Chapter 3

Semenjak malam itu, Adnan dan Anum bertambah dekat, Adnan selalu menyempatkan datang ke rumah singgah tempat Anum menghabiskan waktu.

Adnan mengambil peran disaat senggangnya untuk menjadi guru olahraga bagi anak-anak yang belajar di rumah singgah itu.

Peluh Adnan bercucuran, terik matahari membakar tubuh Adnan hingga membuatnya mengeluarkan keringat yang banyak.

Saat Adnan sibuk mengusap keringatnya, ada air mineral yang terulur padanya.

“Diminum mas” Adnan merasa diperhatikan oleh Anum.

“Terimakasih” Anum hanya mengangguk lalu duduk berjarak dari Adnan.

“Anak-anak disini lucu ya, Anum?” tambah Adnan yang ikut duduk, Anum hanya menoleh sekilas, kemudian kembali memandang ke depan.

“Mas, belum tau saja, mereka juga bisa jadi monster kecil kalau sedang badmood” tutur Anum sembari menatap Adnan sekilas, Adnan terkekeh mendengar itu.

“Tapi saya perhatikan, kamu sangat menyukai anak-anak, benar Anum?” perempuan berhijab merah itu hanya mengangguk dengan wajah yang berbinar.

“Hanya mereka yang memiliki hati bersih tanpa cacat, tanpa kepura-puraan, semua yang mereka lakukan dan katakan murni dari hati” Adnan diam, mengamati lawan bicaranya dengan seksama.

“Lalu, adakah alasan bagi saya untuk tidak menyukai mereka, Mas?” Adnan menggeleng, ia masih terkesima dengan penuturan sederhana Anum.

“Dunia ini kacau karena pola pikir orang yang berpikiran sempit, Mas. Bahkan saking sempitnya, mereka menganggap anak kecil sebagai manusia yang rumit” pandangan Anum menerawang ke depan. Memang benar, ada orang yang berpikiran seperti itu. Stigma itu salah dan harus diluruskan.

“Jikapun mereka hadir dikondisi yang tidak tepat, seperti hasil berzina dan semacamnya, mengapa mereka yang harus jadi korban? Bukankah mereka juga tidak bisa memilih akan dilahirkan dalam kondisi seperti apa?” meski samar Adnan bisa menangkap getaran amarah dan kekecewaan dari perkataan Anum saat ini.

“Mas tau? Ada banyak sekali kasus aborsi dan penelantaran anak di dunia ini, alasan mereka karena tidak siap bahkan karena faktor ekonomi” siapa yang tidak tau? Bahkan itu sudah menjadi rahasia umum yang hampir dianggap wajar. Tapi Adnan diam saja, ia ingin tau isi kepala Anum, ingin tau cara pandang perempuan ini terhadap sesuatu.

“Orang seperti itu menyedihkan Mas, hidupnya hanya seputar dunia, hingga ia lupa bahwa setiap yang bernyawa sudah di jamin rezekinya oleh Allah SWT, mereka seakan lupa bahwa setiap yang terjadi dalam hidup adalah rencana-Nya” Adnan termenung, sekaligus tertampar karena seringnya tidak mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan padanya.

“Itukah alasanmu untuk menjadi seorang guru, Anum?” kali Ini Anum hanya menggeleng pelan.

“Saya ingin menjadi sumber pendidikan pertama bagi anak-anak saya kelak, layaknya seorang ibu yang menjadi madrasah pertama bagi anaknya, saya menginginkan itu” Adnan tak bisa berhenti memandangi wajah teduh di hadapannya yang semakin membuatnya terpukau dengan tutur kata lembutnya.

“Saya ingin, Anak-anak saya berpikiran luas dan bijaksana, oleh karenanya, saya ingin membimbing mereka dengan tangan saya sendiri” Anum mengangkat kedua tangannya, kemudian menjatuhkannya kembali dalam pangkuan, dan kembali menerawang ke depan.

‘Cita-cita yang mulia’ batin Adnan.

“Anum?!” kedua manusia yang sedari tadi asik menikmati semilir angin bersama itu menoleh ke sumber suara. Itu, Husna.

“Eh, ada mas Adnan lagi, tho” sapanya pada Adnan sambil menyikut lengan sahabatnya berniat menggoda.

