Mobil mulai menapaki area parkir hotel Aston, tepat seperti apa yang diminta oleh lelaki itu. Lelaki sangat tampan yang menjadi penumpang dadakan, dan membuat mobil pribadi ayah Quinsha beralih fungsi jadi mobil angkutan.
Sekitar dua puluh menit—sejak keduanya mengakhiri percakapan—Quinsha senantiasa mengarahkan pandangan ke samping, dengan kekesalan yang masih tersimpan. Tapi mau bagaimana lagi, membantu orang yang membutuhkan adalah bagian dari tuntunan. Walaupun pria yang duduk di sampingnya saat ini, sangat tidak layak untuk di golongkan pada jajaran orang-orang yang patut menerima bantuan.
“Terima kasih, Pak.” Pemuda tampan itu berkata pada Pak Dimas ketika mobil telah berhenti. Pak Dimas hanya mengangguk canggung. Setelah mendapat respon demikian, pamuda itu kemudian menoleh pada Quinsha. “mbak ... ee maaf.” ia meralat panggilannya dengan cepat. “ukhti berhijab,” ucapnya. Sepertinya panggilan ini yang ia anggap pantas untuk disematkan pada Quinsha.
Dan benar saja, karena sebutan demikian, Quinsha menggiring kepala dari arah pandangannya semula. Mata indahnya menatap laki-laki —yang ia pastikan kalau lebih muda darinya itu--namun, tak ada kata yang terucap dari Quinsha.
“Ini kartu nama saya!” pemuda itu memberikan sebuah kartu nama yang diterima oleh Quinsha dengan begitu saja, tanpa melihat apalagi membacanya.
“Hubungi saya! Bila kamu sudah menemukan cara apa yang pantas untuk saya mengganti rugi waktumu yang terbuang, karena masih mengantar saya.” Tanpa membiarkan Quinsha menjawab apa yang dikatakannya, lelaki itu segera turun dari mobil sambil menutupi wajah dengan masker dan berjalan menunduk memasuki lobi hotel. Terlihat seorang pria berbadan tinggi besar dengan perut yang sedikit maju ke depan, tergopoh menyambutnya dari kejauhan.
“Jalan Pak!” titah Quinsha pada pak Dimas yang juga masih memperhatikan pemuda itu sebagaimana dirinya. Satu keinginannya sekarang, adalah cepat sampai di tempat tujuan. Karena tak ingin membuat ibunya cemas, sebab sampai saat ini ia belum pulang. Belum lagi janjinya pada Sherin yang sepertinya tak bisa lagi dilaksanakan.
“Dia temannya, ya Neng?” tanya pak Dimas dari depan. Quinsha tak segera menjawab, dalam dirinya masih sibuk menimbang-nimbang, apakah akan jujur atau mengalihkan pembicaraan.
Sebagaimana muslimah berhijab yang lain, Quinsha dikenal oleh pak Dimas sebagai wanita yang hampir tak mempunyai teman pria—terkecuali sama-sama pengajar di yayasan—bila kini Quinsha mengakui kalau lelaki itu adalah temannya, pak Dimas pasti tak akan selesai dengan satu pertanyaan. Apalagi bila hal ini sampai pada ibunya, bisa dipastikan kalau Quinsha akan didudukkan di kursi sudut ruangan dan sesi interogasi dimulai.
“Iya, Pak,” jawab Quisha singkat. Dan sesaat kemudian ia menyesali jawabannya sendiri yang malah tak sesuai dengan apa yang direncanakan.
“Siapa namanya, Neng?”
Nah, benar seperti dugaan Quinsha, Pak Dimas tidak selesai hanya dengan satu pertanyaan saja. Lagi-lagi Quinsha tak segera menjawab, karena memang tidak tahu siapa nama lelaki muda yang sangat tampan tersebut. Tapi saat itulah ia teringat sesuatu. Kartu nama yang masih ada dalam genggaman tangannya.
“Rafardhan Malik.” Quinsha menyebut satu nama yang tertera di sana.
“Namanya bagus sekali,” puji pak Dimas. Sementara di belakang, Quinsha malah bergumam. “Rafardhan Malik.” Ingatannya seperti mulai berfungsi sekarang, tatkala menyebut satu nama itu dan mengingat penampakan pemuda tampan yang lebih dari 30 menit duduk tak jauh di sampingnya.
Rafardhan Malik, adalah artis muda yang sangat terkenal. Ia memulai debut kariernya sebagai model, dan lalu merambah pada dunia seni peran. Namanya di ranah selebritas terhitung cepat menanjak karena memang didukung penampakannya yang rupawan dan aktingnya yang sangat mumpuni dan natural.
Belakangan ini namanya kian melambung saat menjadi tokoh utama dalam sebuah web series yang diadopsi dari sebuah novel Best seller—karya seorang novelis kenamaan negeri ini—yang sedang tayang sekarang. Perannya sebagai tokoh utama, putra pemilik pesantren, kian mendongkrak namanya dengan citra yang sangat baik di mata publik dan terutama para penggemar.
Pantas ia tadi dikejar-kejar oleh wartawan, banyak jepretan kamera yang diarahkan padanya, dan bukan tak mungkin kalau Quinsha juga terekam kamera para pemburu warta itu.
Quinsha menepuk jidatnya sendiri, tatkala baru menyadari itu semua, di saat sosok Rafardhan sudah keluar dari mobilnya. 'Ini pasti karena di kepalaku hanya ada Arfan saja' Batin Quinsha seiring helaan napasnya. 'Tapi kalaupun aku tau dari tadi, kalau dia artis, aku mau apa? Mau minta tanda tangan? Enggak' Quinsha jadi menggeleng sendiri dan memutuskan untuk tak lagi memikirkan hal itu, seraya menyimpan kartu nama Rafardhan itu dalam tas nya.
