Nafkah Batin Untuk Sepupu Istriku
"Apa kita harus melakukan ini?" tanya Nana, saat ia sudah memakai pakaian pengantin.
"Menurutmu bagaimana? Apa kita harus melakukan zina agar kita leluasa berhubungan?" tukasku sambil merapikan jas hitamku.
Hari ini, aku akan mempersunting Nana menjadi istriku. Lebih tepatnya istri keduaku tanpa memberitahu Yani, istri pertamaku.
Alasan aku ingin menikahinya adalah ingin memberikan nafkah batin untuk Nana yang jarang didapati oleh suaminya sendiri, karena suaminya merantau bekerja di Kalimantan dan setahun sekali dia pulang.
Bisa dibilang ini adalah pernikahan kedua kami tanpa memberitahu keluarga kita masing-masing. Seandainya jika aku mengutarakan niatku untuk menikahi Nana, pihak keluarga dan Yani pasti tidak akan menyetujuinya karena Nana sudah bersuami. Terlebih Nana adalah sepupu istri pertamaku. Padahal niat baikku itu adalah hanya memberikan nafkah batin untuk Nana saja yang jarang didapatkan dari suaminya.
Aku kasihan melihat Nana yang selalu seperti orang tertekan dan pusing menghadapi segala sesuatu. Entahlah aku juga tidak tahu kenapa ia seperti itu, dan mungkin itu semua karena pekerjaannya yang sebagai ibu rumah tangga sekaligus bekerja di kantor balai desa.
Aku dan Nana akhir-akhir ini dekat seperti orang pacaran karena melihat sifat Nana yang begitu manja terhadapku. Berawal dari ia yang sering curhat perihal masalahnya hingga obrolan kami menuju ke pembahasan ***. Dari situlah aku mengerti jika Nana seperti membutuhkan nafkah batin yang jarang diperoleh dari Dana, suaminya. Entah darimana aku kepikiran untuk menikahi Nana supaya ia mendapatkan apa yang ia peroleh nanti. Maka dari itu aku mengajaknya untuk menikah secara siri supaya aku bisa memberikan ia nafkah batin tanpa harus melakukan hal zina.
"Ayo, kita sudah ditunggu oleh Pak penghulu di depan," sentak Muhlis yang baru saja masuk ke kamar.
Kami bertiga berjalan keluar menghampiri penghulu dan juga beberapa orang yang akan menjadi saksi pernikahanku.
"Sudah siap?" tanya beliau saat aku dan Nana duduk dihadapannya.
"Sudah, Pak." Walaupun ini bukan pernikahan pertamaku, tetap saja aku masih gugup untuk melakukannya. Terlebih lagi pernikahan kedua kami tanpa dihadiri oleh sanak saudara, kecuali Muhlis yang menjadi wali untuk Nana.
Sebenarnya orangtua Nana masih ada. Namun, kami tak berani mengajak mereka dan menjadikannya wali untuk Nana karena pernikahan ini pasti akan ditentang oleh mereka.
"Baiklah, saya nikahkan engkau saudara Herman Abdullah bin Harin dengan saudari Nana Anindya Putri binti Hidrullah dengan mas kawin ... dibayar tunai."
Aku menarik napas. "Saya terima nikahnya Nana Anindya Putri binti Hidrullah dengan mas kawin ... dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi?"
"Sah!"
"Alhamdulillah ...."
Kami berdoa setelah pengucapan ijab kabul berjalan dengan lancar. Aku menoleh menghadap Nana dan ia langsung meraih tanganku untuk diciuminya. Kini Nana sudah menjadi istriku. Aku tak perlu takut lagi untuk menjalin hubungan dengannya karena kami sudah sah secara agama.
\=\=\=
"Ingat janji kalian kalau jika semuanya ini terbongkar, jangan pernah melibatkan aku!" ucap Muhlis saat kami berdua di berada di depan kamar pengantin.
"Tenang saja, aku tidak akan melibatkanmu ataupun menyebut namamu jika semua ini terbongkar," ucapku meyakinkan dia.
"Ingat janjimu, Her!" Muhlis berlalu meninggalkan aku di depan pintu kamar.
Sejujurnya aku juga merasa cemas jika suatu saat nanti pernikahan keduaku dengan Nana akan diketahui oleh pihak keluarga. Apalagi aku dan Nana tinggal di pelosok kampung. Jika semuanya terbongkar, siap-siap saja aku dan Nana akan menjadi buah bibir di sana hingga sampai ke kampung-kampung sebelah.
Namun, aku menepis semua pikiran itu terlebih dahulu karena ini malam pertamaku dengan Nana. Hal yang mungkin ditunggu-tunggu oleh Nana.
Aku membuka pintu kamar dan memasukinya, memperlihatkan istriku keduaku yang kini sedang bersandar di kepala ranjang sambil memainkan ponselnya. Kini Nana sudah berganti pakaian dan hanya memakai lingerie berwarna merah muda hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. Tanpa sadar aku menelan air ludahku sendiri.
Diumurnya yang sudah berkepala tiga, body Nana benar-benar masih terlihat ramping. Kulitnya yang putih dan tubuhnya yang langsing membuatku tak sabar untuk segera menyatukan tubuh kami. Berbeda sekali dengan Yani, istri pertamaku. Walaupun wajah Yani lebih unggul daripada Nana, tapi body Yani terlihat gemuk tanpa perubahan dari tahun ke tahun.
Dari dulu setelah melahirkan anak bungsu kami, bobot Yani perlahan mulai meningkat. Yani tak pernah berkeinginan mengkuruskan badannya karena dia bilang jika orang gemuk itu pertanda orang sehat.
Aku memang tak mempermasalahkannya. Tapi makin lama aku juga membandingkan tubuh Yani dengan tubuh-tubuh wanita lainnya yang terlihat ramping. Bagaimana aku membayangkan ketika di ranjang dengan tubuh Yani yang terlihat ramping.
"Pak, kamu kenapa berdiri di depan pintu?"
Aku tersadar dari lamunanku setelah mendengar teguran Nana. Aku melihat Nana yang masih bersandar di kepala ranjang tak bergerak sedikitpun. Aku hanya tersenyum lalu mulai melepas jas hitam yang aku kenakan dan menggantungnya di belakang pintu.
"Kamu sudah mandi?" tanyaku.
"Sudah, barusan tadi."
Aku melihat rambut Nana yang masih terlihat basah. Aku mulai mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan diri.
Setelah beberapa menit, aku keluar dari kamar mandi dengan pakaian santai sambil membawa pakaian pengantinku. Aku melirik ke arah Nana yang kini sedang menelpon seseorang. Dari arah pembicaraannya aku bisa tahu kalau ia tengah berbicara pada anaknya.
"Ya, nanti Mama akan pulang besok lusa. Jaga adik-adikmu, minta tolong ke nenek kalau butuh apa-apa. Yasudah, assalamualaikum."
"Dinda?" tanyaku setelah Nana mengakhiri panggilannya sambil menghampirinya. Dinda itu adalah anak pertama Nana yang berusia 14 tahun sama seperti putriku, Nadia.
"Iya."
Aku perlahan duduk di tepi ranjang dengan keadaan bisa terbilang gugup. Aku melirik Nana yang mulai memainkan ponselnya. Namun, raut wajahnya kelihatan terlihat tegang dan gugup. Apakah Nana juga sama sepertiku?
Aku berinisiatif mendekat kearahnya dan bersandar juga di kepala ranjang di samping Nana. Aku mulai merangkulnya hingga Nana kini mulai menyimpan ponselnya. Ia mulai menatapku dengan malu-malu.
Oh Tuhan! Sepertinya aku sudah mulai tak sabar!
Aku mendekati wajahnya hingga napas kami saling menerpa di wajah kami.
"Bolehkah?" bisikku meminta izin. Aku perlu meminta izin padanya terlebih dahulu takut ia menolak tak ingin disentuh dulu.
Nana mengangguk malu-malu pertanda mengizinkanku menikmati tubuhnya. Aku tersenyum tipis dan mulai menyatukan bibirku pada bibirnya.
Kami berdua terhanyut dalam gairah yang meletup-letup malam ini. Malam pertama ini, aku benar-benar tak menyangka bahwa Nana seagresif ini ketika di ranjang. Mungkin karena hasrat yang ia pendam selama ini akhirnya terbayar melalui diriku. Mungkin karena Dana yang pulang setahun sekali mengakibatkan Nana haus akan sentuhan dan belaian dari pria.
Ahh!!
Oh Tuhan, sepertinya aku tak akan menyesal menikahi Nana yang sudah membuatku bergelora.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Sri Nurmaelana Sari
anjirr poliandri weh, klo ketauan gmna nasib selanjutnya yh🤣
2022-10-26
0
Cecacika
poliandri kah ini🤔
2022-05-17
0
✰͜͡w⃠IDA💯♡⃝ 𝕬𝖋🦄
Awal hubungan yang salah kalau niat membantu gak gitu juga kali sampai harus menikahi sepupu istri sendiri.
Dasar pria gak bersyukur mulai membandingkan istri pertama dan istri keduanya 🙄
2022-04-11
2