Selalu ngasih kabar tanpa diminta adalah hal kecil yang bisa bikin seseorang merasa berarti.
Karena sejatinya, komunikasi yang baik adalah salah satu elemen esensial dari hubungan yang sehat. Dan itu tidak pernah Shanum alami.
Sepuluh tahun tanpa kabar berita tidak lantas menghilangkan semua rasa dan harapan seorang Shanum.
Rasa mencintai dalam diam yang selama ini hanya dirinya dan Tuhan yang tahu sedalam apa rasa itu.
Harapannya kembali bersemi setelah ia kembali kehilangan, mengharapkan kedatangan orang terkasih menghampirinya dan melanjutkan asa dan cinta yang tertunda.
Dia menyadari jika kemungkinan untuk semua asa dan cinta lamanya terwujud sangatlah kecil.
Cerita indah yang terangkai sepuluh tahun yang lalu tidak memberinya kejelasan, yang terkasih pergi tanpa kepastian. Haruskah menunggu atau selesai sampai saat itu.
Sore yang indah Shanum lalui dengan kesendirian, ditemani sebuah buku yang sudah tampak usang.
Taman komplek menjadi pilihannya menghabiskan libur akhir pekan.
Taman kini terlihat sepi, karena kebanyakan penghuni komplek rumah dinas itu sedang berada di luar, pulang ke rumahnya masing-masing atau sekedar menghabiskan waktu libur akhir pekan di luar.
Setiap libur akhir pekan jika tidak ada kegiatan di sekolah atau di yayasan para pendidik diperbolehkan untuk pulang ke tempatnya masing-masing atau sekedar berlibur, dan harus sudah kembali berada di rumah dinas sebelum jam kerja dimulai hari Seninnya.
Libur pekan ini Shanum memilih tidak pulang ke Bogor, ia biasa pulang sebulan sekali mengunjungi orang tua dan adik-adiknya. Libur pekan kemarin ia baru saja pulang.
Memilih menghabiskan waktu liburnya dengan membaca novel kesukaan, seperti biasa ia anteng dalam kesendiriannya.
“ Antara ingin sendirian, tetapi aku tidak ingin kesepian”, gumamnya.
Shanum dekap novel usang itu sambil memejamkan mata, mendongak ke langit seolah merasakan bayangan seseorang benar-benar nyata.
Pelan ia tundukkan pandangan, menatap lekat novel yang saat ini ia dekap erat. Perlahan dibuka halaman yang terselip secarik kertas yang telah usang pula.
Untuk ke sekian kalinya, di kala sendiri dalam sepi ia membaca surat itu.
To “Shanum Najua Azzahra”
Shanum, aku pergi.
Jangan pernah menikmati lagi sepi dalam kesendirian,
Tetaplah menjadi Shanumku yang ceria dan menginspirasi.
Semoga hari esok lebih baik dari hari ini.
From “Akhtar Farzan Wijaya”
Garut, 1 Juli 2012
Lama Shanum tenggelam dalam lamunannya, berpikir mencari setitik sinar terang tentang perasaan dan harapannya selama ini.
Sepuluh tahun sudah berlalu sejak terakhir surat itu ia terima.
“Apa sih yang dicari”
Tiba-tiba suara yang akrab ditelinga mengagetkan Shanum yang anteng dalam lamunannya.
“Kamu? Udah pulang?” tanya Shanum pada Liani, tiba-tiba saja dia sudah duduk nyaman disampingnya.
“Sejak kapan duduk di sini?” tanyanya lagi.
Liani adalah teman sejawat Shanum, pada hari yang sama satu tahun yang lalu mereka diterima mengajar di sekolah ini.
Mereka seumuran dan sama-sama masih sendiri mungkin hal itu yang menjadi salah satu alasan mereka cepat akrab. Mereka pun tinggal bersebelahan di komplek rumah dinas guru ini. Tak jarang mereka menghabiskan malam bersama.
Liani Salsabila, sarjana bahasa Arab lulusan Mesir. Berasal dari Surabaya dan menetap di Bandung sudah tiga tahun lamanya. Sebelumnya dia mengabdikan dirinya di pondok pesantren tempat ia menimba ilmu sebelum pergi ke Mesir.
