
Kalau aku menghubungi polisi tanpa bukti, nanti aku yang di kira memberi informasi palsu.
Saat sampai di apartemen, sosok wanita sudah berada di abang pintu apartemen. Tengah menunggu.
Siapa wanita itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 289 Episodes
Comments