Sesampainya di perbatasan Berlin, aku terkejut dengan pemandangan ibukota yang terlihat lebih megah dan lebih maju dari pada kota Albon.
"Fouyoo ... ibukota benar-benar luar biasa," kataku yang sedang berdiri tepat di perbatasan Ibukota Roland dengan wajah berbinar.
"Ibukota benar-benar melebihi bayanganku. Wajar jika banyak kelompok yang ingin menguasainya," kata Akito yang berdiri di sampingku, juga dengan wajah berbinar.
Kami pun mulai berjalan memasuki kota.
Di sepanjang jalan, aku tidak henti hentinya melihat ke sekitar. Karena bagiku, itu adalah pengalaman pertama memasuki Ibukota Roland.
"Oi, Akito! Kelompok mana yang akan kita targetkan?" tanyaku sambil terus berjalan di jalanan ibukota.
"Hmm ... mungkin kelompok Hendri adalah pilihan terbaik," jawab Akito.
"Kelompok Hendri? Apa kau berniat membuat sebuah pembukaan spektakuler?" tanyaku dengan senyum tipis.
"Bukankah kau juga setuju?" jawab Akito sambil tersenyum jahat.
"Haaahahahahahaha! Kau memang luar biasa! Kalau begitu, ayo targetkan mereka. Tapi, apa kau tau ke mana harus mencari kelompok mereka?" tanyaku sambil berjalan menelusuri kota.
"Entahlah. Aku juga tidak tau," jawab Akito yang berjalan di sampingku.
"Haaahahahahahaha! Sesuai dugaan. Kau hebat, tapi juga bodoh!" ejekku pada Akito.
"Memangnya kau tau di mana, hah?" tanya Akito jengkel.
"Entahlah. Aku juga tidak tau. Haaahahahaahaha!" jawabku santai.
"Kan, kau juga sama saja. Haaahahahahahaha!" balas Akito.
Kami berdua menertawakan kebodohan satu sama lain.
"Soal pencarian, kita pikirkan besok. Hari ini, ayo istirahat dulu," ucapku.
"Ya, aku setuju," sahut Akito.
Kami berdua mulai mencari penginapan terdekat untuk beristirahat.
Keesokan harinya, kami pergi ke pusat informasi kota untuk mendapat informasi terkait keberadaan kelompok yang kami incar.
"Permisi, kami ingin melihat daftar buronan," kata Akito kepada petugas yang berjaga di pusat informasi kota.
"Apa kalian kelompok Bounty Hunter?" tanya petugas itu.
"Ya, semacam itu," jawab Akito ragu.
"Kalau begitu, perlihatkan identitas kalian." Petugas di sana meminta identitas kami berdua.
Kami pun memberikan kartu identitas yang diminta.
Petugas itu kemudian mengecek apakah mereka berdua tercatat di daftar buronan atau tidak.
Setelah pengecekan selesai, petugas itu memberikan semua daftar buronan yang tercatat di ibukota.
"Ini kartu identitas kalian. Dan ini daftar para buronannya," kata sang petugas.
"Terimakasih," jawab Akito.
Aku dan Akito melihat setiap nama, kejahatan, dan harga kepala para buronan satu per satu.
"Apa mereka semua bagian dari kelompok besar?" tanya Akito pada petugas di sana.
"Hanya sebagian saja," jawab sang petugas.
"Apa ada di antara mereka yang merupakan anggota kelompok yang burkuasa di ibukota?" tanyaku pada petugas itu.
"Hmm ... sepertinya tidak ada," jawab sang petugas.
"Apa Anda tau di mana markas mereka?" tanya Akito.
"Apa kalian berniat menantang mereka? Jika iya, sebaiknya urungkan niat kalian," ucap sang petugas.
"Memangnya kenapa?" tanyaku.
"Jika kalian nekat menantang mereka, mungkin kalian akan kehilangan nyawa. Mereka bukan hanya berkuasa, tapi juga sangat kuat. Pengaruh mereka tidak hanya di ibukota, tapi hampir ke seluruh negara. Mereka adalah kelompok-kelompok kuat yang dihuni para monster," jawab sang petugas di sana.
"kami tidak bermaksud menantang atau semacamnya. Justru, kami ingin bergabung dengan salah satu dari mereka. Karena itulah, kami ingin tau di mana markas mereka," kata Akito.
"Jadi begitu. Jika tidak salah, markas mereka terletak di luar perbatasan kota bagian barat. Kalian bisa mulai mencarinya sendiri karena aku tidak tau letak pastinya," jawab sang petugas sambil menunjuk wilayah perbatasan barat.
"Terimakasih atas informasinya," balas Akito.
Kami berdua pun pergi meninggalkan gedung pusat informasi kota.
Sambil berjalan menuju perbatasan barat, aku bertanya pada Akito. "Oi, Akito. Kenapa kau bilang seperti itu?"
"Mau bagaimana lagi. Jika kita tetap ngotot mengatakan ingin menantang mereka, petugas itu tidak akan mau memberikan informasi apapun," jawab Akito.
"Aku tau itu. Tapi, aku tidak suka kalau harus berbohong seperti itu," sahutku.
"Lalu, kenapa kau tidak mencari informasi sendiri, hah?" ucap Akito kesal.
"Apa katamu?" tanyaku jengkel.
Kami pun kembali terlibat perkelahian kecil sambil terus berjalan menuju perbatasan barat.
