Chapter 4

Adnan dan para anak kecil laki-laki baru saja selesai menunaikan shalat maghrib berjamaah di masjid yang tak jauh dari rumah singgah.

Saat weekend seperti ini memang Adnan akan datang sedikit lebih lama dari biasanya. Seusai shalat Adnan menjanjikan mereka untuk makan bersama, tepat saat sampai di pelataran rumah singgah ia bisa melihat Anum yang keheranan dengan banyaknya kurir mengantar makanan yang Adnan pesan.

“Anum?!” sapa Adnan saat melihat Anum dan rekan lainnya kebingungan.

“Mas, tolong bilang ke bapak ini, kami tidak ada yang memesan makanan sebanyak ini” teman-teman Anum yang lain juga ikut mengangguk untuk membenarkan perkataan Anum.

“Itu, saya yang pesan Anum, mari bantu saya membawa ini ke dalam, kita makan bersama” terdengar sorakan anak-anak yang gembira saat tau mereka akan makan makanan yang lezat. Teman-teman Anum yang lainpun tidak bisa menyembunyikan rasa senang mereka.

“Makasih ya, Mas” ucap Anum saat teman-temannya membawa semua makanan itu masuk.

“Sama-sama, tolong bantu saya Anum” Anum kembali terkejut saat masih ada kurir yang datang membawa makanan yang sama banyaknya dengan tadi.

Namun, Anum tergerak untuk membantu Adnan yang akan kesulitan membawa sisa makanan yang baru datang sendirian.

Mereka semua makan dengan khidmat, tidak ada yang bersuara sama sekali.

“Kak Anum?!” Anum yang tengah mengunyah makanannya hanya berdehem untuk merespon salah satu anak yang berada di hadapannya.

“Kak, boleh tidak, Nisa minta makanannya lagi untuk dibawa ke panti kita?” Anum terkejut hingga ia tersedak makanannya sendiri. Adnan yang berada di sampingnya langsung menyodorkan sebotol Air putih milik Anum.

“Maaf Kak Anum” ucap anak kecil yang bernama Nisa itu. Anum segera membersihkan bekas makanan dan mencuci tangannya sebentar lalu menghampiri Nisa dan mendekapnya lembut.

“Nisa, kakak kan sudah sering bilang, kita harus saling berbagi dan tidak boleh serakah, karena.. serakah itu temannya seee...?!” tanya Anum pada semua anak yang berada di rumah singgah itu.

“Taaaannn...” jawab mereka dengan serempak.

“Nah, memangnya Nisa mau jadi temannya setan?” dengan cepat Nisa menggeleng.

“Jadi??” tanya Anum pada Nisa yang kini sudah mendongak dalam rengkuhannya.

“Nisa gak mau serakah kak” Adnan terenyuh dengan cara Anum memberi pengertian pada anak sekecil Nisa.

“Karena Nisa maunya jadi teman Kak Adnan saja, biar bisa makan enak setiap hari” serempak semua tertawa dengan celotehan Nisa. Termasuk Adnan dan Anum. Namun setelahnya Anum kembali memberi pengertian pada Nisa.

“Jadi, kalau Kak Anum gak pernah kasih sesuatu, Nisa gak mau berteman sama Kakak?” tanya Anum dengan wajah sedih yang dibuat-buat.

“Nisa mau kok temenan sama Kak Anum, karena kakak baik dan cantik” Anum tersenyum sambil mengusap kepala Nisa yang tertutub hijab.

“Nisa, kita juga tidak boleh pilih-pilih teman hanya karena harta ataupun fisiknya ya, sekalipun orang itu buruk rupa kita harus mau berteman dengannya, Nisa mengerti kan?” jelas Anum dengan sabar, Nisa hanya mengangguk paham.

Semua hal yang di lakukan Anum tadi tak luput dari pandangan Adnan.

“Num dari tadi dilihatin Mas Adnan tuh” bisik Husna pada Anum, dengan malu-malu Anum memastikan itu dengan menatap Adnan yang masih saja memandangi Anum, hingga membuat pria itu salah tingkah ketahuan memandangi Anum diam-diam.

