Baru saja, aku terbangun dari tidur singkat-ku.
Suara dengungan potongan kalimat khotbah Mr. Teolog Hebat―yang memimpin ‘kewajiban’ku kemarin siang, telah hilang sepenuhnya setelah aku merobek kertas rekomendasi untuk merintis karir sebagai Pengemis.
Aku menggerutu pada diriku sendiri, “Sial, man, sebenarnya, aku pikir sudah cukup bagus untukku menjalani karir baru sebagai seorang Pengemis Legal.”
Menutup kedua mata dengan lenganku seraya terus terbaring di tempat tidur, aku tiba-tiba menyadari sesuatu.
Guh, pada akhirnya, 206 Kredit-ku menghilang begitu saja?! Sial, desah frustrasiku dalam hati.
Well. Setelah kemarin aku tertidur selama lebih dari seminggu hanya untuk memulihkan sakit demam parah, tidurku sekarang memang menjadi sangat singkat.
“Sakit yang kualami selama lebih dari tiga puluh tahun telah sembuh sepenuhnya seperti ini saja?!” cibirku.
Aku benar-benar masih merasa sangat tidak percaya dengan keadaanku saat ini.
Man ... Bahkan para Dokter Hebat Distrik ini pun tidak ada yang bisa mendiagnosis penyakit demam aneh-ku itu, pikirku.
Aku mengingat dengan jelas, dulu, entah berapa kali aku bolak-balik ke Rumah Sakit.
Aku melihat layar smartphone-ku seraya terus rebahan di tempat tidur-ku.
“Ya, apapun itu, lah, man, yang jelas 49.814 Kredit-ku ini tidak akan dikurangi lagi, kan?” gumamku, merasa sedikit waswas.
Aku sedikit mendesah senang karena melihat total saldo Kredit di rekening-ku.
Dan dikarenakan satu penyakit demam aneh-ku yang sama sekali tidak aku mengerti telah sembuh, mungkin besok saldo Kredit-ku tidak akan otomatis dikurangi lebih dari 1.000 Kredit lagi olehNya?
Kehilangan Kredit sebanyak itu tiap bulan memang sangat disayangkan. Namun sejauh ini, aku merasa sangat sehat dan tidak memiliki vision aneh tentang Kakek – Kakek berwajah buram tidak jelas, saat aku baru bangun tidur pada dini maupun pagi hari.
“Obat demam itu bekerja dengan sangat sempurna, man,” gumamku, lalu aku mendesah mengasihani seseorang, “Sungguh, Ret, kau sangat bodoh memberiku obat demam itu hanya dengan 150 Ribut Kredit saja.”
Berapapun besarnya jumlah Kredit, Right Point, Middle Point, maupun Left Point seseorang tanpa kesehatan pada tubuh-nya, itu sama saja tinggal menunggu waktu untuk menjadi seorang budak.
“Jika aku masih sehat dan memiliki obat itu ... 1 Juta Kredit pun tak akan kuberikan pada siapapun,” sumpahku.
Aku bangkit dari rebahan panjang-ku dan berjalan menuju Kamar Mandi.
Well, man, ya, sekalipun itu para sultan yang menawarnya, pikirku, dengan tegas aku bersumpah kembali dalam hatiku, Aku tidak akan pernah memberikannya.
Aku melihat air mengalir dari keran ke lantai Kamar Mandi―tidak, sekarang, aku bukan mau mandi.
Hanya seperti biasa, melakukan ‘ritual’ untuk menjalankan ‘kewajiban’ku saja―biasa kusebut ini dengan: mencuci muka.
Tapi anehnya, masih ada para idiot di luar sana masih bisa bertahan tanpa Trinitas Point maupun Kredit―yang jelas-jelas ketiga hal itu adalah syarat untuk membeli obat dariNya, pikirku, merasa kagum, Tapi bukan berarti aku mau menjadi ******* atau semacamnya juga, sih.
