Saat melewati kamar tuan Hafiz terdengar gelak tawa antar anak dan ayah.
Ternyata tuan Hafiz sedang bermain bersama putri kecilnya.
Aku bisa melihat itu dari celah pintu yang tidak tertutup rapat.
"Sungguh sosok ayah yang luar biasa, dengan putrinya ia sangat hangat, penyayang, tapi dengan ku?, ah...peduli apa aku, yang penting gaji tiap bulanku lancar" gumamku dalam hati dan berlalu melewati kamar itu sambil tersenyum kecil.
🍀🍀🍀
Semua hidangan sudah ku tata rapi di atas meja makan, tinggal menunggu tuan dan puan untuk makan malam.
"Aunty Ais!" teriak Adira yang sedang digendong papanya menuruni anak tangga. Dengan wajah tak sabaran ingin mendekat ke arahku.
Aku pun menoleh dan menjawab " Ia cantik, sini biar aunty yang gendong!"
Ternyata dari arah yang berbeda, puan Jijah juga berjalan ke arah meja makan. Kamar puan Jijah tepat berada di depan anak tangga. Berarti sekarang semua sudah siap untuk menyantap makan malam.
"Sini aunty gendong!" kuulurkan ke dua tanganku, berniat untuk menyambut Adira dari gendongan sang papa.
Tuan Hafiz dengan wajah datar menyerahkan Adira ke padaku, setelah itu ia menarik kursi dan duduk berhadapan dengan puan Jijah yang telah lebih dulu mendudukkan diri.
"Ais, tolong panggilkan Adam!" perintah puan Jijah ke padaku, karena memang tinggal Adam yang belum hadir di meja bundar itu.
"Baik puan" jawabku singkat dan berlalu sambil menggendong Adira menuju kamar Adam.
Tok...tok ...
Aku mengetuk pintu kamar, dan langsung mendapat balasan.
"Masuk Ais!" suara damai itu, sangat sejuk terdengar di kedua kupingku.
Seperti punya indra ke enam, Adam tau bahwa akulah yang mengetok pintu.
Aku pun kembali masuk ke kamar Adam.
"Pak cik, jom makan!" itulah kata yang keluar dari mulut manis gadis kecil yang ada digendonganku saat ini.
Aku melihat Adam berusaha mundudukkan diri dari tempat tidur ke kursi roda.
Ada rasa tidak tega dihatiku melihat semua ini, lalu perlahan ku turunkan Dira dari gendonganku, kemudian kudekati Adam.
"Ais tolong ya?" pintaku pada Adam sambil membungkukkan badan dan menyiapkan pundakku sebagai tumpuannya.
Ia memandangku sejenak, mungkin ia masih segan, terlebih kami bukan muhrim.
"Nggak papa, ayo!" pintaku sekali lagi.
Adam mulai mendekatkan tubuhnya ke arah tubuhku, kemudian bertumpu pada pundakku dan berusaha sekuat tenaga menyeret kedua kakinya dan mendudukkan diri dikursi roda.
Adira hanya diam, melihat tingkahku dan Adam.
Sepertinya anak kecil itu terlihat menikmati setiap gerak gerik kami.
"Alhamdulillah" itulah kalimat serempak yang kami ucapkan secara bersamaan setelah Adam berhasil duduk dikursi rodanya.
"Terima kasih Ais!" ucap Adam padaku.
Aku hanya membalas dengan senyuman, dan kembali menggendong Adira.
Sebenarnya, aku juga ragu untuk bersentuhan dengan Adam, tapi semua itu kusampingkan karena rasa kemanusiaanku.
Adam mulai memutar-mutar ban kursi roda untuk bergerak menuju meja makan. Sedang aku dan Adira mengikutinya dari arah belakang.
Dimeja makan tuan Hafiz dan puan Jijah menatap ke arah ku dan Adam.
Puan Jijah tersenyum ke arahku, sedang tuan Hafiz tetap sama seperti biasa, "hanya tatapan dingin".
"Ayo kita makan!" ajak puan Jijah sambil mengambilkan nasi untuk Adam.
Kududukkan Adira di sebelah papanya. Namun tingkah Dira yang memang sedikit manja padaku, menolak untuk duduk disamping papanya.
"Tak nak" rengeknya sambil tetap menarik tanganku.
Sekilas ku tatap wajah tuan Hafiz, ternyata dia juga menatapku. Aku semakin menjadi tidak enak.
"Dira sama papa ya, aunty mau kedapur!" bujukku sambil mengelus pucuk kepalanya.
"Dudoklah Ais, kite makan same-same!" Adam tiba-tiba bersuara.
"Dudoklah Ais, kesian Dira, teringen nak rase suapan seorang ibu!" timpal puan Jijah sambil tersenyum ke Hafiz.
Deg ...
"Suapan seorang ibu?" memang aku ibunya?" kata-kata puan Jijah barusan menjadi bumerang dibenakku. Apa maksudnya berkata seperti itu. Tapi ya sudahlah, ada benarnya juga, selama disini aku tidak pernah melihat ibu dari Adira. Sudah barang tentu anak kecil ini ingin merasakan di suapi oleh seorang ibu. Meskipun aku ini bukan ibunya setidaknya aku wanita muda yang mungkin bisa di anggap sebagai ibu pura-pura oleh Dira.
Akhirnya aku dengan sedikit ragu-ragu menggendong Adira, setelah itu aku duduk di samping tuan Hafiz. Kemudian mendudukkan Adira dipangkuanku.
Kutuangkan air putih kedalam gelas, selanjutnya kuteguk satu kali tegukan sekadar untuk menghilangkan grogiku, karena ini pertama kali, aku satu meja makan dengan keluarga ini.
Dengan telaten aku mulai menyuapi anak manis itu, begitu juga yang lainnya, terlihat sangat menikmati masakanku.
" Sedapnyeeee" Adam memuji masakanku sambil memberikan dua jempolnya untukku.
"Memang sedap, Ais belajar same siape masak asam pedas ikan ni?" Tambah puan Jijah.
"Alhamdulillah jika enak, dulu waktu dikampung Ais suka bantuin ibuk masak, jadi sedikit-sedikit bisa"
"Kalau macam tu, Ais kawen jelah same Adam, biar Adam bise makan sedap setiap hari" ucap Adam sambil tetap menyuap nasi dipiringnya.
Uhuk....uhukkkk...
Tuan Hafiz tersedak. Reflek aku pun memberikan minumanku pada tuan Hafiz, tanpa a, i, u, ia menangkap gelas di tanganku dan meneguknya hampir habis.
Ternyata ada dua pasang mata yang menatap heran ke arah kami.
"Hafiz?" suara puan Jijah seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Begitu juga Adam, sama terkejutnya dengan apa yang ia lihat.
Aku semakin heran, ku tatap puan Jijah, ku tatap Adam dan terahir ku tatap tuan Hafiz.
"Apa ada yang salah?" itulah pertanyaan dibenakku.
Melihat sorot mata semua menatap ke arahnya, tuan Hafiz secepatnya meletakkan gelas yang ada ditangannya.
" Setau mama, Hafiz tak pernah menggunekan gelas bekas orang" ucapan puan Jijah yang semakin membuat aku sadar, ternyata aku telah memberikan gelas minumku padanya.
Wajah tuan Hafiz berubah tak enak dipandang.
mungkin ia juga baru menyadari bahwa itu adalah gelas bekas maid hina sepertiku.
Dengan sekuat tenaga kuberanikan mengucapkan kata "maaf tuan saya tidak sengaja" Selanjutnya kutundukkan kepalaku.
Tak ada jawaban yang kudapatkan.
Sepertinya permohonan maafku hanya sia-sia.
"Ha...ha....a..." suara tawa Adam terdengar nyaring ditelingaku.
"Ternyate hanye Ais yang mampu menghipnotis Mr arogan" ucap Adam penuh candaan.
Tuan Hafiz tak menghiraukan ocehan Adam, ia tetap melanjutkan makan malamnya. Sedang aku, dengan susah payah berusaha menelan nasi yang benar-benar terasa menelan sekam.
Adira kini telah selesai makan, dan sekarang ia di bawa oleh opah keruang keluarga. Tinggal aku, Adam dan tuan arogan yang ada dimeja itu.
Tanpa sepatah kata, akhirnya kuakhiri makan malam ku, meski sebenarnya perutku masih terasa lapar.
Aku berpura-pura sibuk membereskan peralatan makan yang ada di atas meja.
Badanku terasa bergetar dengan sorot tajam mata tuan Arogan, aku yakin ia masih tak puas dengan kejadian beberapa menit tadi.
Setumpuk piring kotor ada ditanganku, kubawa dengan perlahan menuju wastafel agar tak lagi melakukan ke salahan.
Dari dapur, aku bisa mendengar perbincangan serius antara Adam dan tuan Hafiz.
"how about we continue you treatment to Singapore?" tanya Hafiz pada Adam.(bagaimana jika kita melanjutkan pengobatanmu ke Singapura?)
"Adam rase di Malaysia juge sudah canggeh, so we don't need to go abroad" sanggah Adam pada kakaknya. (jadi kita tidak perlu pergi keluar negri).
"Adam, Along hanye nak yang terbaek untuk Adam, so ...ikut kate Along. (along adalah panggilan untuk anak yang paling tua).
"Nantilah, Adam piker dulu" suara lemah Adam mengakhiri obrolan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Maizaton Othman
Macam dah biasa guna BM je
2023-12-30
0
Mom Dee🥰🥰
bacanya dlm hati jadi serasa ikutan berbahasa melayu 🤭
2023-04-05
0
auliasiamatir
iangan bilang mr arogan diam diam suka sama ais
2023-01-30
0