Sudah 3 hari sejak kami berangkat dari desa Alpen menuju kota Albon.
Saat ini, kami tengah beristirahat di sebuah hutan belantara.
"Rudi, jangan biarkan dia lolos!" teriak Akito sambil berlarian menggiring ayam hutan menuju ke arahku.
Aku melebarkan tangan dan kaki untuk bersiap menangkap ayam hutan yang mengarah padaku.
Plok!
Aku berhasil menangkap ayam hutan itu. Kemudian mengangkatnya sambil mengatakan, "Yeah, ayam bakar!"
"Yeah!" Akito juga ikut senang karenanya.
Kami melompat kegirangan karena berhasil menangkap ayam hutan.
Kami berencana memasak ayam itu untuk makan malam.
"Setelah menempuh perjalanan selama 3 hari, akhirnya kita bisa makan enak!" kataku sambil mengepalkan kedua tanganya sembari menghadap langit.
"Oh, Tuhan ... terimakasih!" Akito meniru poseku sembari berlinang air mata.
Aku bertugas mengumpulkan kayu bakar. Sedangkan Akito bertugas meracik bumbu.
Setelah selesai mempersiapkan semuanya, kami mulai membakar ayam itu. Kemudian memakannya saat ayam itu telah matang.
Kami makan dengan lahap seperti orang yang belum makan selama berhari-hari. Setelah kenyang menyantap ayam bakar, kami berdua langsung beristirahat.
4 hari telah berlalu sejak kami berangkat dari desa Alpen.
Seharusnya, hanya tersisa 1 atau 2 hari lagi untuk sampai di kota Albon. Akan tetapi, di tengah perjalanan, aku mendengar suara wanita yang sedang menjerit kesakitan.
Aku pun melihat sekeliling untuk memastikan hal tersebut. Tapi, aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Saat ini, aku tengah berada di hutan belantara. Jadi, aku tidak boleh lengah dan harus selalu waspada. Karena ancaman bisa datang kapan saja dan dari mana saja.
"Kau kenapa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" tanya Akito yang tampak sedikit cemas dan bingung.
"Entahlah ... aku mendengar suara yang mencurigakan," jawabku sambil melihat sekitar.
Aku berusaha melupakan jeritan itu dan kembali melanjutkan perjalanan. Tapi, tidak lama berselang, jeritan yang sama kembali terdengar.
Tanpa aba-aba, aku langsung berlari sekuat tenaga menuju arah jeritan tersebut.
"Hoi, Rudi!"
Akito cukup kaget saat melihat Rudi yang tiba-tiba berlari kencang ke suatu tempat. Melihat hal itu, Akito ikut berlari mengikuti Rudi dari belakang.
Aku akhirnya sampai di sebuah bangunan terbengkalai di tengah hutan.
Bangunan itu tampak seperti gudang yang tidak digunakan untuk waktu yang sangat lama. Banyak rumput-rumput liar yang menjalar di setiap sisi bagunan itu.
Aku kemudian mengintip ke dalam bangunan melalui lubang kecil yang berada di salah satu sisi bagunan itu.
Setelah melihat ke dalam bangunan itu, ekspresiku seketika berubah. Mataku mulai menyipit dan urat di kepalaku mulai menojol, itu adalah sebuah ekspresi kemarahan.
Aku langsung menghancurkan tembok di depanku untuk membuka jalan.
Akito cukup kaget karena melihat sahabatnya yang tiba-tiba memghancurkan tembok bangunan itu.
"Hoi, apa yang se ...." Akito ingin menayakan alasan kenapa Rudi tiba-tiba bertingkah aneh. Tapi, setelah melihat ke dalam bangunan itu, ia mengurungkan niatnya.
Kemarahan mereka memuncak setelah melihat seorang wanita yang sedang disiksa oleh 2 perempuan dan 6 laki-laki.
Wanita itu mengeluarkan banyak darah dari kepalanya karena terus disiksa oleh beberapa orang.
Tubuh wanita itu tel*nj*ng bulat, mulutnya disumbat kain, dan air matanya mengalir deras dari kedua kelopak matanya.
Wanita itu menatap Rudi dan Akito dengan tatapan tersirat, seolah sedang meminta untuk diselamatkan.
Tanpa pikir panjang, aku pun melesat dengan kecepatan tinggi ke arah salah satu pelaku untuk menghancurkan lengan pelaku itu.
Kratak! (Suara tulang hancur).
Pelaku itu terdiam sesaat karena syok. Ia baru menyadari bahwa lengannya telah hancur setelah beberapa saat kemudian.
"Argh!" Pelaku itu menjerit sangat keras karena rasa sakit akibat tangannya yang patah.
Aku kemudian mengendong wanita yang telah disiksa menjauh dari sana.
Setelah dilihat dari dekat, tubuh wanita itu sangat menggoda. Eh bukan, maksudnya, tubuh wanita itu penuh dengan luka lebam akibat dipukuli. Kulitnya tampak membiru. Dan di beberapa bagian, tampak bekas luka sayatan benda tajam.
Aku pun melepas bajuku untuk menutupi tubuh wanita yang sedang tel*nj*ng bulat tersebut.
"Akito, tolong jaga dia sebentar."
Aku kemudian melangkah maju dengan ekspresi marah. Sedangkan, Akito duduk di dekat wanita itu untuk menjaganya.
7 orang yang ada di hadapanku mulai bersiap memasang kuda-kuda bertarung.
3 orang pelaku kemudian mulai menyerangku dari 3 sisi berbeda.
Aku bisa menghindari serangan ketiga pelaku itu dengan sangat mudah.
Kratak! Kratak! Kratak! (Suara tulang hancur).
Aku memukul kaki dan tangan ketiga pelaku itu hingga membuat tulang mereka hancur.
"Argh!"
Ketiga pelaku itu menjerit kesakitan.
"To-tolong ... tolong ampuni Kami."
Sedangkan 4 sisanya, mulai memohon ampun sambil gemetar ketakutan.
Mereka berusaha melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi, aku tidak membiarkan satu pelaku pun lolos dari sana.
Dengan kecepatan secepat kilat, aku melesat ke arah keempat pelaku yang tersisa, dan menghancurkan lengan dan kaki mereka.
"Argh!"
Suara jerit kesakitan terdengar dari 8 pelaku itu.
"Kenapa kau melakukan ini kepada kami?" tanya salah satu pelaku yang tanganya hancur.
"Harusnya aku yang bertanya. Kenapa kalian menyiksa wanita itu dengan kejam?" tanyaku sembari memberikan tatapan tajam.
"Kami hanya diperintah untuk menyiksanya," jawab lirih pelaku itu lagi.
Aku pun tidak memperdulikan semua ocehan para pelaku itu setelah mendengar jawaba mereka.
Aku kemudian meninggalkan para pelaku itu dan berjalan mendekat ke arah Akito.
"Akito ... apa aku sudah keterlaluan?" tanyaku dengan nada lirih.
"Jika kau tidak melakukanya, maka aku yang akan melakukanya. Jadi, jangan merasa bersalah, Sobat. Mereka memang layak dihukum," jawab Akito.
Itu bukan pertama kalinya aku melukai manusia. Tapi, untuk pertama kalinya, aku merasakan perasaan bersalah yang amat besar.
"Tolong bunuh saja aku," ucap wanita yang sudah kuselamatkan, dengan air mata tak terbendung memohon untuk segera dibunuh.
"Apa maksudmu?" Aku menanggapi ucapan wanita itu dengan perasaan bingung.
"Saat ini, kau sudah baik-baik saja. Jadi, tenanglah," imbuhku yang berusaha menenangkan wanita itu.
Wanita itu masih terus menangis. Kemudian berkata, "Aku tidak punya siapa pun. Hal seperti ini pasti akan terjadi lagi. Aku sudah tidak mau disiksa terus menerus. Jadi, kumohon ... bunuh saja aku."
Dengan peradaan marah, aku mengatakan, "Jika kau ingin mati, maka bunuh dirimu sendiri! Kenapa kau memintaku melakukanya?"
"Aku tidak berani melakukanya," jawab wanita itu sembari menundukkan kepala dan berlinang air mata.
"Itu berarti kau masih ingin hidup. Jadi, berhenti berfikir konyol dan lanjutkan hidupmu dengan baik!" Aku menanggapi ucapan wanita itu dengan perasaan kesal.
Aku pun memberikan semua sisa uang yang kumiliki dan mengantar wanita itu ke desa terdekat.
Sesampainya di desa terdekat, wanita itu menundukkan kepalanya untuk berterima kasih.
Aku dan Akito kemudian kembali melanjutkan perjalanan kami ke kota Albon.
Setelah melewati perjalanan panjang selama 8 hari, kami berdua akhirnya sampai di kota Albon.
Perjalanan kami harus molor karena banyak hal tak terduga di sepanjang perjalanan.
Sesampainya di kota Albon, kami berdua sangat terkejut saat pertama kali melihat kota Albon yang begitu luar biasa.
Banyak bangunan megah berjejer rapi sejauh mata memandang. Orang-orang di sana juga terlihat berpakaian rapi dan mahal. Mereka semua terlihat asik berlalu lalang di tengah kota.
"Fouyoo ... kota ini benar-benar luar biasa."
"Kota ini jauh lebih baik dari dugaanku."
Kami benar benar terpukai dengan keindahan kota Albon.
"Oi, Akito. Apa kau tau di mana markas kelompok Foxie?" tanyaku sambil berjalan menelusuri kota.
"Hmm ... entahlah," jawab Akito yang berjalan di sampingku.
"Heh? Jadi kau tidak tau? Lalu kenapa kau menargetkan mereka kalau tidak tau di mana markasnya?"
"Kenapa kau malah menyalahkanku? Bukankah kau juga setuju dengan ideku?"
"Haah ... lupakan saja. Kalau begitu, ayo cari di mana markas mereka."
"Seharusnya tidak sulit mencarinya."
Itulah yang dikatakan Akito. Tapi, setelah 3 jam mencari, mereka tidak kunjung menemukan markas kelompok yang mereka cari.
"Di mana sebenarnya mereka bersembunyi?" Aku mulai putus asa karena tidak kunjung mendapat petunjuk sama sekali.
"Haah ...." Akito hanya bisa menghela nafas.
"Oi, Akito! Cepat tanya seseorang! Kalau begini terus, kita tidak akan menemukan markas mereka."
"Kau saja yang bertanya! Kenapa malah menyuruhku?"
"Bukankah ini idemu, hah?"
"Itu memang ideku! Tapi, kau juga setuju, kan?"
Kami berdua akhirnya terlibat perkelahian kecil di tengah kota. Akibat perkelahian itu, orang-orang di sekitar mulai memperhatikan kami.
"Apa yang mereka lakukan?"
"Mama, ada orang aneh!"
"Jangan dilihat, Sayang." Sambil menutup mata anaknya.
Karena banyak orang yang mulai memperhatikan, kami berdua langsung menghentikan perkelahian dan pergi dari sana agar tidak semakin malu.
Kami kembali melanjutkan pencarian sambil terus mengerutu.
"Gara-gara ulahmu, kita dianggap orang aneh."
"Itu ulahmu sendiri!"
"Apa katamu, hah?"
"Ngajak ribut lagi, hah?"
Kami berdua saling beradu kepala.
"Cih ...."
Kami menggerutu di saat yang sama dengan gerakan yang sama pula (gerakan memalingkan wajah).
Kami melanjutkan pencarian dan berjalan menelusuri kota sambil mengalihkan pandangan satu sama lain.
Setelah 5 jam mencari, kami akhirnya menyerah dan memutuskan untuk bertanya pada warga sekitar.
"Permisi, apa kau tau di mana markas kelompok Foxie?" tanyaku kepada seorang gadis cantik yang kutemui.
"Markas kelompok Foxie? Maaf, aku tidak tau," jawab gadis itu.
Kami terus bertanya kepada setiap orang yang kami temui. Dari 30 orang yang kami tanya, semuanya mengatakan jawaban yang sama, yaitu tidak tau.
"Kenapa tidak ada satu pun yang tau di mana markas kelompok Foxie? Oi, Akito! Apa kau tidak salah informasi? Jangan-jangan, kelompok yang kita cari tidak ada di kota ini?"
"Hmm ... entahlah. Jika diingat-ingat lagi, berita tentang kelompok Foxie diedarkan sekitar 10 hari yang lalu. Mungkin saja, mereka sudah pergi dari kota ini."
"Apa! Kau benar-benar membuatku marah! Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?"
"Apa boleh buat? Foxie adalah satu-satunya kelompok terdekat yang kuketahui. Kau tau sendiri, kan? Kalau desa kita sangat minim informasi?"
"Aku tau itu! Tapi, kenapa kau baru mengatakannya sekarang? Kita sudah jauh-jauh ke sini tapi tidak mendapat apapun! Kalau begini, kita mau makan apa? Kita bahkan tidak punya uang sepeser pun untuk sekedar membeli minum!"
"Setidaknya, kita bisa mencari kelompok yang lebih kecil untuk mendapat uang."
"Jangan bercanda!"
Karena tidak kunjung menemukan markas Foxie, kami pun memutuskan untuk menargetkan kelompok-kelompok kecil yang ada di kota Albon.
Tapi sebelum itu, kami harus menundanya sementara waktu karena kelehan setelah perjalanan panjang dan seharian mencari markas kelompok Foxie ke sana ke mari.
Kami pun mulai berkeliling ke setiap sudut kota untuk mencari penginapan termurah. Akan tetapi, tidak ada satu pun penginapan yang bisa kami sewa karena harga penginapan termurah berkisar 100 gale per malam. Sedangkan, uang yang kami miliki hanya tersisa 50 gale saja.
Dengan perasaan terpaksa, kami harus mencari bangunan tak terpakai untuk beristirahat. Karena jika tidak, kami harus tidur di pinggir jalan.
"Kita harus tidur di sini?" tanyaku yang tengah berdiri di depan bangunan kumuh tak berpenghuni di pinggiran kota Albon.
"Mau bagaimana lagi ... kau memberikan semua uang kita kepada wanita yang tidak dikenal. Jadi, kita tidak punya cukup uang untuk tidur di penginapan," jawab Akito dengan wajah pasrah.
Mereka harus tinggal sementara di sebuah bangunan terbengkalai karena tidak punya cukup uang untuk menyewa penginapan.
Atap bangunan itu sudah hancur, dindingnya mulai keropos, dan lantainya tampak sangat kotor.
"Kenapa harus begini!"
Aku berteriak keras karena kesal. Sedangkan Akito hanya memasang wajah pasrah sembari menghela nafas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Franco Holic
asik kak novelnya , tapi masih ada beberapa penulisan yang mungkin keliru, karena diawal kakak menulis pake sudut pandang orang pertama, di bab ini ada beberapa penulisan menggunakan sudut pandang ketiga.. semangat!!!!
2022-05-06
1