Aku merasa sangat kagum pada suatu Kelompok Besar―walau idiot, di luar sana.
“Aku hanya ingin tahu bagaimana caranya mereka bisa bertahan hidup tanpa Kredit serta seluruh Tatanan Dunia yang telah dibuatNya―Ah! Tes kesehatan bulanan mulai besok, man?!” seruku dengan semangat, setelah melihat ‘Tanggal 31’ di layar smartphone-ku.
Well. Menganggur selama ini mengakibatkan aku jarang memperhatikan tanggal selain waktu.
Dan saat aku melihat waktu sekarang ini, aku pun bersiap untuk menjalankan ‘kewajiban’ku.
Namun sekarang ternyata masih pukul 14.23.54 siang hari, jadi aku menunggu nada dering ‘suatu panggilan halus’ di smartphone-ku.
Well. Ya. Dikarenakan masih ada waktu, aku melemparkan tubuhku kembali ke kasur.
Aku rebahan di tempat tidur-ku seraya terus menatap kosong langit-langit putih Kamar Tidur Apartemen-ku.
Well, ya, yang terpenting sekarang saldo Kredit-ku sama sekali tidak akan berkurang setiap bulan, pikirku, merasa cukup tenang.
Aku pun merasa cukup tenang sampai-sampai bisa ketiduran saat rebahan singkat-ku ini.
“Ah! Sial?! Man, aku ketiduran!?” desahku, seraya bergegas bangun dan kembali ke Kamar Mandi, “Guh ... Sial. Aku harus cuci muka lagi.”
Aku menghamparkan kain persegi panjang di tempat biasanya―dan tentu aku masih berdiri tegap di atas-nya menghadap ke arah barat.
Pada saat aku menempatkan jidatku di permukaan kain persegi panjang, aku sedikit mengingat potongan kejadian kemarin.
Well. Ya. Man. Pada saat aku kembali ke Panti Sosial nanti―Sial―wanita resepsionis itu pasti akan lebih menakutkan.
Aku melipat kain persegi panjang yang telah kupakai sembari mendesah frustrasi.
“Jika kuingat dengan benar, dulu dia benar-benar tidak sedingin itu?! Entahlah. Aku mungkin lupa? Tapi yang kuingat,” gumamku, dan aku pun terus mencoba untuk mengingat kejadian 21 tahun yang lalu, “Well, tidak ada yang kuingat dengan jelas juga, sih. Aku bahkan tidak tahu namanya.”
Dulu, aku memang terlalu fokus mengejar karir Pekerjaan Utama-ku sebelumnya―Ahh?! Aku sedikit melihat nametag di bajunya saat itu―Su-apa-itu?!!
“Suki―Name?” lanjutku bergumam dengan aksen suatu Kerajaan Bumi Lampau dan aku pun menyadari sesuatu yang hebat, “Wanita resepsionis dingin itu bernama: Suki?!! Man, ya, well, bagian ‘Name’nya terdengar keren! Sial. Suki-Name.”
Well. Ya. Tetapi sial juga untukku karena harus ke sana lagi untuk menemui dirinya, dan aku sudah tidak bisa lagi merintis karir sebagai seorang Pengemis. Sial.
“Sudahlah, man, lagipula,” cibirku kemudian, “Mengemis itu membutuhkan skill terlalu tinggi untukku.”
Dan pada akhirnya, aku pun melihat layar smartphone dipegangku―inilah juga salah satu pengeluaran Kredit perbulan-ku yang cukup besar.
Aku memang sedang membaca di berbagai portal Terminal Mobile World, namun, pikiranku malah alang-kabut entah ke mana.
200 Kredit itu untuk agen Bisnis-man, ya, pikirku, mendesah tenang dalam hati, Guh, well, ternyata pada dasarnya seperti ini caranya mereka bekerja.
