"Res...duduk sini dekat Ibu sebentar". Langkah Restu terhenti, dia menoleh ke arah Ibu nya. Ia baru saja pulang dari kantor, sedikit terlambat karena pekerjaan kantor lumayan padat akhir - akhir ini.
"Sini...", Ibunya kembali memanggil lihat anaknya masih berdiri, sang Ibu menepuk sofa mengisyaratkan agar anaknya segera duduk.
Restu sudah firasat bakal apa yang akan di bicarakan Ibunya, tidak jauh dari seputaran itu lagi. "Iya bu, sebentar Restu mau ganti baju dulu gimana?, lengket rasanya badanku".
"Sebentaaar..sini, Ibu tau nanti kalo masuk kamar pasti habis itu langsung tidur, ya kan?, sini..., itu teh hangat udah Ibu buatin". Dengan langkah terpaksa, Restu menghampiri Ibunya. "Ada apa bu?", lalu menyeruput teh hangat buatan Ibunya.
"Gimana, enakan teh bikinan Ibu?", goda sang Ibu.
"Ya enaklah, tapi kan ada bibi bu, suruh dia aja yang buatin, Ibu harusnya tenang - tenang aja, santai - santai aja".
"Loh, kok kamu ngomong gitu sama Ibu, nanti suatu saat kamu kangen lho teh buatan Ibu, kalo Ibu udah nggak ada".
"Yaah, Ibu jangan ngomong gitu dong, merinding aku dengarnya, kayak Ibu mau pergi jauh aja", Restu merungut dengar kalimat Ibunya itu. "Ibu itu masih sehat, masih keliatan muda, cantik lagi, harusnya Ibu itu senang - senang di usia segini, nggak usah repot - repot bikinin aku minum, gitu loh maksud Restu bu", Restu mijit - mijit pelan bahu sang Ibu.
"Kamu mau ngeliat Ibu senang?", tanya sang Ibunya kemudian, "Kalo kamu pengen ngeliat Ibu senang, kamu segera menikah!", ujar sang Ibu mengarah ke topik pembicaraan.
Tuuh kan, kesana lagi arahnya...
"Ya gimana dong bu?, belum ketemu yang cocok. Nanti kalo ketemu, pasti aku menikah kok".
"Kamu itu ya, jangan terlalu milih - milih kenapa sih?, umur kamu itu udah berapa Res..? gini aja kamu terima usul Ibu ya, nanti Ibu kenalin sama seorang perempuan, orangnya baik, cantik dan mandiri lagi".
"Hah..?", Restu melongo. "Ibu tahu dari mana orangnya baik?, kadang omongan dari orang lain, belum tentu... tampilan luar bisa nipu bu".
"Ibu udah ketemu, udah ngobrol sama orangnya langsung kok, naluri seorang Ibu jarang meleset lho!".
"Hah..?", Restu kembali menutup mulutnya, sejenak menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Kamu ini...hah hoh hah hoh aja. Nanti kamu coba ketemu dulu sama orangnya, jangan terlalu kaku, kalo emang nggak sreg di hati kamu, yaudah nggak apa - apa, gimana?".
"Yaa..., terserah Ibu ajalah kalo gitu, Restu mau mandi dulu", ucap sang anak sembari berdiri dan berlalu dari hadapan Ibunya. Sang Ibu, Iin Herini tersenyum, akhirnya mau juga dia dikenalin.
***
Kringg..kringg...kringg
Ponsel di meja berbunyi nyaring, Ibu Herlina lihat di layar, Ibu Gendis...
"Halo mbak, apa kabar?, lagi sibuk nggak?", suara Ibu Gendis, teman satu almamater dengannya dulu, anggota Persit yang juga satu arisan terdengar bersemangat pagi itu. "Halo Bu Gendis, baik bu, ada apa nih tumben pagi - pagi menelpon?", basa-basi bu Herlina, dia sudah tahu maksud dari istri yang suaminya dulu adalah anak buah suaminya, tak jauh dari perjodohan.
"Gini mbak, aku kemarin sama kakakku mbak Iin udah mampir ke toko nya Farada, kakakku juga udah ngobrol, nah sepertinya mbakku itu suka, gimana kalo kita lanjutin aja, kita jodohin Farada sama anaknya mbakku itu".
