Usai pertemuan itu, 5 sekawan itu langsung pada mempersiapkan diri sebelum pembacaan surat wasiat itu. Namun pertama-tama harus Arya dulu memang sebelum yang lain bergerak. Karena Arya yang mengurus berkas. Karena dari berkas itu lah dimulai drama mereka. Berkas itu sejatinya sudah siap. Hanya tinggal ditambahkan keterangan lagi saja setelah ketemu Wati dan Bimo.
Di ruangan kerja, Arya mengetik di depan komputer. Nggak lama di printnya, dan di staplesnya menjadi dua bagian. Lalu di masukkannya ke amplop cokelat, dan di tulisnya alamat. Lalu dia keluar dari ruangan menyuruh sekretarisnya untuk mengirim berkas tersebut. Sekarang aksi selanjutnya berada di tangan ke empat orang itu.
Setelah menerima berkas, kemudian ke empat orang itu beraksi. Mami Putri memutuskan untuk bicara hanya ke saudara-saudaranya saja. Karena biar nanti saudara-saudaranya saja yang jadi perpanjangan tangannya ke sepupu-sepupu anaknya.
Tahap selanjutnya masuk ke anak-anak mereka. Ke dua tokoh utama akan diberi tahu terakhir. Mereka harus bicara dulu ke saudara kandung ke dua tokoh tersebut.
Kemudian beberapa hari berikutnya, di kediaman orang tua Ken.
Dodi memarkirkan mobilnya setiba di rumah mertuanya. Sebaik mobil sudah terparkir, Asri membuka pintu langsung keluar dari mobil. Sungguh, dia cemas sekali. Dodi bergegas menyusul di belakang.
Hari ini mereka disuruh datang ke rumah orang tua Asri. Katanya ada hal penting. Sepulang kerja, Dodi menjemput istrinya di rumah usai diberi tahu. Lalu setelah itu meluncur ke sini.
“Akhirnya kalian sampai,” sapa orang tua Ken.
“Malam Bu, Pak,” sapa Dodi.
“Ada apa Ibu dan Bapak manggil, Asri? Ada hal penting apa, mau dibicarain?”
Belum sempat orang tuanya membalas sapaan Dodi. Asri memotong dengan nada gak sabaran.
Sepanjang jalan menuju ke sini dia gelisah sekali. Takut orang tuanya ada apa-apa. Maklum, orang tuanya tinggal berduaan. Anak mana yang nggak cemas dengar orang tua bilang begitu. Di mobil pun, Dodi sampai terus menenangkan istrinya. Karena duduk terus gak tenang.
“Apa Ibu, Bapak, sakit? Atau, usaha Bapak bangkrut? Atau Ibu dan Bapak, lagi tertimpa masalah?” lanjutnya memberondong pertanyaan.
Bapaknya mengerutkan kening. Karena anaknya sampai berpikir jauh. Orang tuanya memiliki usaha di bidang jasa tour & travel, dan memiliki banyak cabang.
“Nggak."
“Kita bicara nanti saja. Lebih baik kita makan dulu," ucap ibunya.
Karena mantunya sepulang kerja langsung menjemput istrinya dan ke sini. Berhubung ini sudah malam, dan sudah waktunya makan malam. Jadi ibu tua itu menyiapkan makanan untuk mereka semua.
Lalu sesudah makan, bapak Asri yang angkat bicara perihal kenapa mereka dipanggil ke sini. Asri dan Dodi mendengarkan dengan muka pada melongo. Rupanya tak sesuai apa yang mereka kira.
“Hah! Ini serius, Pak?!” respon Asri memekik, dengan nada nggak percaya.
“Iya, masa Bapak bohong.”
“Lantas, nanti kalau Mas Ken nggak terima, gimana?”
“Makanya pakai surat wasiat. Biar masmu nggak berkutik."
“Lagian kan, kamu tahu sendiri Sri Masmu itu sudah lama nggak ada gandengan sejak pacarnya si Winda kecelakaan,” tambah ibunya.
“Iya sih! Asri juga sedih lihat Mas Ken begitu. Kelamaan banget berdukanya.”