Aku membaca sesuatu yang relevan dengan pemikiranku di portal Terminal Mobile World Society. Berbagai hal tentang situasi terkini diberitakan di portal ini, tetapi apa yang menarik untukku hanyalah apa yang telah kupikirkan itu.
Resesi maupun Krisis Ekonomi di Tatanan Dunia manapun sudah tidak ada lagi dalam World News sejak Era Hiburan terbentuk. Hanya ada politik para Anggota Partai serta peluncuran Robot Baru saja yang diberitakan.
“Well, ya, tidak aneh Konglomerat Prefektur ini memenangkan satu Distrik lagi, man,” desahku.
Aku mulai merasa bosan membaca berita di portal ini.
Namun tiba-tiba, aku menyadari sesuatu, Ah!? Tunggu?! Jika salah satu Konglomerat Prefektur di Negeri ini memenangkan salah satu Distrik ... Man ...!! Berarti otomatis Map ‘di sana’ akan berubah saat aku World In nanti ...!!! Sial.
Aku hanya bisa menghembuskan napas beratku setelah menjerit-jerit dalam hati seperti itu.
Dan kemudian, aku menatap diam sebuah pintu kayu berwarna coklat Ruang Kerja-ku.
Man, apa aku ...?
Lalu aku pun menghembuskan napas beratku seraya dengan acuh tak acuh melemparkan smartphone-ku ke belakang, dan berjalan menuju ke arah-nya.
Meski aku sudah menganggur selama ini, tetap saja Ruang Kerja-ku ini sangat berantakan. Deretan berbagai ukuran buku tak karuan di rak kayu dan lemari kaca cukup besar yang menempel di dinding, serta Televisi LCD Besar di atas meja kerja-ku sungguh teramat kotor.
“Guh. Man ... Walau aku menganggur seperti ini,” gumamku, kemudian aku pun mendesah frustrasi, “Aku tetap malas membersihkan semua ini. Sial.”
Di sudut Ruang Kerja-ku terdapat sebuah Robot Maid dengan posisi sedikit mencondongkan tubuh-nya ke depan.
Ia memang kusebut: ‘Robot Maid’ tetapi kegunaannya di sini bukanlah untuk membersihkan sesuatu―maksudku, aku yang tidak memperuntukkan-nya untuk membersihkan apapun.
Aku berjalan ke hadapan Robot Maid itu.
Untuk mendapatkan-mu, aku sampai-sampai harus menambah 2 pajak penghasilan-ku, dan secara membabi buta bekerja Part Time lainnya. Tapi sekarang?! Aku sangat ragu untuk menggunakan-mu. Sial. Well, ya, aku hanya takut tiba-tiba kehabisan Kredit-ku saja saat mengakses Internet, pikirku, dengan cukup lama aku menggumam tidak jelas dalam hatiku seperti itu―dan cukup lama pula aku berdiri tegap sembari menatap kosong Robot bertubuh wanita menakjubkan di hadapanku.
Aku menggelengkan kepalaku sambil memijat pelipisku.
Guh. Sial. Man. Aku seperti sedang memikirkan hal-hal mesum di hadapan Robot Maid ini, desahku dalam hati.
Entah untuk ke barapa kalinya aku mendesah frustrasi sembari menatap lantai di bawahku.
“Apa aku gunakan saja ....”
Aku sedikit mendongakkan kepalaku, menatap kedua celah mata kosong Robot Maid di hadapanku.
Namun pada akhirnya, aku kembali menggelengkan kepalaku dan keluar Ruang Kerja-ku. Lalu setelah mencuci muka, aku menjalankan ‘kewajiban’ku lagi.
Aku memang bilang ‘lagi’ tetapi sekarang sudah sangat sore. Dan mungkin ini istilah yang sangat asing pada Era Hiburan ini\, namun\, waktu ‘sangat sore ini’ biasa kusebut dengan: ‘Waktu Maghrib’.***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments