Ternyata, Sahabatku Mertuaku
Sherin Mumtaza.
Terasa denyut nyeri menjalar di dada, tatkala mendengar apa yang diucapkan suaminya.
Sekian detik Sherin menundukkan wajah, dan sekian detik pula wajah cantik itu kembali mendongak, lalu menyapu pandang pada Alarick disertai senyuman. Dan dengan tenangnya, ia mengatakan, "Ya, Mas. Aku paham."
"Aku paham atas apapun nanti yang kau pilih, dan aku menghargai, Mas. Setidaknya aku tau, bahwa kau sudah berusaha. Tapi memang ada hal-hal yang berada di luar batas kemampuan kita sebagai manusia."
Wanita itu sudah tiba pada titik pasrah, akan bagaimana nanti nasib rumah tangganya. Bukan karena sudah merasa lelah berusaha dan berdoa. Tapi karena sadar, bahwa ada sesuatu yang tak dapat digenggam, seberapa pun kuatnya kita berusaha untuk menggapai, jika memang tiada Takdir yang Tertulis dari Sang Maha Rahman.
Sherin juga menyadari sekarang. Lebih dari dua puluh tahun, Alarick merawat kenangan Kanaya dalam hidupnya--menjaga dan melestarikannya--mana mungkin Sherin yang hadir dalam dua tahun ini, mampu menghapus apalagi menggantikan.
Tidak apa-apa melepas sesuatu yang sudah kita genggam, jika memang tidak diperuntukkan. Yang perlu dilakukan sekarang adalah berusaha menerima dan mengiklashkan.
Alarick William.
Kanaya, adalah nama wanita masa lalu Alarick--menurut penilaian sebagian orang--tapi bagi laki-laki itu sendiri, Kanaya tidak berada di suatu masa di mana pun. Masa lalu atau masa depan. Karena nama wanita itu akan terus ada sampai kapan pun. Mungkin sampai Alarick tak lagi diberi kekuatan untuk dapat mengingatnya.
"Sebelum aku bercerita kepadamu tentang Kanaya, terlebih dahulu aku minta maaf, Sherin. Maaf jika pada akhirnya, aku tetap tak bisa menghapus nama Kanaya dari sini!" tunjuk Alarick ke dadanya sendiri.
Baginya, Kanaya adalah lantunan kata yang belum selesai ia baca, dan baris syair yang belum tuntas dipahami maknanya. Tapi segala hal tentang Kanaya sudah berubah menjadi kenangan saja. Karenanya, Alarick mempersembahkan waktu dalam setiap hari-harinya untuk merawat kenangan itu. Namun nyatanya, seberapa pun lamanya waktu, tetap tak pernah bisa merangkum semuanya.
Quinsha Daneen.
"Insya Allah, saya baik-baik saja. Justru saya tidak baik-baik saja, jika ..."
Gadis cantik itu memutus ucapannya begitu saja. Karena tersadar, kalau kalimat selanjutnya, tak pantas lagi diucapkan.
"Jika apa?" tanya Arfan
Quinsha menggeleng pelan.
"Bicarakan saja pada saya, jika itu tentang saya, beritau saya!" tuntut Arfan, yang kelihatannya teramat penasaran pada kalimat lanjutan dari Quinsha yang diputus begitu saja.
"Semua kata yang ingin saya sampaikan pada, Akhi, sudah terhapus semuanya. Sekarang yang ingin saya katakan hanya, Terima kasih untuk bantuannya," pungkas Quinsha dan segera memutar tumitnya untuk kembali melanjutkan langkah yang sempat tertunda.
Jangan tanyakan kenapa, jika ada air mata yang mengiringi di setiap langkah. Jangan tanyakan pula, jika ada rasa perih yang menghunjam di jiwa.
Di saat "ketidak mungkinan" menjadi jawaban, dan "berhenti berharap" menjadi keputusan, Alam seakan masih memberikan kesempatan.
Se-sakit ini rasanya mencintai sendirian. Se-sakit ini rasanya berusaha untuk melupakan rasa cinta yang sudah lama tertanam. Tak hanya cukup diceritakan dengan kata-kata dan air mata. Tapi Dunia, seakan masih mengajaknya bercanda.
Rafardhan Malik.
“Ada hal apa kamu menemui saya?” tanya Quinsha, begitu keduanya telah berada di luar kantor. Gadis itu memang mengajak Rafardhan berbicara di luar saja, supaya lebih leluasa.
“Ada satu hal yang membawa langkah kaki saya kemari,” sahut Rafardhan puitis. Dasar artis.
“Tujuannya?”
“Menemui kamu.”
“Untuk?”
“Sedang saya pikirkan.” Rafardhan melemparkan senyum, Quinsha cepat mengalihkan pandangan. Berdiri dekat dengan pemuda itu sungguh membuat spot jantung. Bukan hanya karena kawatir akan teriakan histeris para penggemarnya dari kalangan siswi Nada Hikam yang akan berakhir dengan Quinsha diinterogasi seperti beberapa waktu silam. Tapi juga karena senyumannya—yang kalau boleh jujur—sangat mematikan.
