Qhinsha:
Tidurlah Nyonya! Ini sudah malam.
Sherin:
Tidurlah duluan! Aku sedang menunggu tuan.
Quinsha:
Jam segini dia belum pulang? Kebiasaan.
Sherin menatap chat terakhir dengan Quinsha sambil mengulum senyum, sebagaimana emoji yang ia kirimkan untuk sahabatnya tersebut. Tersenyum.
Senyuman itulah yang dipilih oleh Sherin untuk melonggarkan rasa sesak yang sering menghimpit dan menghempaskannya dalam rasa sakit. Baginya, jika semuanya dihadapi dengan senyuman, maka rasa sakitnya akan berkurang. Karena jika luka dihadapi dengan air mata, rasa sakitnya malah kian terasa. Tapi jika luka dihadapi dengan senyuman, setidaknya itu adalah sebuah harapan, bahwa esok atau lusa, sakit itu akan berubah jadi kebahagiaan.
Mudah-mudahan.
Meskipun sampai saat ini, harapan itu belum terjadi. Dua tahun sudah berganti. Dan tak ada perubahan yang berarti. Tapi satu keyakinan yang selalu tertanam dalam diri Sherin, kalau tak ada yang sia-sia. Setiap doa dan upaya pasti diijabah oleh Tuhan. Meskipun nanti bentuk jawabanNya adalah seperti yang terjadi pada Quinsha Daneen sahabatnya. Sherin sudah berpasrah dan insha’Allah ridho dengan Ketetapan-Nya
Sepasang matanya sudah hampir terpejam, ketika terdengar deru mesin mobil yang berhenti di halaman. Sherin segera duduk dari tidur menyampingnya di sofa ruang depan. Ujung matanya melirik jarum jam yang sudah hampir mencapai titik 23 malam. Sesaat membenahi hijab, wanita cantik itu segera melangkah ke pintu depan.
Seraut wajah tampan suaminya langsung terpampang di depan mata, begitu pintu itu terbuka. Sherin segera tersenyum menyambutnya—walau terkadang senyumnya tak mendapat balasan ataupun apresiasi—tapi Sherin tak melupakan dua ritual khusus setiap kali menyambut suaminya datang, yaitu senyuman dan mencium tangan.
“Belum tidur?” demikian pertanyaan Alarick yang merupakan pertanyaan rutin—dalam pengucapan dan kata—tiap kali pulang, dan disambut oleh Sherin di depan pintu rumahnya yang megah.
Sherin hanya menggeleng pelan, tak lupa pula dengan disertai senyuman. Dan Alarick pun akan melewatinya begitu saja, usai merelakan punggung tangannya dicium oleh Sherin seperti biasanya.
“Aku siapin makan ya, Mas?” itu juga pertanyaan yang biasa diajukan Sherin sembari melangkah di belakang suaminya dan menatap punggung kokoh lelaki berusia di atas empat puluh tahun tersebut.
“Gak usah! Tadi sudah makan di luar,” tolak Alarick tanpa menghentikan langkah atau sekedar menoleh menatap wajah istrinya.
“Teh hangat?”
“Boleh. Tapi jangan terlalu banyak.” Dan tubuh Alarick pun kian jauh karena Sherin yang tak lagi mengikutinya. Wanita itu merubah haluan langkahnya menuju ke dapur. Sedangkan Alarick terus melangkah menaiki tangga menuju lantai dua, di mana kamar mereka berada.
Alarick sedang membuka kancing kemeja yang membalut tubuh gagahnya, ketika Sherin masuk ke dalam kamar dengan segelas teh di tangan. “Aku bantu ya, Mas,” pinta Sherin.
Alarick mengangguk saja. Sherin segera meletakkan minuman yang di bawanya di atas nakas. Lalu tangannya dengan lincah membuka kancing baju suaminya, yang terkadang kakinya harus berjinjit tiap kali membuka kancing di bagian krahnya, karena perbedaan ukuran tinggi badan mereka berdua.
Dalam posisi seperti itu, Sherin akan menatap wajah Alarick berharap kalau suaminya itu juga tengah menatap wajahnya dengan lekat dan memberikan senyuman yang memikat. Tapi lagi-lagi Sherin harus menelan kekecewaan, karena Alarick ternyata tengah melabuhkan pandangannya ke luar jendela yang masih dibiarkan terbuka. Seperti biasanya.
Sherin tersenyum pada dirinya sendiri. Seperti apa yang sudah diputuskannya tadi--ia akan selalu menanggapi dengan senyuman-- setiap apapun yang menghampirinya berupa sebuah kekecewaan. Karena itu adalah doanya dan harapannya. Bahwa suatu saat hidupnya akan bertabur senyum dan bahagia.
Alarick segera menghilang di balik pintu kamar mandi. Sedangkan Sherin menggantung baju bekas dipakai Alarick itu di tempat yang sudah disediakan. Selanjutnya, Sherin akan duduk di sofa dekat jendela, menunggu sang suami selesai dengan ritual mandinya. Rentetan kejadian ini, adalah rutinitas Sherin setiap malam, setiap menyambut Alarick yang baru pulang.
Lelah? Tentu saja
Jenuh? Tentu juga. Menjalani sesuatu rutinitas yang monoton selama lebih dari dua tahun, tanpa ada perubahan yang berarti, wanita mana yang tak akan merasa bosan. Demikian pula dengan Sherin Mumtaza. Namun, semuanya coba ia lakoni dengan sabar. Sesabar yang ia bisa. Atas nama sebuah ikatan suci pernikahan yang telah dibina.
