Adam PoV
*
*
*
Malam ini, hatiku berbunga-bunga, setidaknya perlahan-lahan ku ungkapkan rasaku padanya.
Meski ungkapan itu tersirat, ku harap suatu saat akan menjadi tersurat, paling tidak sedikit sebanyakknya mengurangi sedikit beban dihatiku karena menanggung rasa.
Ais benar-benar memberi sejuta warna dalam hidupku. Pertama kali melihat kehadiran Ais dirumah ini, aku mendapatkan semangat hidupku lagi.
Ais, gadis negeri seberang yang telah mengisi sanubariku.
Tanpa aku sadar, benih cintaku pada gadis lugu itu semakin hari, semakin membesar.
Seperti malam ini, jantungku berdetak tak karuan disaat ia merelakan pundaknya sebagai tumpuanku.
Sebenarnya aku sempat ragu untuk menyentuhnya, karena aku takut, tak bisa mengendalikan rasaku padanya.
Namun melihat kesungguhannya untuk membantuku, akhirnya dengan jantung setengah lepas ku gunakan pundaknya sebagai tumpuan untuk berpindah ke kursi roda.
Ais juga gadis yang pandai segalanya, dari menjaga Dira sampai memasak ia memang rajanya, semua masakannya aku suka. Seperti masakannya malam ini, enaknya luar biasa.
Hingga terucap dari bibirku untuk menjadikan dia istriku, meski terdengar bercanda, tapi aku serius dengan apa yang kuucapkan.
Meski sekarang aku sedang lumpuh, tapi suatu saat aku yakin pasti sembuh.
Aku akan berusaha sekuat tenaga demi Ais.
Aku tak pernah sekalipun beranggapan Ais adalah maid dirumah ini. Bagiku, Ais terlalu sempurna untuk itu.
Pikiranku malam ini semakin tak karuan, "rindu", itulah satu kata yang kurasakan.
Rindu melihat wajahnya.
Untuk mengobati rindu agar dapat melihat wajahnya ku nyalakan laptop yang terhubung ke CCTV dirumah ini.
Karena biasanya, jika malam hari seperti saat ini, Ais mengistirahatkan diri di balkon tingkat dua rumah ini.
Dugaanku benar, begitu ku lihat CCTV yang ada di balkon, Ais terlihat bermain hp dikursi santai yang ada di sana.
Kuperhatikan dengan seksama, cantik..., gadis ini sungguh cantik, meski kulitnya tak terlalu putih, namun sesuai dengan perpaduan yang ada pada dirinya.
Aku tersenyum sendiri menatap layar laptop, tak lama kulihat Ais bangkit dari duduknya, ku kira ia akan masuk kamar, lalu tidur. Ternyata dugaanku salah, Ais terlihat berjalan ke arah kamar papa Adira.
Seketika senyumku luntur, keningku berkerut, menerka apa sebenarnya yang akan di lakukan Ais yang terlihat mengintip kamar Hafiz, lewat pintu kaca.
Aku semakin penasaran, detik berikutnya kulihat Hafiz datang dari arah belakang dan langsung membekap mulut Ais, kemudian menyeret Ais ke arah kamarnya.
Astagfirullah...., jantungku berdetak tak karuan, netraku membulat menandakan keterkejutan.
Andai fisikku tak seperti ini, sudah pasti saat ini juga aku akan berlari ke kamar yang ada ditingkat dua.
Sepertinya Ais memberontak ingin melepaskan diri, namun sepertinya tenaga Hafiz jauh lebih kuat.
Sebenarnya bisa saja aku berteriak untuk membangunkan mama, tapi setelah kupikir ulang, itu tak mungkin akan ku lakukan, karena biar bagaimana pun Hafiz adalah abangku, dengan melihat itu semua, aku takut akan menyusahkan ibuku.
Kupukul kakiku, agar ada keajaiban bisa bergerak seperti sedia kala, tapi percuma.
Aku prustasi, tak bisa menyelamatkan wanita yang kucinta.
Air mataku berlinang tak tertahankan, marah, benci, bimbang semua menyatu di tubuhku.
Hampir dua puluh menit ku tunggu, mataku menyipit melihat Hafiz menggendong Ais dalam posisi terkulai seperti tak bernyawa, dengan tergesa-gesa ia berjalan kearah kamar Ais. Hanya sekitar tiga menitan, Hafiz kembali terlihat keluar dari kamar Ais.
Kemudian ia mendudukkan diri dibangku tempat Ais duduk tadi, sambil memainkan hp milik Ais.
Benci, sangat benci, itulah perasaanku terhadap Hafiz. Tanganku menggenggam kuat, ingin rasanya kulabuhkan tinjuan tepat diwajahnya, tapi lagi-lagi aku tak bisa. Aku hanya laki-laki cacat, jangankan untuk melindungi Ais, mengurus diriku sendiri aku tak mampu.
Satu-satunya cara untuk aku melampiaskan kekesalan ku adalah dengan berteriak sekuat mungkin, sambil menggigit selimut, agar tak ada yang tau.
"Ais....Ais......Ais.....!" itulah racauku sepanjang malam.
Entah kenapa, rasanya aku tak sanggup lagi untuk bertemu Ais, bukan karena benci, tapi entahlah...
Semalaman aku tak bisa tidur, hatiku sakit, kepala ku berat memikirkan apa yang kusaksikan. Ais ...., entah apa nasibnya sekarang.
🍀🍀🍀
Pagi harinya aku sama sekali tak keluar dari kamar. Rasanya aku tak ingin untuk bertemu mereka. Tak lama terdengar suara ketukan pintu, kurasa itu Ais yang datang, karena biasanya pagi - pagi begini Ais yang selalu mengetuk pintu kamarku untuk memastikan ke adaan ku, dan menyiapkan air panas dan peralatan mandiku.
Ternyata, dugaanku salah.
Yang datang bukan Ais, melainkan mama dan Adira. Setelah pintu terbuka, keduanya tersenyum ke arahku.
Tapi aku tak membalas senyum mereka, kubuang wajahku, berpura-pura sibuk dengan laptopku.
"Kemana Ais? apa kondisinya sedang tidak baik akibat peristiwa semalam?" Beribu pikiran jelek muncul di otakku.
"Adam!" suara mama membuyarkan lamunanku. Ku coba sekuat tenaga untuk memutar pandangan ke arah mama dan Dira.
"Kamu kenapa sayang?
Kenapa matamu bengkak?
Kamu sakit?" Pertanyaan bertubi-tubi penuh kekhawatiran, namun tetap dengan suara lembut mama.
Mama pasti tau kondisiku pagi ini kurang baik. Bahkan mungkin beliau mengira penyakit lamaku kambuh pasca kecelakaan dulu. Tapi bukan karna itu, semenjak Ais hadir dikehidupanku, aku tak pernah lagi mengamuk seperti yang dulu-dulu. Sakitku hari ini lebih ke pada memikirkan Ais dan Hafiz.
"Haruskan aku menceritakan semua kejadian yang kusaksikan semalam? Tapi rasanya aku tak bisa untuk menceritakan itu, terlebih mengingat kondisi kesehatan mama".
Mama semakin mendekat ke arahku, lalu duduk di samping diriku.
"Kamu kenapa sayang?" Ia kembali bertanya dengan nada lembut ke padaku.
Kutatap wajah tua ibuku, ku tarik nafas yang dalam, lalu terucap satu kalimat dari bibirku " Ma, Hafiz ingin ke Singapura"
"Alhamdulillah"
itulah balasan dari mama, ia berpikir aku kesingapura karena mengikuti sarannya dan Hafiz, tetapi tidak....
Aku ingin kesana, karena aku belum siap berhadapan dengan Ais dan Hafiz.
"Jadi kapan ingin kesana?
Hari ini!
Hari ini?
Semakin cepat, semakin bagus ma
Baiklah jika itu keinginanmu.
Mama akan menelpon pihak rumah sakit disana" mama terlihat bersemangat dan bahagia, mendengar keinginanku.
Andai kuceritakan semua kejadian semalam, pasti senyum wanita ini tak lagi kudapatkan.
Aku tersenyum, tapi bukan senyum bahagia, melainkan senyum getir, hanya aku seorang yang tau.
Tiba-tiba ibu bertanya padaku, " Ais sudah ada ke sini" wajah ibu terlihat bingung, karena ia sudah sangat hafal, setiap pagi Ais pasti sudah ada dikamar ini.
Mendengar pertanyaan itu, jantungku rasanya berhenti berdetak, aku tau ada yang tidak beres terjadi pada Ais. Tapi sebisa mungkin kututupi kejadian itu.
Aku hanya menjawab dengan gelengan kepala, dengan mata berpura-pura mengamati layar laptop.
"Kemana Ais ya, tidak biasa-biasa nya dia seperti ini, mama lihat di dapur juga tidak ada, apa ia belum bangun ya ?" Mama terlihat menerka-nerka.
"Jom Dira kita lihat aunty Ais di atas!
Mama ke atas dulu ya!" Mama kembali mengelus pucuk ke palaku dan terus berlalu bersama Dira menuju kamar Ais.
Hatiku tambah tak karuan, takut mama menyaksikan kondisi Ais yang entah bagaimana rupanya aku juga tidak tau.
Aku hanya bisa berdoa, semoga semuanya baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
meli meilia
merasa bersalah krn tahu, tp tak mampu menolong ya dam?
2022-12-03
0
meli meilia
ya ampun lin.. konflik nya dalem banget ini.. ya keluarga.. digabung cinta. rumit bangett
2022-12-03
1
meli meilia
waduh! adam tahu! adam tahu kejahatan hafiz!
2022-12-03
0