“Ciyeeee Kak Adnan, dari tadi lihatin Kak Anum sambil senyum-senyum” goda mereka semua yang semakin membuat Anum tersipu hingga pipinya merona.

“Kok pipi Kak Anum merah? Kak Anum lope-lope ya sama Kak Adnan” celetuk Dio, salah satu anak yang belajar di rumah singgah itu, yang kini ikut-ikutan menggoda Anum dan Adnan, hingga keadaan rumah singgah saat itu ricuh.

“Sudah-sudah, di lanjut makannya” ucap Anum dan Adnan bersamaan, membuat mereka semua kembali membully Anum dan Adnan.

Tak berselang lama, kehebohan itu harus berakhir karena adzan Isya’ berkumandang, dan mereka memutuskan untuk sholat berjama’ah.

Setelah shalat Isya’ bersama, anak-anak sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Tinggal para relawan, Husna, Anum, dan Adnan yang masih tinggal untuk membereskan bekas makan bersama tadi.

“Nah, udah beres, kami pamit dulu ya Kak” pamit Risa, salah satu relawan.

Adnan, Anum dan Husna mengangguk serempak.

Kini hanya tinggal mereka bertiga, dan anak-anak yang satu panti dengan Husna dan Anum.

Adnan memutuskan untuk mengantarkan mereka, mengingat jarak rumah singgah dan panti yang lumayan dengan Anum yang duduk di depan bersama Adnan.

“Jadi kamu bekerja disini juga Anum?” tanya Adnan tepat saat mobil yang ia kendarai telah sampai di panti asuhan yang Anum maksud. Husna yang tau bahwa dua manusia di hadapannya perlu bicara langsung menggiring Anak-anak untuk masuk terlebih dahulu bersamanya.

“Saya.. tinggal di sini Mas” Adnan berdehem untuk menyembunyikan keterkejutannya.

“Itu juga alasanku menyukai anak-anak, rasanya dibuang itu tidak enak Mas, makanya aku tidak ingin ada Anum lain di sekelilingku” Adnan bisa melihat mata indah Anum yang mulai berkaca-kaca. Kini, ia merutuki rasa ingin tahunya yang membuat gadis di sebelahnya bersedih.

Adnan mengulurkan tisu yang ada di dashboard mobilnya, Anum menerimanya dan menghapus buliran air mata yang mulai turun.

“Maaf jika pertanyaan saya menyinggungmu, saya tidak bermaksud seperti itu” Anum segera menghentikan tangis dan menggeleng pelan.

Setelah hampir dua bulan mengenal Anum, ia baru tau sisi rapuh dari gadis yang selalu terlihat tegas dan ceria itu.

Kehilangan orang tuanya saja rasanya tidak bisa dibayangkan, apalagi tak pernah tau siapa orangtua yang telah melahirkan kita..

“Mas, gak salah kok, saya juga tidak tersinggung, air mata ini mungkin karena saya lelah, mungkin juga rindu”

“Rindu dengan siapa?” tanya Adnan dengan penuh harap.

“Rindu dengan orang tua saya yang tidak tau keberadaannya lah Mas, memangnya kita sedang bahas apasih?!” jawab Anum dengan nada yang tidak biasa.

Anum yang sudah merasa baikan menghapus air matanya perlahan, entah kenapa saat ini ia merasa lebih sensitif dari biasanya.

Sementara Adnan kembali merutuki kebodohannya, memangnya siapa lagi yang akan Anum rindukan, wahai Adnan yang budiman!

“Sepertinya saya juga lelah, hehe” Anum hanya diam saat mendengar respon dari Adnan.

“Ya sudah Mas, terimakasih sudah mengantar dan mau meluangkan waktu di rumah singgah kami” Adnan hanya mengangguk samar. Setelah Anum turun dan menutup pintu mobil, Adnan segera berlalu setelah menekan klakson sekali untuk berpamitan dengan Anum.

Dalam perjalanan, Adnan berulang kali mengetukkan kepalanya pada setir, ia malu sungguh malu saat ia salah menafsirkan orang yang anum rindukan, dengan bodohnya ia berfikir bahwa ada orang lain yang Anum rindukan.

“Kamu kenapa jadi bodoh gini sih Nan!” geramnya.

TBC

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!