Garut Pangirutan
Demikian orang menyematkan julukan bagi Garut sejak dulu, pangirutan yang artinya menunjukkan rasa kangen atau rindu bagi mereka yang pernah menginjakkan kakinya di Garut.
Alam Garut memang selalu bikin kangen.
Deretan pegunungan, bukit rindang nan hijau, membuat orang yang melihatnya jatuh cinta. Bahkan udaranya yang sejuk, mampu menentramkan siapa saja yang pernah singgah di Garut.
Berada di wilayah Priangan Timur atau Jawa Barat bagian selatan. Garut memang menjadi pintu masuk dari wilayah barat, bagi kabupaten lainnya yang berada di sepanjang jalur itu.
Memiliki wilayah yang sebagian besar merupakan lahan konservasi, membuat Garut indah dan resik.
Bahkan, saat lomba kebersihan tingkat kabupaten pertama kali digelar pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1962 silam, Garut langsung menjadi juara pertama kota terbersih se-Indonesia.
Sebutan kota pangirutan memang tidak terlepas dari indahnya wilayah Garut, sehingga siapapun yang pernah singgah, memendam rasa untuk kembali bertandang.
Begitupun dengan Akhtar, setelah meminta izin dengan penuh diplomatis kepada sang Ayah ia diizinkan untuk pergi ke Garut.
Dengan alasan kangen sama nenek dan kakeknya dari pihak ibu, ia pergi membelah jalanan kota kembang ba’da subuh.
Sengaja ia berangkat dari Yayasan ba’da shalat subuh, berharap sampai ke Garut saat matahari mulai menampakkan sinarnya, di pagi hari suasana di kampung halaman ibunya itu sungguh sangat menyejukkan.
Dua setengah jam perjalanan ia tempuh, dan sampailah kini ia di halaman sebuah rumah sederhana yang tidak berubah sejak dulu, rumah bercat putih dengan dengan jendela yang besar dan halaman yang luas ditumbuhi beberapa pepohonan.
Di samping rumah tampak kebun dengan segala jenis tanaman obat dan sayur-sayuran tempat nenek dan kakeknya menghabiskan waktu jika senja menjelang.
Akhtar merasa de javu, merasakan kembali rasa yang pernah ada saat pertama kali memasuki halaman rumah ini beberapa tahun silam.
Tok tok tok…
“Assalamu’alaikum,” Akhtar mengucapkan salam sambil mengetuk pintu.
“Assalamu’alaikum,” kembali Akhtar mengulang ucapan salamnya.
Setelah salam kedua barulah tampak seorang gadis berjilbab putih yang membuka pintu.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah,” jawab gadis itu sambil membuka pintu.
Ia terperanjat, cukup kaget dengan tamu yang datang. Seorang pemuda berperawakan tinggi, dengan dada bidang , tampak atletis tengah tersenyum ramah di hadapannya.
Sejenak Aini seolah tersihir dengan senyuman pemuda itu. Aini baru tersadar saat pemuda itu mengiba ngibaskan tangan di hadapan wajahnya.
“ Hey… Assalamu’alaikum, Kakek Ahmad dan Nenek Aminah ada?” , tanya Akhtar membangunkan Aini dari lamunannya.
“Hah… wa’alaikumussalam, ada ada,” jawab Aini terkaget
“Akang siapa?’, tanyanya lagi.
“ Aku Akhtar, cucunya Kakek Ahmad dan Nenek Aminah, putra dari Ibu Fatimah dan Ayah Furqan.” Jawab Akhtar dengan rinci.
Mendengar suara orang mengobrol di depan rumahnya, nenek Aminah keluar dari dapur menuju ke ruang tamu.
Sejenak beliau menghentikan langkah, mengamati dengan seksama siapa orang yang bertamu pagi-pagi sekali.
“Aini, ada tamu siapa?” tanya nenek Aminah.
“Assalamu’alaikum, Nek. Aku Akhtar.” Akhtar yang menjawab karena Aini seperti masih asyik dengan lamunannya.