Kegelisahan Quinsha justru menjadi pemandangan unik tersendiri bagi Rafaradhan, hingga ia masih bermain kata sebelum menyampaikan apa yang menjadi maksud dan tujuannya.
“Maaf, kemarin gak bisa datang,” ucap Rafardhan. Meski sangat ingin menikmati pemandangan itu lebih lanjut, tapi waktu yang diberikan Adam sudah hampir habis. Lelaki ganteng itu harus menepati janjinya untuk kembali ke lokasi tepat waktu. Kalau tidak, ceramah berdurasi sangat panjang akan diberikan sang manajer kepadanya.
“itu saja?” sambut Quinsha, tersirat ketakramahan di balik pertanyaannya.
Rafardhan tersenyum tipis—meski tipis tapi pesonanya selangit. “Pasti sangat tidak nyaman ya,” tebaknya.
“Lebih tidak nyaman lagi, apa yang saya dapatkan di sana,” tandas Quinsha.
“Saya tau.”
“Kamu tau, apa yang terjadi di kafe itu kemarin?” kini Quinsha menatap Rafardhan penuh tanya.
Pemuda tampan itu mengangguk. “Mau saya kasih tau, gimana caranya menghadapi pertanyaan seperti itu?” tawar Rafardhan.
“Apa?” tanya Quinsha singkat.
“Diiyakan saja!”
Quinsha tersenyum mencebik “Bukan kebiasaan saya, mengakui sesuatu yang tidak sebenarnya.”
“Oh begitu ya. Kalau begitu kita jadikan saja semua itu sebagai kebenaran yang sebenarnya.”
Astaga, pemuda tampan itu mengucapkan hal tersebut dengan sangat santai, wajah tampannya begitu tenang tanpa beban. Dan senyumnya itu, jika saja yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Lila atau Risma, pasti mereka sudah mengusap dada karena debaran jantung yang berpacu dua kali lipat dari biasanya.
Sayangnya, yang berdiri di depan Rafardhan adalah Quinsha. Gadis yang hanya terpesona pada senyuman dari Bayhaki Arfan saja—walau sebenarnya jantungnya berdetak juga melihat pesona senyum Rafardhan—tapi gadis itu enggan mengakuinya. Quinsha menanggapi ucapan Rafardhan singkat saja. “Jangan bercanda!”
“Saya tidak sedang bercanda,” sahut Rafardhan.
“Saya minta kamu menglarifikasi pemberitaan yang ada tentang kamu dan saya.” Dari pada menanggapi ucapan Rafardhan yang tak masuk akal—menurut Quinsha—gadis itu segera mengalihkan pembicaraan. “Itu tujuan saya meminta bertemu,” imbuhnya.
“Kita bicarakan hal itu lebih lanjut, sekarang saya harus pergi,” kilah Rafardhan yang segera menutupi kembali wajahnya dengan dengan masker.
“Apa maksudnya? Kamu tinggal mengiyakan saja, tak perlu ada pembicaraan lanjutan, karena hanya itu yang ingin saya sampaikan,” sembur Quinsha dengan tatapan tajam.
“Saya tidak ingin membicarakan itu sekarang,” tolak Rafardhan.
“Kenapa?”
“Agar saya punya alasan untuk bertemu denganmu, atau agar kamu punya alasan untuk meminta bertemu dengan saya,” sahut Rafardhan yang pasti dengan senyuman, hal itu terlihat dari garis di bawah sepasang matanya yang tertarik, karena bibir merahnya—yang entah itu warna merah alami atau karena pewarna—sudah tertutup masker sebagaimana awal datangnya.
******
Assalamu alaikum semuanya..
masih ingat padaku? Aku datang membawa cerita baru, tentang dua orang sahabatnya Aura Aneshka.
Masih ingat dengan Aura? tentu saja, Aura istrinya Aresh. Siapa lagi?
Semoga kalian suka ya dengan ceritanya.
Aura dan Aresh akan hadir juga di sini lho.
Nah untuk teman-teman yang belum baca kisah Aura dan Aresh, Di sarankan untuk baca dulu judul CINTAKU TERHALANG TAHTAMU. kemudian lanjut pada cerita ini.
TERNYATA, SAHABATKU MERTUAKU, ya, supaya lebih paham isi ceritanya.
Dah lah..
selamat membaca. Eh tentu saja jangan lupa selalu dukungannya ya..
salam penuh cinta.
NAJWA AINI.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Lia liana
😭😭 ktinggaln jauhhhhh, haii assalamualaikum othor kangen bangettt maaf y br mampir tp sungguh aku ngak tau klu ad cerita baru😢, salam kangen jg y buat arra n aresh 😁
2022-07-07
1
Ria Diana Santi
Jadi ini awal komunikasi mereka...
2022-06-01
0
Nofi Kahza
Aku nyimak alon2 ya Kak Naj..🥰
2022-04-13
0