Pernikahan Alarick dan Sherin memang tak terencana dari awal. Sedianya, Sherin akan menikah dengan calon suami yang memang sudah dijodohkan oleh kedua orang tua mereka sejak dua tahun silam. Ridwan namanya. Ia bekerja di pabrik teh milik Alarick.
Seminggu sebelum pernikahan, Ridwan berpamitan ke luar pulau untuk mengawal pendistribusian barang. Hal ini sempat ditentang oleh keluarga Ridwan ataupun keluarga Sherin—yang rumahnya memang berdekatan. Mereka percaya pada istilah, kalau calon pengantin itu di waktu mendekati hari pernikahan tidak boleh kemana-mana untuk menghindari hal yang mudharat.
Tapi Ridwan bersikeras bahwa dirinya akan baik-baik saja. Dan lagi pula ini adalah tugas langsung dari pak Alarick yang sangat memercayainya. Pihak keluarga bahkan meminta pada pak Alarick langsung agar melimpahkan tugas Ridwan pada Orang lain saja. Ternyata pada hari itu, semua orang yang mungkin menggantikan tugas Ridwan sudah mendapatkan tugasnya masing-masing. Jadilah Ridwan tetap berangkat dengan dilepas doa dan sejumput kekawatiran dari segenap keluarga.
Ternyata segala ketakutan mereka terjadi. Ridwan tak pernah kembali. Empat hari setelah ia pergi, yang kembali ke pangkuan orang tuanya adalah jenazah terbungkus kain putih.
Ridwan mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang, yang mengantarkannya pada tidur yang panjang. Meninggalkan segenap keluarga dan calon istri yang sudah siap naik ke pelaminan.
Saat itulah, Alarick dengan suka rela menggantikan posisi Ridwan, menikah dengan Sherin. Dan sejak saat itulah, perjuangan Sherin untuk mendapatkan cinta suaminya dimulai. Bagi Sherin, apapun yang menjadi alasan mereka menikah, pernikahan tetaplah sebuah ikatan suci dan sakral yang harus diperjuangkan.
“Sherin.” Terasa ada satu tangan yang menepuk pundaknya pelan. Sherin segera tersentak dari lamunannya yang panjang.
“Tidurlah lebih dulu! Aku masih mau mengerjakan sesuatu!” Titah Alarick seraya meraih teh hangat di atas nakas dan menyesapnya sejenak.
“Iya, Mas. Jangan tidur terlalu malam ya,” ucap Sherin sambil melangkah mendekati suaminya.
ALarick mengangguk dan lalu mendaratkan ciuman singkat di kening istrinya, sebelum membawa tubuhnya keluar dari dalam kamar.
Kisah pernikahan mereka memang tidak seperti kebanyakan kisah yang tertulis di novel romance. Dari menjalankan pernikahan karena terpaksa, tak saling menerima lalu berakhir menjadi budak cinta. Tapi di sini, Alarick tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang suami terhadap Sherin, yang memberikan nafkah lahir dan batin.
Posisi Sherin juga tak sebagaimana kisah istri rahasia yang disembunyikan keberadaannya, dan hanya diakui saat berdua di kamar saja. Alarick mengakui Sherin di depan semua orang sebagai istrinya. Ia pun memberikan hak sepenuhnya pada Sherin sebagai seorang istri di dalam rumahnya, di hadapan para pekerja, dan di semua lingkup pergaulannya.
Dan kisah mereka juga tak seperti kisah pernikahan paksa antara gadis sederhana dengan putra penguasa, yang hidup bergelimang air mata dan berselimut derita. Alarick tak pernah mendera Sherin dengan kata-kata menyakitkan, berupa hinaan, cacian apalagi bentuk kekasaran pisical. Ia berkata dengan baik, dan bersikap dengan sopan, layaknya suami yang penuh tanggung jawab.
Bagi seorang Alarick, Sherin bukan sebagai wanita kedua atau ketiga. Bahkan Sherin adalah wanita pertama yang menyandang status sebagai istrinya. Hanya saja, tak ada Sherin dalam tatapan mata Alarick, dan tak ada nama Sherin di dalam hatinya.
Cinta Alarick telah habis untuk seseorang di masa lalunya, dan tak tersisa walau hanya satu titik kecil saja untuk istrinya. Ia menjalankan status sebagai suami Sherin hanya berdasar kewajiban saja, bukan atas nama cinta.
DI awal menikah. Alarick dengan jujur telah menceritakan semuanya, karena tak ingin Sherin akan menderita lahir dan batin hidup bersamanya. Ia juga siap untuk melepaskan Sherin, jika cara itu yang akan ddipili oleh istrinya itu nanti setelah tau kebenaran tentang lelaki tersebut.
Tapi Sherin memantapkan hati untuk tetap menjalankan rumah tangganya. Dengan bersandar pada keyakinan, Bahwa tak akan ada yang tak mungkin, jika Allah telah Memutuskan.
Bagi Sherin, pernikahannya dengan Alarick adalah Takdir Allah. Dan Allah pasti punya rahasia dibalik setiap ketentuan-Nya.
Lalu posisi Sherin saat ini pantas disebut sebagai apa? Istri rahasia? Istri tak dianggap? Atau istri tak kasat mata?
Ah. Rasanya bukan semuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
YuWie
istri imitasi..heheh
2024-03-15
0
Mega kiyut
istri tak ada dlm hati😭😭😭
2022-12-08
0
Nofi Kahza
nanti lama2 bakal kayak aresh si Alarick. Bucin akut🤣
2022-04-20
0