“Nah! Makanya Ibu dan Bapak buat begini.”
“Asri sih setuju-setuju saja. Tapi masalahnya, anak yang dijodohkan Mas Ken itu masih kecil loh! Apa nggak ada calon lain?”
“Sebenarnya Ibu dan Bapak merencanakan ini sudah beberapa bulan lalu. Tapi baru ini dapat yang cocok. Lagian, kamu kira nyari cewek buat masmu gampang, apa? Kan Ibu, Bapak, harus cari yang bagus bibit, bebet, dan bobotnya. Dan kebetulan orang tua anak itu kan kita kenal. Jadi ya sudah, cocok untuk Mas Ken."
“Berarti nanti Asri manggil anak itu, apa?”
“Iya, Mbak. Kamu juga Dod, panggil anak itu Mbak," ucap bapak Ken, memperingatkan juga ke mantunya.
"Iya, Pak," angguk Dodi.
“Hah?! Anak itu beda 11 tahun loh sama Asri,” protes Asri. Asri umur 28 tahun.
“Terus kamu mau manggil dia, apa? Putri, gitu?” balas bapaknya.
“Ya, Putri aja. Kan belum tentu juga nikah sama Mas Ken.”
“Loh! Kan nantinya nikah. Gimana sih kamu, Sri." Ibunya mengingatkan.
“Iya, Asri tahu. Tapi siapa tahu, ditengah jalan nanti mereka ada terjadi masalah.”
“Loh! Kok kamu doain ya?'
“Bukan, gitu... Hanya saja, Asri..."
“Ya sudah lah, Sayang... Gara-gara panggilan saja, kamu protes. Lagian, kalau nanti Mas Ken sampai jatuh cinta sama anak itu. Malah nanti kita lagi yang dimarahin Mas Ken." Dodi mengingatkan ke istrinya.
“Iya sih! Maaf Bu, Pak. Asri tadi begitu karena terlalu muda saja calon Mas Ken. Jadi Asri agak gimana gitu...”
“Yahhh... Pertama-tama memang kamu pasti canggung. Nanti juga kamu terbiasa,” ujar bapaknya.
“Ya udah, atur gimana baiknya Bapak dan Ibu aja. Asri ikut aja.”
Selesai sudah pembicaraan orang tua Ken dengan anak bontot mereka. Sekarang masuk ke cerita kakak-kakak Putri.
Bobi, dan Sisil, pagi-pagi di suruh datang ke rumah orang tua mereka. Sebenarnya orang tua mereka begitu biar pembicaraan mereka tidak didengar Putri. Karena memang jam segitu Putri lagi sekolah.
Bobi yang seharusnya dari rumah langsung ke kantor. Terpaksa ijin telat demi memenuhi panggilan orang tuanya. Kalau Sisil mah gampang, dia nggak kerja. Rumahnya juga dekat dari rumah orang tuanya. Malah hampir tiap hari dia mampir. Sebab suaminya kerja di pelayaran. Jadi beberapa bulan baru pulang. Karena kesepian dia jadi sering main ke sana.
Bobi memarkirkan mobilnya dan turun. Sisil menegur kebetulan juga dia baru tiba. Lalu bersama-sama mereka masuk ke dalam. Di ruang keluarga orang tua mereka menyambut.
“Loh! Bareng?” Mami mereka terpana.
“Nggak. Kebetulan aja kita ketemu di depan," jawab dua orang itu.
“Oo...”
“Ya sudah! Ayo, kalian duduk. Papi dan Mami mau bicara.” Papi mereka sudah nggak sabaran.
“Ada apa, Pi? Mi?” tanya Bobi, sembari menempatkan pantatnya ke sofa.
“Iya, ada apa pagi-pagi nyuruh kita datang?” Sisil turut menyusul duduk.
“Begini... Bla bla bla....”
Papi mereka menjelaskan tentang niat mereka. Diikuti mami mereka kadang memberi tambahan disela suaminya bicara.
“HAH!!!” respon mereka, dengan ekspresi nggak percaya.