Sudah lewat jam sebelas, sepasang matanya masih enggan terpejam. Hadap kiri, hadap kanan sudah dilakoninya lebih dari setengah jam. Tapi satu kata sederhana yang ingin diraihnya sekarang yaitu ‘tidur’ belum bisa ia dapatkan. Lelah dengan posisinya yang tak jua memberikan rasa nyaman, Quinsha segera duduk menyandar di kepala ranjang.
'Untuk apa? untuk apa memikirkan seseorang yang bukan untukmu? Untuk apa?' Tangan Quinsha menunjuk-nunjuk jidatnya sendiri dengan raut wajah kesal. Sesaat kemudian ia meraih ponsel di atas nakas dan menggulir tombol hijau. Memeriksa pesan di grup WA yang hanya beranggotakan tiga orang. Quinsha Daneen, sherin mumtaza, dan Aura Aneshka. Tiga serangkai alumnus pesantren Darul-Falah yang kini sudah menjalani kehidupannya masing-masing.
Selamat tidur, adik-adik cantikku, semoga malam-mu berkah, dan mimpimu indah, seindah harapan yang dirangkum dalam doa. Amiin.
Itu kalimat pesan dari Sherin—yang usianya memang di atas Quinsha dan Aura— walaupun hanya selisih hitungan bulan saja. Pesan yang dikirim dari setengah jam lalu itu belum mendapat tanggapan. Quinsha segera mengetikkan kalimat balasan.
Quinsha:
Belum tidur, Nyonya?
Tak sampai dua menit terlihat Sherin membalas pesan.
Sherin:
Belum. Kau sendiri kenapa jam segini masih terjaga?
Quinsha:
Lagi musuhan.
Sherin:
Sama?
Quinsha:
Rasa kantuk.
Sherin:
Awas saja, kalau aku ketemu dia besok. Akan aku buat perhitungan.
Quinsha:
Siapa?
Sherin:
Yang telah membuatmu bermusuhan dengan rasa kantuk.
Quinsha:
Aku gak tau harus bilang apa.
Sherin:
Sabar ya, Allah tak menjawab doamu untuk hal ini. Tapi Allah pasti akan menjawab dengan hal yang lainnya. Yang pasti itu lebih indah dan lebih baik untukmu.
Quinsha:
Amin, makasih ya. Aku jadi ingin nangis.
Kata siapa, cinta dalam diam itu selalu berakhir dengan dimenangkan. Kata siapa, menikung namanya di sepertiga malam yang akhir itu, akan mengantarkan pada didapatkannya label halal. Itu pasti suara hati Quinsha Daneen, sekarang.
Berapa lama waktu yang telah ia lewatkan dengan hanya setia pada satu nama, tanpa berani mengungkapkan, tanpa berani memperlihatkan. Nyatanya, ia kalah pada ketentuan yang sudah digariskan Tuhan. Akhirnya, Satu nama yang telah ditulis di Lauh Mahfudz-lah, yang tampil sebagai pemenang.
Bukan hanya hitungan bulan, Quinsha memendam cinta dalam diam pada seorang Bayhaqi Arfan. Sesama alumnus Darul-Falah yang sekarang juga menjadi pengajar di yayasan Nada Hikam—tempat Quinsha mengajar. Sekian lama ia pendam rasa yang hanya diutarakan dalam Doa. Dia menolak banyak nama, karena telah terpaut pada satu nama. Hingga pun kedua sahabatnya sama-sama telah membina rumah tangga, Quinsha masih setia dengan kesendiriannya dan kesetiaannya pada satu nama.
Dan kini doanya terjawab tapi dengan cara yang berbeda. Bayhaqi Arfan telah memilih seseorang untuk sehidup se-Syurga dalam Keridhoan-Nya. Quinsha tak hanya merasakan kecewa, tapi juga patah di dasar jiwa.
Sherin:
Kamu pasti kuat. Kamu pasti bisa.
Quinsha:
Insya Allah.
Setiap doa pasti diijabah. Itu janji Allah. Tapi dengan cara apa Allah menjawab Doa itu, semuanya, adalah keputusan Allah. Dan seperti inilah cara Allah menjawab Doa dari Quinsha. Pasti, karena Arfan bukan lelaki yang tertulis untuk menjadi imam seorang Quinsha Daneen. Bukan lelaki terbaik yang ditentukan untuknya. Dalam lubuk hati Quinsha, ia sangat menyadari hal tersebut.
Namun memang, tak serta merta tangisannya langsung berubah jadi senyum apalagi tawa. Rasa kecewanya pun tak segera tersulap jadi bahagia. Ia masih membutuhkan fase untuk dilalui menuju pada kesadaran dan keikhlasan diri. Dan terkadang fase tersebut berupa tanjakan curam dan tikungan tajam, yang tak hanya dibutuhkan tetesan keringat, tapi juga darah dan air mata.
Quinsha:
Tidurlah Nyonya! Sudah malam.
Sherin:
Tidurlah duluan! Aku sedang menunggu tuan.
QUinsha:
Jam segini, dia belum datang? Kebiasaan.
Dan Sherin hanya mengetikkan emoji tersenyum saja menanggapi kalimat Quinsha.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Penulis Jelata
Apa nupel ini yg bhas perkara narkoba kmrn?
2022-05-18
1
Nofi Kahza
kak Naj..aku mampir..tp nyicil ya🤣
2022-04-20
1
Andri Sukaro
👍👍
2022-04-11
1