“Akhtar?,” ulang nenek setengah tak percaya.
“ Iya, Nek. Aku Akhtar cucu nenek putra dari ibu Fatimah dan ayah Furqan.” Jawab Akhtar.
Akhtar tersenyum lebar...
“Masyaa Allah… Akhtar, Alhamdulillah akhirnya kamu pulang,Nak. Nenek kangen.” nenek memeluk cucunya dengan erat dan tampak menangis. Akhtar pun membalas pelukan neneknya, tubuh neneknya kini terasa lebih ringkih karena sudah sepuh.
Setelah cukup lama mereka berpelukan, nenek pun larut dalam tangis kerinduan pada sang cucu, perlahan nenek melepas pelukannya. Beliau menuntun Akhtar masuk ke dalam rumah.
Ruang tamu yang masih tampak sama seperti beberapa tahun yang lalu, sejenak Akhtar amati sekelilingnya tak ada perubahan yang signifikan di rumah ini, hanya ada tambahan beberapa foto anak gadis terpajang di dinding ruang tamu.
Akhtar menengok ke belakang, masih berdiri gadis yang tadi membuka pintu.
“Aini, cepat susul si Aki ka Masigit (Masjid)!”, perintah nenek pada gadis itu.
Gadis itupun tampak kaget dan terburu buru ke luar sambil membenarkan kerudungnya.
Sementara nenek masih bergelayut manja ditangan kanan Akhtar dan menuntunnya untuk duduk di kursi tamu.
“Nenek, dia siapa?” tanya Akhtar penasaran tentang gadis itu.
“Kamu lupa? Dia adalah Aini sepupumu. Anaknya bibi Zainab. Dia yang selama ini menemani nenek dan kakek di rumah ini. Kamu tidak ingat dulu kalau bibi Zainab dan keluarganya berkunjung ke sini kamu sering sekali membuat Aini menangis karena kamu selalu menggodanya dengan menusuk-nusuk lesung pipinya,” jelas nenek panjang lebar.
Akhtar memundurkan ingatannya, dia ingat dulu sering sekali membuat nangis anak SD yang selalu berjilbab.
Iya, Akhtar ingat dia adalah Aini, Nurul Aini Rahmah nama lengkapnya putri dari bibi Zenab adik dari ibunya.
Kakek dan nenek memiliki dua putri dan satu putra, Ibu Akhtar Fatimah adalah anak pertama, Ibunya mempunyai adik perempuan yaitu bibi Zainab yang tinggal di Jakarta dan adik laki-aki yaitu paman Azzam yang tinggal di Serang, Banten.
Akhtar tersenyum sendiri, tidak terasa waktu sepertinya begitu cepat berlalu, Aini kini sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik, Akhtar pun sampai pangling dibuatnya.
“Assalamu’alaikum,” seseorang dengan suara yang tak asing di telinga Akhtar mengucapkan salam.
Akhtar menengok ke arah sumber suara itu sambil menjawab salamnya, dia lihat kakek sedang tersenyum ke arahnya.
Segera Akhtar berdiri dan menghampiri kakek, menyalaminya dengan penuh takdzim dan kemudian memeluknya.
“ Akhtar, kau sudah besar,” ucap kakek sambil mengelus punggung Akhtar.
“Kakek, Akhtar kangen, maafkan Akhtar.” sambut Akhtar dengan air mata yang tiba-tiba saja lolos dari mata sudut matanya.
Pikirannya melayang ke masa lalu yang penuh keharuan, teringat semua kenangan yang dia lalui dengan kakeknya selama tinggal di Garut.
Kakek adalah panutanku, darinya aku banyak belajar. Dari beliau pula aku belajar ketegaran, sebagai seorang lelaki tidak laiak untuk tampil lemah, lelaki harus kuat, kuat imannya, kuat pengetahuannya, kuat amalnya. Itulah nasehat kakek yang selalu aku ingat sampai saat ini.