Mereka pertama kali bertemu saat mengikuti kajian yang terbuka untuk umum di pesantren tempat Liani mengabdi, selanjutnya mereka sering berkolaborasi dalam berbagai event kajian.
Dan entah suatu kebetulan mereka dipertemukan kembali di tempat ini, sama-sama mencoba peruntungan mengikuti seleksi penerimaan pendidik baru yang dibutuhkan oleh Yayasan Bina Insan Kamil, dan takdir kembali menyatukan mereka,
Sama-sama mengajar ditingkat SMA dan tinggal di rumah dinas, bertetangga membuat mereka semakin akrab. Bahkan jika bukan di lingkungan sekolah mereka nyaman saling menyebut nama saat mengobrol.
Apa sih yang dicari?”, kembali Liani mengulang pertanyaannya.
“Kok masih terus-terusan sendiri?” sambungnya lagi.
Sekilas Shanum meliriknya.
“Nggak nyari apa-apa, cuma emang belum ketemu aja.”Jawabnya sambil tersenyum.
“Standarnya diturunin makanya”, ucap Liani.
“Buat apa?”, Shanum balik bertanya.”yang memang tepat malah nggak perlu pakai standar-standar. Yang memang serius nggak mungkin takut sama status apa-apa”, jawabnya dengan lugas.
“Pantes lama nemu jodohnya”, sindir Liani.
“Jodoh kok diburu-buru, jodoh tuh nggak harus dulu-duluan, emangnya lagi balapan?”, balas Shanum sambil terkekeh.
Liani mencebikkan bibirnya, merasa kalah beradu argumen dia memilih merogoh kantong kresek yang tadi dibawanya mengambil sebungkus keripik kentang kesukaannya.
“Move on dong Num, jangan terlalu larut dalam kenestapaan yang tak berujung.
Coba buka hati kamu untuk yang lain.
Berikan kesempatan orang lain untuk memberimu kebahagiaan, kamu tidak lihat kesungguhan Kak Ahsan, aku sungguh melihat keseriusannya mencintaimu.
Aku cukup tau banyak tentang dia, dari dulu banyak perempuan yang mendamba menjadi makmumnya.” Liani mulai berceramah.
“Beriman, Insyaa Allah. Berpengetahuan, tentu. Tampan, pasti. Mapan, jelas. Kalau kamu masih trauma, emang enggak cukup tiga tahun ini healingnya?”. Liani mengoceh panjang lebar dengan serius.
Shanum menarik nafasnya panjang mendengar ocehan sahabatnya itu.
Persahabatan mereka terjalin sudah cukup lama, membuat Liani tahu beberapa hal tentang Shanum. Liani tahu kalau Shanum pernah hampir menikah dan gagal.
Tiga tahun yang lalu setelah wisuda S1 shanum kembali ke Bogor, pindah dari Garut orang tuanya memilih menetap di Bogor setelah neneknya meninggal, menemani kakek yang tinggal sendiri.
Shanum tak menyangka, tiga bulan di Bogor dia didatangi seorang pemuda tampan, dia adalah anak teman ibunya waktu sekolah.
Pertemuan pertama mereka pada acara reuni Ibunya Shanum dan teman-teman SMAnya, Shanum didaulat untuk menjadi MC pada acara itu. Sementara pemuda itu datang mengantar Ibunya.
Arya Shakti Dirgantara, pemuda lulusan IPDN dan bekerja sebagai PNS di Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.
Tak butuh waktu lama, pertemuan kedua Arya datang menemui ayah Shanum menyampaikan maksudnya untuk berta’aruf. Ayah Shanum mengizinkannya dan mempersilahkan Shanum untuk memutuskan.
Orang tuanya berharap sekali dia menerima ajakan Arya untuk berta’aruf. Selain sangat mengenal keluarganya, Ayah dan Ibu Shanum juga sudah tahu banyak tentang Arya, ia pemuda yang sholeh, sangat menyayangi keluarganya, sopan dan ramah, mapan dan tampan pula.
Satu bulan melewati proses berta’aruf, Arya melamar Shanum.