“Nggak salah, Pi? Mi?” lanjut Bobi.
“Iya, Pi? Mi?” tambah Sisil.
“Ya, nggak salah. Itu yang Papi dan Mami mau bicarakan," ucap papi mereka.
“Kirain ada apa, tahunya lebih dari yang Bobi duga.”
“Iya, kirain ada masalah apa. Apa penyakit Mami kambuh. Atau Papi, Mami, ada ketimpa musibah. Atau juga, usaha Papi ada masalah gitu... Tahunya...,” geleng Sisil.
Orang tua mereka punya usaha. Mami mereka punya penyakit darah tinggi, dan beberapa kali pernah dirawat.
“Orang Mami sehat-sehat saja. Buktinya ngobrol di sini sama kalian," ucap mami mereka.
“Terus gimana?” tanya papi mereka, untuk pendapat mereka.
“Putri masih kecil loh Pi, Mi." Bobi mengingatkan.
“Iya. Masa, masih kecil udah dijodohkan. Kasihan Putri dong Pi, Mi. Masa remaja Putri nanti terenggut." Sisil menimpali.
“Jadi kalian nggak setuju, gitu?”
“Bukan, gitu..." Bobi jadi bingung mau bicara.
"Iya, hanya saja..." Begitu pula Sisil.
“Kesempatan gak datang dua kali. Saat ini Putri lagi dapat kesempatan emas. Dapat jodoh dengan masa depan cerah. Dari pada nanti Putri dewasa dapat jodoh nggak jelas. Kita kan gak tahu nanti gimana nasib Putri ke depan. Sekarang yang jelas-jelas saja lah...,” ujar papi mereka.
Bobi dan Sisil terdiam. Mereka sudah berumah tangga. Sudah punya anak. Sebagai orang tua, tentu mereka paham apa yang dipikirkan orang tua mereka. Orang tua selalu ingin yang terbaik buat anak. Kadang anak suka menantang. Tapi nanti baru sadar pas tahu salah menentukan pilihan. Ternyata pilihan orang tua terbaik. Tentu karena orang tua sudah makan pahit manis kehidupan.
“Orang dengan modal cinta. Belum tentu sudah nikah nanti bahagia. Kalian tahu sendiri kan, gimana peliknya berumah tangga. Kalau udah urusan perut, bisa-bisa berantem!” tambah mami mereka.
“Jadi gimana, Bobi? Sisil?" tanya papi mereka, karena dua anak itu diam.
“Yahhh... Atur gimana baiknya Papi dan Mami aja deh!” tandas Bobi.
“Iya, Sisil ikutan juga.”
“Tapi kalian harus bantu Papi, Mami ya. Untuk rayu Putri. Kan kalian tahu sendiri anak itu kayak gimana," ujar mami mereka.
“Mas Bobi aja yang ngomong. Kalau sama Sisil mah Putri ngelawan.”
Di keluarga itu hanya Bobi yang ditakutkan Putri. Mungkin karena kakak tertua.
“Ya, kamu juga harus bantuin Mas dong, Sil. Biar Putri benar-benar bisa kemakan rayuan Mas."
“Oo... Gitu. Ya udah deh! Eh, tapi ngomong-ngomong Mi, Pi. Itu kan, berupa wasiat. Kenapa kita harus bantu ngomong? Kan Putri tinggal baca aja."
Sisil setelah menanggapi omongan kakaknya, dia bicara ke orang tuanya. Karena dia baru engeh.
“Ah, kamu ini... Masa, gak paham? Putri itu kan masih kecil. Pikirannya masih belum nyampai kalau diajak ngomong serius. Jadi kalian harus bantu Papi, Mami. Biar anak itu cepat paham. Yahhh... Selain itu, kalau anak itu mencak-mencak. Kalian juga bantu nenangin," ujar papi mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Iklima kasi💕
bener2 konspirasi yg besar,,tp syukaaaaaa😆
2020-09-02
1
Zhia
next
2020-08-08
0
kasurku istanaku
niat bener dah ortunya
2020-06-13
0