Kakek pernah bilang bahwa aku sebagai lelaki kelak akan mempertanggungjawabkan 4 perempuan di akhirat, dulu awalnya aku mengelak, aku tidak terima jika sudah dewasa nanti aku harus memiliki empat istri.
Kakek hanya terkekeh dengan pemahamanku, sampai beliau menjelaskan bahwa empat perempuan yang akan menjadi tanggung jawabku adalah istriku, anak perempuanku, ibuku dan saudara perempuanku.
Keempat perempuan tersebut kelak akan meminta pertanggungjawabanku, apakah aku berhasil membimbing mereka ke jalan yang Allah ridhoi atau tidak.
Kakek selalu mengingatkan bahwa keimanan, keilmuan dan perilakuku harus benar-benar mumpuni, mampu membawa diriku dan keluargaku di jalan yang Allah ridhoi.
“ Kakek, sehat?,” perlahan Akhtar mengurai pelukannya.
“Alhamdulillah, Kakek dan nenek sehat, masih diberi kesempatan oleh Allah untuk bertemu denganmu”, jawab kakek sedikit menggelitik hati Akhtar.
Pasalnya sejak Akhtar pindah ke Yogya dan melanjutkan kuliah ke luar negeri baru kali ini dia kembali ke Garut.
Selama ini Akhtar hanya berkomunikasi dengan Ibunya melalui telepon, itupun bisa dihitung dengan jari.
Selama beberapa tahun ini Ayahnya tidak terlalu membuka akses untuk Ibu maupun keluarganya menghubungi Akhtar, Ayahnya selalu beralasan agar Akhtar tidak terganggu belajarnya. Entahlah…
Setelah bercengkrama dengan penuh kehangatan sambil menikmati sarapan pagi yang sudah disiapkan nenek dan dibantu Aini tentunya, saling bercerita dan melepas semua kerinduan, nenek dan kakek menyuruh Akhtar untuk beristirahat.
Mereka khawatir Akhtar kelelahan karena mengendarai mobil sejak subuh dari Bandung, padahal tidak. Lelah Akhtar menguap seiring udara sejuk yang ia hirup saat memasuki kota Garut dengan sejuta harapannya.
Akhtar pamit pada kakek dan neneknya untuk menemui sahabat-sahabatnya waktu di Asrama, Akhtar juga bermaksud mengajak mereka mengunjungi asrama yang sudah menorehkan cerita indah di bagian dalam hatinya.
Sungguh Akhtar sangat penasaran, apa kabar Shanumnya sekarang, gadis pujaan yang selalu bertahta di hati dan ingatannya, tak lekang oleh waktu cinta yang sama ia persembahkan untuk sang pujaan hati.
Kemana dia melanjutkan sekolahnya dulu, apakah aktivitasnya sekarang?
Masihkah ia suka berorganisasi?
Dan yang paling penting Akhtar ingin memastikan satu hal yang selalu mengganjal di pikiranku, apakah gadis pujaan hatinya itu masih setia menunggunya?
Usia mereka sudah menginjak dua puluh lima tahun, usia yang bagi perempuan itu sudah sangat dewasa bahkan sebagian orang memahami terlalu dewasa jika belum menikah.
Apalagi di daerah perkampungan seperti ini, banyak gadis-gadis yang menikah di bawah umur yang seharusnya, jika ada perempuan yang belum menikah di usia yang sangat sudah matang menurut mereka tak jarang menjadi bahan obrolan tetangga.
Tapi sungguh, jujur Akhtar sangat berharap Shanum belum menikah, hingga kesempatan untuknya menepikan rasa terbuka lebar, menuntaskan cinta lama yang belum kelar. Hhe…
Menautkan asa yang sempat tertunda.
Sampailah Akhtar di rumah Andi, sahabat baiknya sewaktu di asrama, Andi tinggal di kampung sebelah.
Dulu beberapa kali Akhtar main ke rumahnya saat pulang dari asrama. Akhtar masih ingat betul rumahnya, dan disinilah ia sekarang.