Ibu Herlina tertawa, "Oh ya?...kalo aku sih sebenarnya terserah Farada aja, tapi biar nggak terlalu kentara di jodohin, gimana kalo atur aja ketemuan langsung antara Farada dengan anaknya mbak Iin itu?".
"Boleh juga sih mbak, nanti aku atur sama mbak Iin deh ya, soalnya ponakanku itu workaholic bener", sahut ibu Gendis lagi.
"Iya, anakku juga susah kalo di jodoh-jodohin, jadi suruh ketemu langsung aja, kalo mereka ada ketertarikan, baru kita nikahkan aja, gitu maksudku", timpal bu Herlina selanjutnya.
Dan, percakapan pun terus berlanjut sampai tak terasa hampir satu jam lamanya.
Tiba - tiba bel dari pagar berbunyi...
"Eh iya, maaf bu Gendis, sepertinya ada tamu yang datang, nanti kita lanjutin lagi ya".
"Iya mbak, baik nanti kita obrolin lagi", dan pembicaraan rumpian pagi itu terputus. Ibu Herlina berjalan ke luar, ternyata ada kurir bukan tamu yang datang.
Ibu Herlina melirik amplop putih transparan di tangannya, sepertinya invitation. Undangan untuk Farada.
Sementara di tempat lain...
Farada terlonjak dari duduknya, kegirangan setelah membaca notifikasi email di ponsel. Ia terpilih dari sebuah klub hotel untuk berangkat ke Jepang!. Tepatnya, Sapporo Ibu Kota Hokkaido. Salah satu tujuan destinasi favorit yang dia idam - idamkan sejak remaja.
"Kenapa kak?, seneng bener?", Dian yang sedang menyusun pesanan di boks menatap heran wajah sumringah bosnya itu. "Aku terpilih mbak?", jawab Farada sambil perlihatkan ponselnya. Dian masih menatap heran, tak mengerti, "terpilih apaan?", tanyanya kemudian tapi dia beringsut juga melihat layar ponsel Farada dan membacanya. Dian membuka tutup mulutnya dengan tangan, "wuihh...asyiknya, ke Jepang kak?, kok bisa?". Farada membuka tas kecilnya dan mengambil sesuatu, "tempo hari aku iseng - iseng ngisi brosur di toko emas, setelah beli cincin ini", katanya sambil perlihat sebuah cincin perak pada Dian, "nah, ternyata aku terpilih, undangannya udah terkirim ke rumah". Lalu Farada menceritakan asal mula dia membeli cincin yang di awali niat menolong karyawan toko emas waktu itu.
"Kapan berangkatnya, kak?".
"Tiga hari lagi, aku harus hubungi pihak klub hotel xxx ini untuk konfirmasi, paling lambat besok", Farada menjeda kalimatnya, "Tapiii...", tiba - tiba Farada berpikir sejenak, wajahnya berubah ragu - ragu.
"Tapi kenapa kak?".
"Mama pasti nggak bolehin aku pergi deh kayaknya, secara...undangannya buat satu orang doang", ucapnya sendu.
"Coba aja dulu ijin, kalo nggak bilang sama papa kakak dulu, katanya papa paling dekatkan sama kakak kan?, berapa hari sih?".
"Tujuh hari, iya sih, tapi aku ragu deh papa juga ngijinin kalo nggak ada yang nemanin".
Dian pun jadi ikut - ikutan berpikir, "coba dulu aja kak, bismillah...mumpung gratis!", ucap Dian memberi semangat. "Tapi, undangan plus tiketnya kan udah di kirim kerumah, mudah - mudahan aja mama belum liat!", ujar Farada yang kemudian meminta paket makan siang perusahaan DomTrav. "Ada nih, oh ya...kayaknya agak berat deh kak, soalnya sekarang nambah dua orang loh dari perusahaan itu", Dian memperlihatkan kotak plastik makanan, "Nggak di temani Asep aja nganterinnya?".
"Nggak usah, bisa kok aku mah kalo segini doang, yang buat managernya udah dipisahin-kan?", tutur Farada sambil melihat - lihat isi kantong plastik tersebut.
"Udah dong".
"Ya udah, kalo gitu aku berangkat sekarang deh".