Rencananya satu bulan setelah lamaran mereka akan melangsungkan pernikahan.
Saat itu Arya juga harus mengikuti diklat ke luar kota selama tiga minggu, seminggu sebelum pernikahan dia akan pulang dan langsung mengajukan cuti.
Shanum tampak bahagia menjalani semua proses ini, kehadiran Arya sedikit demi sedikit mengikis rasa yang bertepuk sebelah tangan. Shanum memantapkan hati untuk menerima Arya sebagai imamnya.
Namun takdir berkata lain, di perjalanan pulang dari luar kota setelah mengikuti diklat, Arya mengalami kecelakaan tunggal dan dikabarkan meninggal ditempat.
Kabar duka ini membuat kedua sekeluarga syok, tidak menyangka persiapan pernikahan yang sudah 90 persen harus batal.
Setelah kejadian itu, Shanum memilih untuk melanjutkan pendidikannya.
Mendaftar pada program beasiswa S2 yang disediakan pemerintah, Shanum kembali ke Bandung untuk melanjutkan kuliah.
Dia pun mendapatkan pekerjaan sebagai Guru Tetap pada yayasan Bina Insan Kamil, yayasan yang tersohor di tanah air karena memiliki lembaga-lembaga yang berkualitas, baik di bidang pendidikan, sosial maupun kesehatan.
Dan disinilah Shanum sekarang bersama Liani Salsabila. Mengabdikan diri untuk umat, mengamalkan ilmu yang mereka dapat selama bersekolah dengan bonus berbagai tunjangan dan fasilitas.
Tiga bulan yang lalu Shanum pernah dipanggil secara khusus ke kantor yayasan.
Pengurus yayasan yang bertanggungjawab untuk lembaga pendidikan SMA Bina Insani meminta Shanum untuk menghadap dan sungguh Shanum tak menyangka ternyata tujuannya dipanggil ke kantor yayasan karena ada seorang dosen di yayasan itu yang ingin berta’aruf dengannya.
Muhammad Ahsanu Amala, salah satu dosen di perguruan tinggi yang bernaung di bawah yayasan yang sama dengan Shanum.
Selama setahun ini, katanya dia selalu mengamati wanita sederhana itu.
Merasa tidak asing dengannya, ingatan Shanum pun menerawang.
Shanum ingat kalau beliau adalah kakak tingkatnya, Ketua BEM di Universitas tempatnya menimba ilmu. Shanum pun cukup mengenalnya, karena mereka pernah beberapa kali terlibat dalam kegiatan kemahasiswaan di kampus.
Shanum percaya dia adalah calon imam yang baik. Seperti kata Liani, banyak mahasiswa, dosen dan guru yang berharap menjadi makmumnya. Tapi kala itu, tidak dengan Shanum.
Shanum ingat, dengan alasan klasik ia menolak ajakan Kakak tingkatnya itu untuk berta’aruf.
Setelah memohonan maaf dengan penuh kesungguhan ia pamit, Shanum beranjak hendak meninggalkan ruangan tempatnya berada saat itu.
Sebelum Shanum keluar melewati pintu ruangan itu, Ahsan memanggilnya dan berkata, *Shanum, aku akan menunggu!*.
Shanum hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum menanggapinya dan berlalu dari sana seraya mengucapkan salam.
“Ayolah, Num…sungguh aku ingin kamu bahagia”, suara Liani melepaskan Shanum dari lamunannya.
“Entahlah, Li…”, jawabnya singkat. Liani tidak tahu kini Shanum terjebak kembali pada cinta masa lalu yang semu.
Mendongakan kepala, Shanum menatap langit senja yang menampakkan keindahan jingganya.
*Di langit yang kau tatap, ada rindu yang ku titip, tak berdaya, tak ada kuasa, hanya do’a yang hebat sebagai obat,* batinnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Iyusnia Muhtadin
Shanum jodohnya siapa ya? Akhtar..atau Ahsan..? hanya author yang tahu..
lanjut lagi bacanya
2022-10-15
1
Baihaqi Sabani
semoga mrka cpt ktmu
2022-10-04
1