Ketika hendak membuka pagar rumah, tiba-tiba Akhtar dikagetkan dengan suara seseorang di belakangnya.
“Punten, bade kasaha nya? (maaf, mau ke siapa ya?)”, tanya seseorang mengagetkan Akhtar. Reflek ia menengok dengan segera ke belakang, sesaat mereka saling pandang, dan tidak berapa lama…
“ Farzan”, ucapnya
“Andi”, timpal Akhtar…
Mereka tertawa sambil berpelukan, melepas rindu dengan penuh bahagia. Hingga setelah cukup puas mereka saling melepas pelukan, kemudian kembali tertawa penuh bahagia karena bisa bertemu lagi.
Andi mengajak Akhtar masuk ke rumahnya. Mereka saling bercerita banyak hal tentang kehidupan masing-masing selama ini, tentang sekolah mereka dulu juga tentang asrama yang kini semakin maju.
Andi sudah menikah dengan Laila, gadis yang sejak SMP sudah diincarnya, dari pernikahannya dia sudah dikaruniai seorang anak perempuan yang saat ini baru berumur 1 tahun.
Akhtar tak menyangka sekarang Andi menjadi kepala desa di desa ini. Sungguh sangat lucu, Andi yang dulu paling urakan diantara mereka 4 sekawan, Akhtar, Andi, Azwar dan Rayhan.
Andilah yang sering mendapat hukuman ketika di asrama karena melanggar aturan, sering tidur saat belajar, menyembunyikan foto cewek, kabur saat belajar retorika dakwah dan banyak lagi kenakalan-kenakalan yang dibuat Andi.
Walaupun Akhtar hanya tinggal sebentar di desa ini, tapi cukup memberinya kenangan indah, Garut dengan segala kisahnya.
Ceritanya singkat, kenangannya hebat, ngelupainnya susah banget.
Setelah bercerita kesana kemari hampir satu jam berlalu, akhirnya Akhtar mengungkapkan rasa yang selama ini mengganjal hati dan pikirannya.
“Di,kamu tahu bagaimana sekarang keadaan Shanum?”, tanya Akhtar dengan hati-hati.
Jujur ada ketakutan di hatinya akan mendengar kabar tentang Shanum.
“Beuh….geuning datang kadieu teh kadinya maksudna mah, (ternyata, datang kesini tuh maksudnya ke sana),” jawab andi sambil terkekeh.
“Serius Di, semenjak kepergianku ke Yogya aku belum pernah bertemu dia lagi, akupun tak tau kabarnya. Tapi jujur di hati dan pikiranku bayangan Shanum tak pernah hilang"
"Bahkan aku berharap sekarang bisa menuntaskan cinta lama ini, aku sungguh ingin menepikan hatiku padanya, aku ingin melamarnya menjadi pasangan hidupku, aku merindukannya, Di.” Tutur Akhtar panjang lebar.
Entah keberanian dari mana tiba-tiba Akhtar begitu lugas mengungkapkan perasaannya pada Andi, padahal dulu Akhtar adalah orang yang tidak terlalu suka mengobrol terutama tentang masalah pribadinya.
Mungkin karena sejak dulu Akhtar memang merasa nyaman dengan Andi bahkan Andi juga yang dulu menjadi kurir surat cintanya untuk Shanum.
Andi menghela napasnya panjang. Sebelum menjawab pertanyaan Akhtar, Andi menatap Akhtar dengan lekat, seolah ada keraguan di matanya.
“Zan”, Andi memanggil Akhtar dengan panggilan khas di sekolah dan di Asrama, Farzan.
“Kamu yakin selama kamu pergi dari sini tidak tertarik dengan perempuan lain?” tanya Andi penuh selidik.
“Rasanya aku enggak percaya kalau kamu tidak menemukan gadis-gadis cantik saat di Yogya, apalagi saat di luar negeri, pasti banyak sekali perempuan-perempuan yang mengantri ingin jadi pacarmu.” Sambungnya lagi.