***
Dengan langkah berlari kecil, Farada buru - buru memasuki sebuah lift yang hampir tertutup. Siang ini tumben nggak rame pikirnya. Dalam lift tersebut hanya berdua, seorang pria yang sedang berbicara di telpon. Farada tak begitu perhatikan orang tersebut, Ia membuka ponselnya, kembali melihat email yang masuk tadi pagi. Pikirannya masih fokus, bagaimana caranya minta ijin sama mamanya.
"Kenapa harus begitu sih bu?", suara pelan setengah berbisik, tapi masih sangat jelas terdengar di telinga Farada, dari pria yang berjarak setengah meter di belakangnya itu.
"Kamu ketemu aja dulu di kafe xxx jam tiga sore, turutin lah sekali ini apa kata ibu, kalo kamu nggak mau setelah itu, terserah kamu...".
Pria itu mendesis dengan menjauhkan mulutnya dari telinganya.
Farada memainkan ponselnya juga, pura - pura sibuk, Ia tak peduli, pikirannya juga sedang konsentrasi pada sebuah ijin.
"Iya...iya, nanti di rumah aja ngomongnya, aku mau kerja ini bu, aku habis meeting", ujar pria tersebut sambil melirik ke samping lift, Ia melihat ada wanita yang sering keluar masuk kantornya.
"Ya udah, kan juga tiga hari lagi, ibu bukan jodohin tapi ngenalin kamu, toh kalo kamu nggak suka, nggak apa - apa juga, mama nggak maksa, lagian pilihan seorang Ibu itu jarang meleset loh bang!".
"Iya bu...nanti aja dirumah ngomongnya ya", ulang pria tersebut mengulang kalimatnya dan mematikan sambungan telpon.
"Kamu nganterin makan siang saya yah?", tanya pria tersebut membuyarkan konsentrasi Farada.
Hah..?, pangeran gue??
"Awas, lalar ijo ntar masuk mulut kamu", ucap pria dengan intonasi datar, yang ternyata Restu tersebut meneruskan kalimatnya lihat mulut Farada terbuka lebar, yang lalu mengatup kembali.
"Ehh..bapak, saya kirain siapa", Farada malu - malu, pipinya merona, baru kali ini dia mendengar suara pujaannya bicara langsung dengannya. "I-iya pak, saya nganterin makan siang bapak, sama mbak Artika dan satu lagi pak Bimo", tuturnya terbata.
"Oh, Bimo sekarang pesan makanan dari kamu juga?, tumben...", omongan Restu terputus, lift berhenti dan terbuka. Restu keluar duluan di ikuti Farada di belakangnya.
"Sini, yang punya saya, saya bawa aja sekalian!", perintahnya kemudian pada Farada, tangannya terjulur ke belakang sambil berjalan.
"Nggak apa - apa pak, biar saya aja yang bawain", elak Farada merasa tak enak hati dari belakang.
"Sini nggak apa - apa, sekalian sama punya Artika, dia masih di ruang meeting lantai bawah", suara tegas Restu tak bisa lagi di tolak Farada, pria tersebut berhenti dan meminta ransum makanan. Mereka kemudian berdua melangkah pelan, sampai masuk ruangan kantor.
"Eno, ini ada ransum makanan buat Bimo...", Restu menjeda kalimatnya menunggu seorang karyawannya menghampiri, "nah, punya Bimo kamu titip aja sama Retno ini ya", ujar Restu sambil berlalu cuek memasuki ruangannya.
Tinggalah Farada dengan raut kecewa, berarti gue nggak bisa liatin lu sebentar dong pak?, yaelah... monolog Farada dalam hati, sambil menyerahkan makanan Bimo pada Retno. Tapi nggak apa - apa deh, ada kemajuan, bisa dengar suaranya aja udah seneng gue!
Farada pun berlalu dari situ...
***
"Dek, kamu siap - siap ya, tiga hari lagi, hari Sabtu, jam tiga sore kamu ketemuan sama seseorang di kafe xxx ya, jangan nolak, mama mau kenalin kamu sama ponakan teman mama!", ucapan tak bisa dibantah Farada mampu membuatnya terperangah, padahal pintu rumah baru di bukanya, itu pun belum melangkah masuk, suara mama dari ruangan tamu seperti akan membuyarkan rencana yang sudah Ia susun.
"Hah...?".
-
Lanjut...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments