Sudah tiga hari aku berada di kota bersama Nana ditemani Muhlis. Aku sengaja menyuruh Muhlis l menemani kami di kota untuk berjaga-jaga saja supaya orang di kampung tidak dibuat curiga saat aku pulang bersama Nana selama tiga hari. Pasti aku dan Nana akan menjadi bahan gosipan ibu-ibu hingga sampai ke telinga Yani, walaupun Yani sendiri orangnya tak begitu percaya selagi ada bukti akurat.
Selama tiga hari kami disini, aku dan Nana menikmati waktu berdua kami di kota tanpa perlu khawatir ketahuan oleh keluarga maupun tetangga. Sebenarnya ada beberapa sanak saudara yang tinggal di kota, tapi aku sengaja memilih daerah yang sedikit lebih jauh dari mereka supaya lebih aman saat aku bersama Nana keluar bersama.
Setelah keluar dari penginapan pada pukul tiga sore hari, kami bertiga langsung pergi meninggalkan kota bersiap kembali ke halaman kampung kami yang berjarak cukup jauh.
Dengan menggunakan mobil pribadiku, aku menyusuri jalanan yang masuk ke arah perkampungan yang rumahnya rata-rata disini itu rumah panggung.
"Pak, kita mampir dulu ya ke penjual bakso. Buat anak-anak," ucap Nana di sampingku.
Aku hanya mengangguk dan mengendarai mobil dengan kecepatan pelan akibat jalan yang kulalui ada yang jelek, sekalian melihat-lihat di pinggir jalan siapa tau ada penjual gerai bakso di sekitar sini.
"Kau mau apa, Lis?" tanyaku pada Muhlis di belakang. Kulihat dari spion, Muhlis sedang sibuk bermain ponsel daripada menemani kami berbicara. Tumben, biasanya dia yang paling banyak bicara dan selalu membuat topik. Namun, kenapa dia mendadak diam seperti ini?
"Tidak usah. Aku cuma mau sampai di rumah sebelum Maghrib," balasnya tapi tetap pandangannya tak beralih dari ponselnya.
"Diam aja dari tadi, Lis. Gak kayak biasanya," pancingku.
"Gak lagi mood untuk bicara dulu."
Aku tak bertanya lagi dan kembali fokus mencari gerai bakso di pinggir jalan. Apa karena Muhlis terlibat dalam pernikahan keduaku, dia mendadak jadi diam seperti ini?
Ah, aku tidak peduli. Lagipula aku telah memberinya beberapa uang untuk menjadi wali Nana di pernikahan kedua kami. Saat mengetahui Muhlis membutuhkan uang untuk membayar hutangnya, aku mengajukan persyaratan padanya untuk menjadi wali pernikahan kedua Nana sekaligus tutup mulut.
Muhlis sempat menolak waktu itu dan mengatakan padaku bahwa aku dan Nana ini sudah gila. Namun, aku terus membujuknya untuk ikut dan memberikan sejumlah uang tambahan supaya dia mau menjadi wali Nana.
Sebenarnya Nana ini masih punya saudara laki-laki dan beberapa keluarga lainnya. Namun, aku lebih percaya kepada Muhlis, karena aku tau wataknya dia yang tak terlalu ikut campur dalam urusan orang dan bisa dipercaya dalam menjaga rahasia.
Setelah 30 menit perjalanan, akhirnya kami sudah tiba di area perkampungan kami yang penduduknya sekarang lebih maju. Jika kalian menganggap perkampungan ini itu masih seperti suasana kampung pada zaman dulu, kalian salah. Kampung ini sekarang sudah lebih maju akibat teknologi yang sudah merambat ke kampung ini.
Berawal dari anak-anak KKN terdahulu yang membangun kampung ini lebih maju, akhirnya pak kepala desa membuat inisiatif untuk membangun kampung ini seperti layaknya di kota. Kami pun para warga tentu menyetujuinya dan bergotong royong untuk membangun kampung ini supaya lebih maju dengan teknologi. Namun, tetap suasana perkampungan di desa ini harus tetap di jaga.
"Aku turun di depan saja," cetus Muhlis setelah kami hampir tiba disebuah perempatan jalan. Aku tak berkomentar apapun dan menuruti permintaannya.
"Ingat ya sama janji kalian!" ucapnya setelah ia turun dari mobil lalu berjalan menjauh.
Aku tak menanggapinya dan melajukan mobilku kembali dengan pelan karena sedikit lagi kami telah sampai di rumah.
"Muhlis kayak takut banget kalau kita bocor melibatkan dia," ucap Nana.
"Ya begitulah. Mungkin dia nggak mau namanya dijadikan bahan omongan orang-orang."
Aku menurunkan Nana di depan gang rumahnya. Rumah Nana hanya berjarak beberapa cm dari jalanan poros. Aku tak perlu lagi repot-repot memasukkan mobil ke dalam dan mengantarkannya.
"Ingat ya, jaga rahasia kita," ucapku sebelum Nana turun.
"Pasti."
"Kalau mau minta 'itu' lagi, kabarin saja ya, Na," ucapku menggodanya.
Nana tersenyum malu lalu keluar dari mobil. Dilihat suasana sore seperti ini, sudah banyak orang yang bersantai di luar rumah. Dari orang-orang yang mengobrol dengan tetangga mereka, sampai anak-anak yang bermain di sore hari.
Aku tak perlu takut mengantar Nana barusan, karena tanggapan mereka aku dan Nana satu keluarga dari pihak istri pertamaku. Lagipula orang-orang disini tidak akan berpikiran negatif tentangku apalagi Nana karena kami dikenal baik di masyarakat sini.
Aku menjalankan kembali mobilku dan memarkirkannya di depan rumah sederhana keluargaku.
Jarak rumahku dan rumah Nana begitu berdekatan. Hanya dibatasi dua rumah saja. Ini menguntungkan buatku karena aku begitu mudahnya datang ke rumah istri keduaku tanpa perlu memakai kendaraan.
"Assalamualaikum!" salamku setelah didepan pintu yang terbuka melihat ketiga anakku yang sedang menonton televisi.
"Waalaikumsalam!"
Anak-anak langsung menghampiriku dan takjim pada ayahnya.
"Ayah beli apaan?" tanya Arham, anak bungsuku.
"Lihat saja sendiri." Aku memberikan oleh-olehku yang sempat aku beli di kota kepada mereka.
Arham dan putri keduaku, Citra langsung mengambil cepat bungkusan plastik dan membukanya. Sedangkan Nadia, anak sulungku hanya duduk saja sambil memperhatikan kedua adiknya membuka makanan dan kue yang kubeli.
"Mama mana?" tanyaku pada Nadia.
"Ada tuh di dapur."
Aku langsung ke arah dapur dan melihat Yani sedang memasak untuk makan malam.
"Sudah selesai?" tanya Yani sambil memasak. Maksud dia bertanya seperti itu adalah apakah pekerjaanku sudah selesai.
"Ya, pekerjaan sudah beres."
"Bapak beli apaan buat anak-anak?"
"Cuma bakso sama beberapa kue."
Aku berbalik sambil membuka kemejaku lalu berjalan ke kamar. Namun, aku menghentikan langkahku karena ponselku tiba-tiba bergetar pertanda ada pesan masuk di saku celana.
^^^Nana^^^
^^^[Nanti malam ke rumahku ya?]^^^
Aku menyeringit bingung. Kenapa Nana memintaku datang ke rumahnya malam ini?
[Kenapa?]
^^^Nana^^^
^^^[Kangen.]^^^
[Lah? Baru beberapa menit pisah masa udah kangen?]
^^^Nana^^^
^^^[Ish! Pokoknya malam ini datang! Aku mau lagi.]^^^
[Hahaha ... mau apa?]
^^^Nana^^^
^^^[Sudahlah kalau tidak mau datang kesini!]^^^
Yah, di cemberut ternyata, hahaha. Pasti dia ingin minta 'itu' lagi padaku. Aku berjalan ke kamar supaya enak untuk berbalasan pesan dengannya.
[Jam berapa? Anak-anakmu bagaimana?]
^^^Nana^^^
^^^[Dinda tidur di rumah neneknya. Kalau urusan Dio sama Ari itu urusan gampang.]^^^
[Oke, tapi jam berapa?]
^^^Nana^^^
^^^[Jam 11]^^^
[Oke.]
Aku tersenyum sambil perasaanku mulai tak sabar untuk menantikan malam nanti. Pasti Nana ingin minta nafkah batin lagi dariku. Namun, bukannya sebelum pergi kami sempat melakukannya terlebih dahulu. Tapi sekarang kenapa dia minta lagi?
Ah, mungkin karena keperkasaanku di ranjang, hingga membuat Nana ingin minta lagi dariku. Duh, aku jadi gak sabar!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Sri Nurmaelana Sari
geli gw sama si nana itu
2022-10-26
0
Rice Btamban
lanjut
2022-04-18
0
✰͜͡w⃠IDA💯♡⃝ 𝕬𝖋🦄
Idih Nana mulai nakal 🙄
2022-04-11
0