“Ya, perempuan yang mengejarku sih banyak, bahkan banyak guru-guruku yang ingin menjodohkan anaknya denganku.
Tapi sungguh aku tidak tertarik, setiap kali ada yang mengajakku berta’aruf jujur aku semakin teringat Shanum.
Sekarang tolong kasih tahu aku dimana Shanum dan bagaimana kabarnya?”, pinta Akhtar.
“Masihkan aku memiliki harapan untuk bersamanya?” tanya Akhtar sendu.
Kembali Andi menghirup nafasnya panjang dan menghempaskannya dengan cepat.
“Sorry Zan, yang aku tahu Shanum kuliah di Bandung, dia mendapatkan beasiswa di sana, dan tidak selang lama keluarganya pindah, karena katanya nenek Shanum dari pihak Ibunya meninggal dan mereka pindah ke Bogor untuk menemani kakeknya.
Aku tidak tahu tepatnya dimana, dan kabar terakhir yang aku dengar dari adikku, Shanum sudah dilamar oleh seorang pegawai pemerintahan di Bogor.
Jika mengingat usia kita sekarang sepertinya Shanum sudah menikah. Kamu masih ingat dengan Husna dan Nia sahabat-sahabat Shanum kan?
Husna sekarang sudah punya dua Anak, si Nia malahan lebih keren dia punya 3 anak, anak keduanya kembar.” Tutur Andi panjang lebar.
Jlebbb……seakan seperti ada yang menusuk ulu hati Akhtar mendengar penuturan Andi.
Akhtar tersenyum ketir mendengarnya, rasa sakit menyelimuti hatinya.
Mengetahui kenyataan pahit yang jauh dari ekspektasinya.
Sakit tak berdarah, mungkin itu yang sedang Akhtar alami. Akhtar berusaha menetralkan kembali suasana hatinya, tak ingin merusak pertemuan bahagia dengan sahabatnya.
Mereka meneruskan obrolan dengan beragam topik dari masa lalu hingga masa kini.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan tibanya shalat dzuhur.
Setelah shalat dan makan siang yang disiapkan istrinya Andi, Akhtar pamit pulang ke rumah neneknya dan akan kembali ke Bandung karena ada jadwal di kelas karyawan, alasannya bohong.
Karena hari ini sengaja Akhtar mengosongkan jadwalnya sampai dua hari ke depan untuk berada di Garut, mencari informasi tentang gadis pujaannya dan mengenang kenangan indah selama tinggal di Garut.
Tapi rencana tinggallah rencana, Semangatnya sepertinya melebur menjadi rasa sakit, kekecewaan terlihat jelas di wajahnya.
Akhtar melangkahkan kakinya gontai menuju mobil dan langsung menuju rumah kakek dan neneknya untuk pamit kembali ke Bandung saat ini juga.
Akhtar seperti kehilangan separuh jiwanya, harapan bersua bahagia dengan pujaan hatinya sirna.
Semua asanya untuk kembali menyelesaikan cinta lamanya yang belum kelar tinggallah angan semata.
Shanum, gadis sederhana yang berhasil memenangkan hatinya sampai saat ini nyatanya kini benar-benar tidak akan bisa ia gapai karena telah menjadi milik orang lain.
Kenyataan yang hari ini Akhtar terima, sungguh telah meluluh lantahkan hati dan perasaannya.
“Shanum, bolehkah aku egois?”, bisiknya lirih.
"Aku masih rumahmu, jika kamu ingat jalan pulang maka kembalilah", gumamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Dul...😇
getir mungkin ya bukan ketir.
2024-01-01
1
Iyusnia Muhtadin
Adduh hawatos Akang Akhtar...naha atuh teu masihan kapastian? karena perempuan mah butuh kepatiian atuh Kang...hanas diantosan...eeh singhoreng teh tos nikah sareng nu sanes...nalangsa atuh jadina😁😁😁
2022-10-15
2