“Iya, saya sekarang sering mampir, tidak apa kan Husna?” Husna yang berdiri di dekat Anum hanya bisa tertawa geli.

“Oh tidak apa-apa Mas, apalagi jika kesini untuk menemani Anum mengajar anak-anak bersama, itu sangat saya anjurkan” kini giliran Anum yang menginjak kaki temannya dengan sengaja.

“Aduhh, eh, ini kaki aku sakit Anum?!” Adnan mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk memudarkan tawanya, melihat Anum yang tersipu sembari menahan kesal pada sahabatnya sendiri itu terlihat lucu.

“Kak Husna, kaki Adit luka karena habis jatuh dari tangga” adu salah satu anak murid. Ketiga manusia dewasa itu langsung berdiri tegap sembari bersiap untuk menghampiri anak yang katanya terluka itu.

“Eittsss, udah, kalian disini aja, ngobrol, dan untuk Anum, temenin Mas-nya aja, urusan mengobati itu bidangku” ucap Husna yang masih menghalangi mereka yang hendak pergi menolong Adit.

Adnan dan Anum saling pandang, namun segera mengalihkan pandangan mereka dengan salah tingkah.

“Udah ya, bye, Mas Adnan nitip Anum ya, kalau dia, jutek cium saja pucuk kepalanya, Insya Allah akan kembali jinak” setelah mengatakan itu Husna langsung berlari untuk menghindari amukan Anum.

Adnan kembali duduk di tempatnya, melihat Anum yang malu padanya sekaligus kembali kesal pada Husna.

“Mas, maafkan perkataan Husna ya, dia memang usil sekali” Anum menggelengkan kepalanya, merasa sangat kesal pada Husna sekarang.

“Tidak papa, saya tidak tersinggung, justru sedikit terhibur dengan kehadiran Husna, sampaikan terimakasih saya padanya nanti, ya” Kini Anum terkekeh kemudian mengangguk singkat mendengar respon Adnan yang mati-matian untuk bersikap biasa.

“Kalau Mas, boleh tau pekerjaannya apa? Dari tadi aku mulu yang bercerita” Adnan sedikit berbinar saat Anum mulai bertanya tentang dirinya.

“Aku hanya bekerja seperti manusia lainnya kok Anum”

Anum memandang Adnan dengan senyum mengejek, dari tampilan dan yang Anum tau bahwa Adnan sampai memiliki sopir dan asisten rasanya mustahil jika ia hanya seorang pekerja pada umumnya.

“Kenapa responmu seperti tidak percaya?”

“Tidak, baiklah berarti Mas pekerja yang istimewa ya?”

Adnan mengernyit heran, bingung dengan apa yang dimaksud oleh wanita dihadapannya ini.

“Iya, apa aku salah, jika mas hanya pekerja biasa dan memiliki seorang sopir dan asisten itu artinya Mas pekerja istimewa kan?”

Adnan tertawa, ternyata itu maksudnya, ia ketahuan berbohong.

“Itu semua hanya titipan Anum, sejatinya aku tetap sama dengan semua orang, hanya manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa, begitu kata pujangga” ucap Adnan yang sudah mulai lepas bercanda.

Tawa Anum meledak begitu saja mendengar kalimat bersajak itu.

Meski masih dalam batas normal, tapi mampu menciptakan desiran aneh yang dirasakan Adnan, seperti ada ribuan beban yang terangkat, sejenak Adnan terlupa akan semua hal yang sebelum ini membuat kepalanya hampir meledak.

Saat sadar diamati begitu dalam oleh lawan bicaranya, tawa Anum terhenti, berganti dengan salah tingkah yang tak bisa dikendalikan.

“Jangan lihat begitu, aku malu”

Adnan memalingkan muka kemana saja, berusaha untuk tidak lagi membuat Anum malu karena sikapnya.

Sebenarnya ia juga malu karena tertangkap basah memandangi wajah teduh Anum lama, tapi apa yang bisa Adnan lakukan, wajah itu selalu membuat pandangannya selalu terkunci, selalu ingin menatapnya lagi dan lagi.

Adnan kebingungan dengan perasaannya kali ini, juga tubuhnya yang tak lagi bisa dikendalikan olehnya.

TBC

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!