Hari sudah merambah sore. Sudah pukul 16:30, pantas kalau ponselnya tidak berhenti berbunyi. Ada beberapa pesan masuk dari Sherin yang menanyakan keberadaannya. Karena ia memang sudah terlambat satu setengah jam dari jadwal yang dijanjikan.
Kalau saja, hatinya cukup kuat, perasaannya cukup tegar—ketika mendengar kabar Arfan bertunangan—Quinsha tak perlu menghabiskan waktu lebih satu jam, untuk terdiam tanpa kata, lalu menangis tanpa suara dan berakhir dengan malas beranjak seakan tubuh tanpa tenaga.
Langkahnya tergesa menuju tempat parkir. Sudah terbayang betapa kusutnya wajah sang sopir. Karena Ia juga menjadi korban kegalauan hati Quinsha Daneen. Harus menunggu berlama-lama di dalam, atau di samping mobil. Sedangkan sang anak majikan masih menepi dari keramaian dan menangis sendirian.
Meresahkan.
Terdengar suara gaduh, tapi, tidak hiraukan. Terlihat kilatan cahaya, juga tak ia pedulikan. Tatapannya tengah fokus pada pak Dimas, yang berdiri di samping mobilnya dengan wajah cemas. “Pak Dimas!” panggil Quinsha dalam jarak tak begitu dekat.
“Masya Allah, Neng.” pria baya itu terlihat begitu lega, melihat Quinsha yang dari tadi ditunggu, melangkah tergesa ke arahnya.
“Neng, kemana saja? Neng baik-baik saja ‘kan?”
“Iya, Pak. Alhamdulillah.”
Quinsha menampilkan senyum di bibirnya. Senyuman yang indah itu, ia harap akan mampu menghapus jejak-jejak air mata di wajahnya. “kita langsung pulang, Pak!” ajak Quinsha. Membuat pak Dimas menghentikan atensinya yang sedang menatap wajah cantik itu dengan seksama.
Bagaimana tidak, kulit putih bersih Quinsha tak dapat menyamarkan adanya warna merah di hidung, dan sembab di kedua matanya, sisa-sisa aliran deras beberapa waktu sebelumnya. Namun, ajakan Quinsha segera menyadarkan pak Dimas untuk segera membukakan pintu buat sang nona.
“Gak usah, Pak! Saya sendiri saja,” cegah Quinsha.
Pak Dimas mengangguk dan memilih segera masuk ke mobil, lalu duduk di tempat seharusnya, yaitu sebagai sopir. Quinsha pun bergegas membuka pintu, namun belum sampai tangannya meraih handle, tubuhnya terhempas dengan cepat menubruk body mobil karena sebuah dorongan dari seseorang yang entah disengaja atau tidak. “Argh! “ gadis itu mengerang tertahan.
Dari pada melihat siapa yang telah melakukan atraksi tak terduga, dan telah menjadikan dirinya sebagai korban di sana, Quinsha memilih mengusap kepalanya yang mendadak pening dan seakan berputar saja. Terasa ada satu tangan yang memegang tangannya dan membantunya berdiri tegak. Lalu ada satu tangan lagi yang mengusap kepalanya yang tertutup hijab. “Sorri, sorry maaf, maaf saya gak sengaja.” Suara seorang laki-laki dengan napas memburu seakan tengah dikejar sesuatu.
Quinsha segera membuka mata, dan sepasang netra itu hampir membulat sempurna, tatkala melihat seraut wajah tampan berada sangat dekat dengan wajahnya. Quinsha cepat menepikan tubuh untuk menjauh. Dan sepasang matanya terpejam rapat, tatkala kilatan cahaya beberapa kali berkelebat.
“masuk mobil!” perintah laki-laki itu dengan suara datar, tapi di wajahnya terselip sebuah senyuman yang mengarah pada Quinsha.
“Hah?” Quinsha terlonjak heran dengan satu perintah yang menurutnya aneh itu. Aneh karena tidak terdapat kesesuaian. Wajah lelaki itu menampilkan senyuman lembut tapi tatapan matanya mengintimidasi Quinsha agar mematuhi perintahnya.