Sesampainya di wilayah perbatasan barat ibukota, aku sedikit terkejut karena tidak menyangka kalau wilayah yang dimaksud adalah hutan belantara.
"Hutan? Apa markas mereka benar-benar ada di tengah hutan?" kataku sambil melihat hutan lebat di depanku.
"Sepertinya kita akan sedikit kesulitan," sahut Akito sambil menyipitkan mata agar bisa melihat lebih jauh.
"Oi, Akito. Apa kau ingat kapan terakhir kali kita berburu di hutan?" tanyaku.
"Entahlah. Mungkin sekitar 5 atau 6 tahun lalu," jawab Akito.
"Lupakan. Ayo berburu." Aku mulai melakukan sedikit pemanasan.
"Kuharap insting berburuku tidak tumpul." Akito juga melakukan sedikit pemanasan.
Kami berdua berniat menjadikan kelompok Hendri sebagai mangsa buruan.
Tanpa basa-basi, kami langsung memulai perburuan di hutan yang berada di wilayah perbatasan barat, kota Berlin.
Setelah 1 jam melakukan pencarian di dalam hutan, aku akhirnya mulai menemukan titik terang.
Saat sedang berlari di antara pepohonan, aku merasakan pancaran force dari wilayah dalam hutan.
"Ke sana!" kataku.
"Apa kau yakin?" tanya Akito.
"Aku tidak terlalu yakin karena force yang kurasakan sangat tipis. Tapi, setidaknya force ini mirip seperti milik manusia," jawabku.
Kami terus berbincang sambil terus berlari ke arah tujuan. Dengan kecepatan tinggi namun senyap, kami melesat menuju target tanpa suara sedikit pun.
Sesampainya di tempat tujuan, aku melihat gubuk reot yang berada di tengah hutan.
Aku dan Akito mengintai gubuk itu dari kejauhan sambil menjaga jarak agar keberadaan kami tidak terlacak.
"Sekarang, aku bisa merasakan force yang kau maksud!" bisik Akito.
"Kupikir, orang-orang ini benar-benar hebat. Sangat sulit mendeteksi force mereka," bisikku.
"Ayo amati dulu."
"Ya."
Rudi dan Akito terus mengamati gubuk itu dari kejauhan, mereka menunggu untuk melihat mangsa seperti apa yang akan mereka hadapi.
Setelah 1 jam mengintai, aku melihat ada 3 orang yang keluar dari gubuk tersebut.
Aku pun melihat ke arah Akito. Dan Akito sedikit mengangguk untuk memberikan kode.
Kami berdua pun mematahkan dahan kecil di samping kami, memegangnya dengan tangan kanan, dan menggunakannya sebagai pengganti pedang.
Suara dahan yang patah, membuat ketiga orang itu menyadari ada yang aneh.
Ketiga orang itupun melihat sekeliling untuk memastikan.
Tanpa aba-aba, Rudi dan Akito melesat dengan kecepatan tinggi menuju ketiganya sambil mengayunkan ranting kayu di tangan mereka. Mereka berniat menebas leher salah satu dari ketiga orang itu menggunakan ranting yang dipegang.
??!!
Ketiga orang itu terkejut saat melihat ada dua orang asing yang tiba-tiba menyerang.
Akito melesat dengan kecepatan tinggi menuju orang pertama. Sedangkan Rudi melesat ke arah orang kedua dan ketiga.
Orang pertama berhasil menahan tebasan Akito. Sedangkan orang kedua dan ketiga melompat mundur untuk menghindari serangan Rudi.
"Siapa kalian?" tanya orang pertama pada kami.
"Kami? Kami adalah kelompok penantang!" jawabku santai.
"Apa kalian tidak tau siapa kami?" tanya orang pertama.
"Apa kami harus perduli?" jawabku acuh.
"Cih ... kalau begitu, matilah bocah!" seru orang pertama.
Fire Strom!
Orang pertama membuat sebuah badai tornado api dan melesatkannya ke arah Rudi dan Akito.
Ice Cube!
Rudi menciptakan kubah es untuk menghalau serangan tersebut.
Badai api itu menghanguskan wilayah sekitar. Pohon-pohon terbakar, tanah menghitam, sampai hewan-hewan hangus karenanya.
Rudi dan Akito terlindung dari serangan itu berkat kubah es yang Rudi ciptakan.
Sesaat setelah serangan mereda, Akito langsung melesat ke depan untuk menyerang ketiga orang itu.
Orang pertama berhasil menangkis tebasan Akito. Sedangkan orang kedua dan ketiga langsung bersiap menyerang Akito yang sedang beradu pedang dengan orang pertama.
Ice Thorn!
Dari arah belakang, Rudi menyerang orang kedua dan ketiga menggunakan duri-duri es tajam untuk membantu Akito.
Akito kemudian berselancar di atas es tersebut dengan kecepatan tinggi menuju orang kedua sambil bersiap menebasnya.
Saat ranting kayu berlapis force yang Akito pegang sudah berada tepat di leher orang kedua, orang pertama langsung membuat dinding api untuk mengehentikan pergerakan Akito.
Saat orang pertama fokus menahan pergerakan Akito, Rudi sudah berada di sampingnya dan bersiap menebasnya.
"Cih ... sejak kapan dia di sana," pikir orang pertama sambil berusaha menghindari tesaban Rudi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments