Kabar Burung dari Tetangga

Yani POV

"Tidur di mana Pak semalam?" tanyaku pada suami yang baru saja pulang pagi ini.

"Di rumah Muhlis."

Aku hanya mengangguk dan lanjut menyapu lantai. Anak-anak pun sudah pada berangkat ke sekolah dari tadi. Sudah menjadi kebiasaan jika Bang Herman baru saja pulang setelah ia bermalam di rumah temannya. Entah apa yang Bang Herman lakukan disana, tapi menurutku pasti hanya kebiasaan laki-laki saja yang menurutku tak ada gunanya. Entah main kartu, ngobrol sembari minum kopi, atau lebih-lebih sampai mabuk.

Bang Hendra melepas baju yang ia kenakan dan celana panjangnya, lalu mengambil handuk yang tergeletak setelah Arham memakainya. Ia berlalu keluar hendak pergi mandi di bawah rumah.

Aku mengambil pakaiannya lalu menyeringit bingung saat melihatnya. Setahuku Bang Herman semalam tidak memakai baju ini? Lalu kenapa pagi ini bajunya bisa berubah?

Baju yang aku pegang ini berupa kaos berwarna orange bertuliskan 'My Life Style' di depan kaosnya. Tapi seingatku Bang Herman semalam memakai baju kaos berwarna hitam polos? Lalu kemana baju hitamnya itu? Lagipula aku seperti tidak asing dengan baju orange ini. Namun, aku lupa dimana aku pernah melihatnya.

Ah, sebaiknya nanti aku tanyakan padanya kemana baju hitamnya itu. Mungkin baju Bang Herman basah terkena air atau apa hingga membuat Bang Herman meminjam baju pada temannya.

Setelah urusan menyapu selesai, aku kembali ke dapur untuk memasak nasi. Jam 10 atau 9 pagi, barulah aku akan memasak lauk pauk untuk makan siang anak-anak.

Setelah meletakkan panci nasi diatas kompor, aku baru teringat bahwa garam halus di dapur sudah habis semalam. Aku berniat akan membelinya di warung depan rumah.

Setelah mengambil uang di kamar, Bang Herman muncul dengan memakai handuk saja di pinggangnya memperlihatkan perutnya yang buncit dan badannya yang kekar.

"Bang, tolong jagain nasi sebentar ya. Aku mau ke warung dulu beli garam," ujarku berpapasan dengannya.

"Oh iya, semalam baju bapak yang hitam kemana? Perasaan tadi malam bapak pakai baju itu? Lalu kenapa sekarang pakai baju ini?" sambungku bertanya sambil mengangkat baju dia yang tergeletak di ranjang.

Kulihat Bang Herman menelan salivanya lalu beralih menatapku. "Oh, tadi malam baju hitamnya ketumpahan kopi sama temanku. Jadi aku ditawari pinjam bajunya Herman," jawab suamiku.

"Oh, terus bajunya mana? kenapa nggak dibawa pulang?"

"Ketinggalan disana, Bu. Lupa dibawa tadi."

Aku hanya berohria saja dan berlalu dari hadapannya. Setelah sampai di warung, aku langsung membeli garam halus yang sempat habis di dapur tanpa perlu ngobrol-ngobrol dengan Rani, karena teringat nasi di rumah.

"Yan, sini sebentar deh." Rani, pemilik warung yang juga tetanggaku ini memanggilku sebelum aku sempat berbalik pergi.

"Ada apa, Ran?"

"Cuma mau ngasih tau kalau ada acara pernikahan di kota xxx. Anaknya Pak Rahman yang kedua mau menikah Minggu depan."

"Oh, yang anaknya jadi polisi itu?" tanyaku.

"Iya, calonnya berasal dari xxx."

"Oh ok, terus mobil siapa yang akan mengantar?"

"Aku udah tanya sama suamiku dan dia bilang pakai mobilnya. Kamu ajak Nini juga supaya tambah rame disana." Nini merupakan bagian keluargaku juga dan rumahnya beberapa meter dari sini.

"Baiklah, nanti aku kabari dia," balasku lalu hendak berbalik pergi.

"Eh, tunggu dulu, Yan!" Rani mencegahku pergi lagi.

"Aku mau nanya, akhir-akhir ini aku seperti melihat suamimu kadang selalu datang atau keluar dari rumahnya si Nana. Kamu tahu tidak?" tanya Rani.

Aku menyeringit bingung dengan maksud perkataan Rani. Bang Herman selalu datang ke rumah Nana? Tapi buat apa? Apakah Bang Herman ada urusan dengan Nana?

"Tidak, emang kenapa, Ran?"

"Maaf ya, Yan, bukannya aku bermaksud membuatmu berpikiran yang tidak-tidak tentang suamimu dan Nana, tapi Bang Yadi––suamiku pernah melihat Herman keluar dari rumah Nana jam 2 pagi saat dia lupa menutup warung akibat keasikan nonton televisi. Lalu barusan aku juga sempat melihat dia keluar dari rumah Nana."

Aku cukup terkejut hingga membuat tubuhku sedikit bergetar. Bukannya tadi dia bilang bermalam di rumah Muhlis? Lalu kenapa Rani bilang kalau Bang Herman baru saja keluar dari rumah Nana?

Tapi yang membuatku sedikit shock saat mendengar jika Bang Herman keluar dari rumah Nana di jam 2 pagi. Jika memang apa yang dikatakan Rani benar, ada urusan apa Bang Herman di rumah Nana sampai selesai di jam 2 pagi?

"Bang Yadi pernah memanggil suamimu saat melihat dia mau masuk ke rumah Nana. Tapi karena orang yang dipanggil tak berbalik ataupun merespon, Bang Yadi berpikir itu bukan Herman. Jadi Bang Yadi mengabaikannya dan berpikir itu adiknya Nana."

"Aku mengatakan ini bukan bermaksud untuk membuatmu kepikiran atau berprasangka buruk pada suamimu dan Nana. Tapi coba kau tanyakan cerita sebenarnya pada suamimu. Siapa tau, aku dan Bang Yadi salah paham dengan apa yang kami lihat selama ini."

Benar apa yang dikatakan Rani. Aku harus menanyakan kebenarannya terlebih dahulu pada Bang Herman. Aku harus berpikiran positif tentang Nana dan suamiku jika mereka tak berbuat macam-macam dibelakangku. Apalagi aku mengenal baik perangai keduanya selama ini.

"Terimakasih, Ran. Nanti aku akan coba tanya ke Bang Herman," jawabku.

"Jangan mengedepankan emosi ya, Yan." Rani memperingatkanku.

"Iya."

Setelah itu aku kembali ke rumah dengan perasaan tak menentu. Entah kenapa pikiranku berkata jika keduanya memiliki hubungan. Tapi jika memang benar Bang Herman ada hubungan apa-apa dengan Nana, aku harus berbuat apa?

"Nasi sudah matang, Pak?" tanyaku setelah sampai di rumah dan melihat Bang Herman sarapan nasi goreng yang sempat aku buat sambil menonton televisi.

"Sedikit lagi, barusan aku aduk nasinya," jawabnya.

Aku menyimpan terlebih dahulu garam di dapur dan mengecek nasi. Setelah aku mengecilkan kompor, aku kembali ke depan berniat untuk membicarakan hal yang mengganjal di hatiku setelah pembicaraan dengan Rani.

"Pak, aku bertmau tanya." Bang Herman menatapku menunggu aku berbicara.

"Bapak selalu datang ke rumah Nana?" tanyaku hati-hati. Kulihat Bang Herman menghentikan kunyahan di mulutnya dengan mata yang menatapku sedikit terkejut.

"Rani dan Bang Yadi pernah melihat kalau bapak sering keluar masuk dari rumah Nana. Tapi yang membuat mereka curiga, kalau kamu pernah keluar dari rumah Nana pada jam 2 pagi. Apakah itu benar?" Melihat reaksi Bang Herman yang diam, aku mengatakan kembali apa yang barusan Rani katakan.

Bang Herman menghela napas lalu meletakkan piring yang sempat dipegangnya dan meminum air terlebih dahulu.

"Kamu jangan salah paham dulu soal aku sama Nana ya?" ucapnya setelah kebisuan melanda.

"Kamu udah dengar kalau Nana ingin membangun lantai dua di rumahnya?" tanyanya.

"Iya, bapak pernah bilang kalau Nana akan membangun lantai dua buat kamar anak-anaknya."

"Iya, bapaklah yang merekomendasikan aku pada Nana untuk membantunya. Nana meminta tolong padaku untuk mencari bahan-bahan material yang murah di kota karena dia takut uang dari suaminya tak cukup membeli semuanya."

"Dan soal aku yang sering datang ke rumahnya, aku cuma mau memberikan laporan padanya soal pencarian material yang aku dapat di kota."

"Tapi 'kan bisa lewat ponsel pak jika ingin melapor seperti itu."

"Kamu cemburu ya?" godanya.

"Apaan sih! Aku cuma nggak mau kamu jadi bahan gosipan tetangga disini," ucapku menggelak, walaupun sejujurnya aku juga merasa cemburu.

"Hahaha, kamu tenang sajalah, Bu, aku sama Nana nggak berbuat macam-macam. Lagipula kamu mengena baik suamimu ini. Tidak mungkin aku memiliki hubungan apa-apa dengan Nana yang jelas-jelas sepupumu sendiri. Nana sudah punya suami, aku pun juga sudah punya kamu, nggak mungkinlah kami mendua dibelakang keluarga kita. Bisa kena amukan warga jika aku dan Nana terlibat hubungan terlarang," candanya dengan senyum jahil terukir di bibirnya.

Penjelasannya membuatku perasaan yang mengganjal di hati perlahan menghilang. Apa yang dikatakan Bang Herman ada benarnya. Namun, masih saja da sedikit perasaan ada pertanyaan lain yang membuatku tak tenang.

"Lalu soal bapak keluar dari rumah Nana di jam 2 malam?" tanyaku kembali.

"Itu aku tak sengaja ketiduran di depan televisi rumah Nana. Aku dan Nana sempat berdiskusi soal bahan-bahan yang akan dibeli waktu itu, tapi karena Nana mau ke rumah orangtuanya dulu, aku berpikir untuk berbaring sejenak karena tubuhku merasa capek setelah perjalay. Eh, malah tak sengaja ketiduran hingga pukul 2 pagi," jelasnya. "Kalo kamu tidak percaya, kamu bisa tanya pada anak-anak Nana soal kejadian aku tertidur di rumahnya."

Penjelasan dari Bang Herman membuatku merasa tenang sekarang. Aku bersyukur jika suamiku dan Nana tak memiliki urusan apa-apa selain pekerjaan membantu Nana. Aku merutuki kebodohanku yang merasa terpercaya dengan pikiran negatif. Seharusnya aku percaya dengan suamiku. Tak boleh berpikiran macam-macam pada Bang Herman karena aku percaya jika dia tak pernah neko-neko selama ini.

"Bapak hampir setiap hari ke kota hanya untuk mencari bahan material?"

"Tidak, cuma 2 kali saja ke kota. Bapak juga tak bisa bebas kemana-mana karena bapak harus mengawasi proyek jalan di kampung xxx."

Aku mengangguk sekaligus merasa lega sekarang. "Maafkan aku, Bang. Aku kira kamu sama Nana memiliki hubungan lain," sesalku.

"Ah, kamu ini bagaimana. Masa iya aku dan Nana punya hubungan seperti itu. Ada-ada aja kamu," balasnya dengan geleng-geleng kepala tapi senyum tak lepas dari bibirnya. "Tidak apa-apa, aku mengerti kok jika istriku ini sedang dilanda cemburu."

"Udahlah, lebih baik aku mau cek keadaan nasi dulu." Aku lebih memilih pergi daripada mendengar candaan dia hingga membuatku malu. Tapi, perasaanku sudah mulai tenang sekarang setelah mendengar penjelasannya.

Herman POV.

Setelah Yani kembali ke dapur, aku mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu.

^^^[Na, sepertinya kita harus mengurangi intensitas ketemuan kita pada malam hari.]^^^

Nana

[Loh, Kenapa?]

^^^[Yani sempat mencurigaiku tadi setelah mendengar ucapan Rani dan Yadi yang pernah melihatku datang ke rumahmu. Tapi untung aku bisa memberi alasan yang logis padanya hingga membuat Yani percaya lagi padaku.]^^^

Nana

[Oh gitu.]

^^^[Kamu tenang saja, aku masih tetap memberikan nafkah batinku padamu walaupun tidak bisa selalu. Tapi kita harus mencari waktu yang tepat agar orang-orang dan anakmu tak mencurigai kita.]^^^

Nana

[Iya, Bang, aku hanya ikut kamu saja.]

^^^[Baju hitamku sudah kamu temukan?]^^^

Nana

[Sudah, ini aku mau bawa ke mesin cuci.]

^^^[Jangan! Sebaiknya kamu langsung memberikannya padaku. Aku akan ke rumahmu nanti mengambil bajuku abis ini.]^^^

Nana

[Emang bakalan aman, Bang?]

^^^[Tenang saja, aku datang ke sana cuma sebentar, tak membuat orang curiga kok.]^^^

Nana

[Ok, Bang.]

Aku menghela napas lega. Syukurlah aku pandai berbohong dan menipu Yani dengan alasanku. Untungnya Nana sempat meminta tolong padaku soal mencarikan bahan material. Dan alasan itulah aku mengatakannya pada Yani hingga membuatnya percaya padaku. Walaupun sebenarnya bukan hanya itu saja yang aku lakukan pada Nana dibelakangnya.

Terpopuler

Comments

Sri Nurmaelana Sari

Sri Nurmaelana Sari

terlalu terbawa perasaan thor, jdinya agak gmna gtu tapi seru sih

2022-10-26

0

Radjendraya Nasional

Radjendraya Nasional

ko bacanya perih ya,, bukannya senang.. mungkin aku mampir di karyamu yg lain thor, yg ini terlalu sakit

2022-04-13

0

✰͜͡w⃠IDA💯♡⃝ 𝕬𝖋🦄

✰͜͡w⃠IDA💯♡⃝ 𝕬𝖋🦄

Kasihan Yani kepercayaan nya terhadap Herman lebih besar dari pada rasa curiganya... Tapi kepercayaan itu di curangi oleh suaminya sendiri 😥

2022-04-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!