“Masuk ke mobil, sekarang!” laki-laki itu mengulang perintahnya dengan menambah penekanan kata.
“Apa maksudnya?” Quinsha tentu saja heran. Merasa tak kenal dengan laki-laki yang pasti sudah menubruknya dan membuat kepalanya berkelana dan berkeliling. Bukannya meminta maaf, lelaki muda itu malah memberinya perintah. Apa mungkin Quinsha sedang berusaha di culik sekarang?
“Selamatkan dirimu! Masuk mobil sekarang!” lelaki itu kembali memberi perintah dengan nada bicara lebih garang. Tapi sungguh berbeda dengan ekspresi wajah yang ditampilkan. Di wajah itu malah tetap memperlihatkan senyuman. Apa lelaki ini sedang bermain seni peran? Lalu kenapa melibatkan Quinsha Daneen tanpa pemberitahuan?
Kembali kilatan cahaya menerpa keduanya. Lelaki itu berdecak kesal, karena sikap wanita di depannya yang sama sekali tak menunjukkan kepahaman. Ia segera membuka pintu mobil, dan menarik tangan Quinsha dengan setengah memaksa, membawa wanita itu masuk ke mobilnya.
“Ada apa, Neng? Dia siapa?” tanya pak Dimas dari depan dengan mimik heran, melihat Quinsha masuk mobil tak sendirian, tapi ada seorang pemuda ganteng bersamanya, duduk di samping Quinsha dan menutup pintu mobil dengan cepat.
“Jalankan mobilnya, Pak!” Pemuda tampan itu memberi titah pada Pak Dimas yang masih melongo keheranan. “saya temannya dia!” Tuturnya lagi dengan memberi isyarat mata pada Quinsha. Wanita itu sendiri tak hiraukan ucapan si pemuda. Ia sedang menatap keluar jendela mobilnya. Di sana terlihat beberapa orang yang coba mendekati mobil yang di naikinya tersebut dengan membawa kamera.
Kamera? Dan Quinsha baru sadar, kalau kilatan cahaya berkelebat dari tadi yang menimpa dirinya itu adalah jepretan kamera. Bukan fenomena alam seperti yang dipikirkannya. Mereka adalah para pemburu warta. Lalu siapa yang sedang mereka kejar untuk didapatkan beritanya? Apakah pemuda di sampingnya sekarang? Siapakah dia, kenapa dia dikejar-kejar oleh wartawan? Apakah dia seorang buronan?
Pikiran yang berkonotasi negatif itu langsung mendominasi kepala Quinsha. Ini mungkin akibat pening yang masih terasa di sana. Sehingga mengesampingkan sikap untuk tak mudah berburuk sangka pada orang lain. Quinsha juga tak sempat berpikir, kalau yang biasa mengejar-ngejar buronan itu bukan para wartawan, tapi petugas kepolisian.
Sepasang mata Quinsha kini mengamati wajah laki-laki yang duduk tak jauh di sampingnya. Wajah itu sangat tampan menawan. Setiap guratan di sana begitu sempurna bak pahatan patung dewa. Kulitnya yang putih bersih sangat terlihat terawat dan terjaga. Dan wajah tampan ini, terasa sangat familier sekali. Tapi ingatan Quinsha menolak untuk mencari, karena pertanyaan pak Dimas yang menginterupsi.
“Kita akan kemana, Neng?” mobil telah cukup jauh meninggalkan halaman pusat perbelanjaan di mana huru-hara itu terjadi. Pak Dimas bukannya tak tahu, kalau tugasnya adalah membawa sang nona pulang kembali. Tapi karena sekarang Quinsha tak sendiri, membuat Pak Dimas merasa harus menanyakannya lagi.
“Ke Hotel Aston, Pak.” Yang menjawab adalah pemuda tampan itu, dan bukan Quinsha, membuat pak Dimas menoleh sesaat dan menatap sang nona.
“Yang bisa memberi perintah di sini, itu saya,” ujar Quinsha dengan tegas. Tatapannya tajam mengarah pada lawan bicaranya. Rasa tidak suka tergambar jelas dari sana.
“Saya tau,” jawab singkat pemuda tampan itu sambil menatap jam tangannya. Sebuah jam tangan merek ternama melingkar apik di sana. “saya akan ganti rugi semuanya,” ucapnya lagi.
“Maksudnya?”
“Saya akan bayar.”
“Ini bukan taksi.”
Pemuda itu mengangguk. Sepertinya ia berada dalam posisi malas berdebat. Kini ia meraih gawai dari saku bajunya. Sebuah IPhone canggih keluaran terbaru. “saya akan bayar lebih dari hanya sekedar ongkos taksi,” ujarnya seraya jemarinya lincah menari di atas layar iPhone yang canggih.
“Termasuk waktu saya, Anda bisa menggantinya?”
Laki-laki itu menoleh sekejap, menarik napas siap memberi jawab. Tapi sayangnya Quinsha tak memiliki kesempatan untuk mendengarkan jawabannya. Karena ponsel canggih lelaki itu memperdengarkan suaranya.
“Raf, kamu di mana?” pertanyaan seorang pria dari seberang sana, yang cukup di dengar juga oleh Quinsha. Itu suara Mas Adam, orang pertama yang pasti akan mencari pemuda itu, bila tahu ia tak ada. Dan sekaligus orang pertama yang ingin dihindari, tiap kali ia ingin mendapatkan privasinya.
“Di jalan,” sahut lelaki itu sambil menghembus napasnya pelan.
“Jalan mana?”
“Gue gak tau juga ini jalan apa, Mas.”
“Dari mana saja, bersama siapa kamu? Kenapa keluar tidak pamit padaku?” pertanyaan bernada kesal dan gemas di saat yang bersamaan terlontar dari Mas Adam. Sudah bukan hal baru kalau ia bertanya dengan model menginterogasi seperti ini. Dibandingkan menjadi seorang manajer artis, Mas Adam sepertinya lebih cocok menjadi anggota badan inteligen saja. Karena setiap pertanyaannya yang tak selesai sebelum sampai pada akar-akarnya. Dan tak berhenti sebelum mendapatkan semua jawabannya.
“Gak cukup, dengan tau gue baik-baik saja, Mas?” lelaki itu sepertinya masih dalam mode malas meladeni pertanyaan Mas Adam.
“Oke. Gue jemput lu. Di jalan mana?”
“Gak usah. Bentar juga nyampek.” Dan ia segera memutus teleponnya dengan cepat. Lalu menoleh pada gadis cantik berhijab di sebelahnya. “Mau ganti rugi dengan cara apa? Sebutin saja! Saya penuhin,” ujarnya. Menyambung ucapan yang sempat terputus barusan.
Quinsha memutar bola matanya malas. 'Sombong sekali orang ini' Pikirnya. Tapi mendapatkan tantangan seperti ini, bukan Quinsha namanya kalau tidak meladeni. “Balikin waktu saya yang sudah terbuang, karena harus mengantar kamu.”
Laki-laki tampan itu terdiam. Memang tak ada keterkejutan di wajahnya, tapi Quinsha tahu, kalau permintaan itu adalah satu hal yang tak diduganya. Pandai sekali ia menyembunyikan keterkejutan. Lelaki itu pasti lihai bermain ekspresi, mungkin ia tipikal orang yang ikut kursus kepribadian. Atau, hal seperti ini memang adalah bagian dari lakon yang memang harus selalu ia perankan.
Diam-diam, Quinsha bersorak dalam hati. Hampir saja kalimat bernada cibiran akan ia keluarkan. Tapi ucapan laki-laki itu membuat niatnya diurungkan.
“Oke.” Satu kata saja yang ia ucapkan dan kini giliran Quinsha yang terdiam.
Berani juga orang ini, bagaimana bisa ia mengembalikan waktu yang sudah terlewati.
“Caranya?” Quinsha tak dapat menahan dirinya untuk tak bertanya.
“Kita lihat saja, nanti.” Ia memberikan jawaban santai dan penuh percaya diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Susi Herawati
sambil nunggu up aku ulangi bacanya... sumpah bagus bgt
2022-04-22
0
Nofi Kahza
ow begini awal ceritanya bertemu rafardan🥰
2022-04-13
0
Andri Sukaro
👍
2022-04-11
0