Langkah Seruni riang menapaki koridor sekolah setelah menyelesaikan pembayaran SPP yang sudah menunggak tiga bulan. Ia baru saja selesai ikut ujian. Ujian itu dilewati Seruni tanpa kesulitan meski tak sepintar murid lain, dia tetap bisa mengerjakan semua soal dengan baik.
Langkah riang Seruni terhenti ketika melihat beberapa orang bergerombol di pinggir lapangan sepak bola. Ada pertandingan rupanya antar kelas setelah ujian tadi. Seruni pergi ke sana sebentar, duduk dengan tenang di undakan.
"Run, kata orang kau sekarang kerja di warung mucikari kampung seberang itu ya?"
Seruni menoleh, dilihatnya Laras yang dia tahu adalah adik Bima, sedang berdiri bersama dua temannya yang lain, bersidekap di depan dada, memandangnya dengan remeh. Gosip bahwa Seruni suka dengan abangnya Laras sudah terdengar kemana-mana. Mungkin itu pula yang akhirnya membuat Laras mendekati Seruni sekarang dengan kata-kata penghinaan.
"Ya." Seruni menjawab singkat lantas mengalihkan lagi pandangannya ke depan, menatap orang yang sedang main bola dengan perasaan mulai tak nyaman.
"Wah, jadi pelac*r juga kah seperti perempuan-perempuan di sana?" tanya Laras mengejek.
Seruni menoleh lagi. "Aku hampir tak menyangka, kata-kata sehina itu keluar dari siswi terbaik di sekolah ini. Mungkin otakmu encer dan pintar, tapi hatimu kurasa perlu juga ikut disekolahkan."
Lalu Seruni beranjak, meraih tas ransel dengan Laras dan dua temannya yang ternganga. Seruni selama ini siswi pendiam, tak banyak bicara, jadi mereka pasti heran melihat perubahan Seruni yang begitu drastis dan mendadak.
"Heh! Kalau tak kerja jadi pelac*r lalu sebagai apa?!"
Seruni menghentikan langkah, lalu mendekat dan berbisik kepada Laras. "Jongosnya pelac*r!" tandas Seruni dengan kilatan berbahaya di matanya. Melihat Laras, Seruni seperti sedang melihat Bima yang memang adalah kakak dari gadis itu.
"Dengar, jangan pernah bermimpi untuk bisa dekat dengan abangku! Aku dengar dari orang-orang bahwa kau menyukai abangku! Berkaca, Seruni! Kau miskin, tak sebanding dengan keluarga kami, keluargamu carut marut, cerai berai ditambah kau juga sekarang bekerja di tempat menjijikkan itu! Jadi sadar diri! Jangan pernah berpikir bisa mendapatkan perhatian dari abangku apalagi bermimpi bisa menyentuhnya!"
Seruni mengepalkan tangan. Ia menahan geram mendengar Laras menuduhnya begitu kejam. Ia tak akan menangis di depan gadis sombong, adik dari lelaki yang sudah menghancurkan hidupnya itu.
"Kau yang dengar aku, kalau ada abangmu di sini, akan aku tikam dia tepat di depan matamu!"
"Kau!" Laras mengangkat tangan, bermaksud menampar Seruni tetapi Seruni sigap menahannya.
"Aku memang miskin, tapi siapa kau berhak menghinaku seperti itu?" tanya Seruni tajam lalu dihempaskannya tangan Laras dengan kuat.
Seruni kembali meneruskan langkah, mereka sudah jadi
tontonan orang banyak. Seruni rasanya ingin segera lulus sekolah, ia tidak mau lagi tinggal di kampung itu. Gunjingan orang kiri dan kanan kadang tak ia hiraukan tapi sekali waktu bisa bikin jengah juga.
Seandainya saja kau tahu, abangmu lah yang sudah menghancurkan hidupku!
Seruni membawa kemarahannya sampai ke luar area sekolah. Ia berjalan gontai, sesekali berhenti menapaki tanah merah hanya untuk duduk sebentar. Seruni telah bertekad akan pergi ke Jakarta selulus dia sekolah kelak. Ia berharap tidak akan pernah lagi bertemu dengan Bima. Ia akan mengadu nasib di Jakarta tanpa mempedulikan lagi kisah masa lalu yang sudah mengoyak
batinnya selama ini.
Sampai di warung remang-remang, Seruni segera berganti pakaian dan mulai membersihkan meja-meja, menyapu lantai juga membereskan pekerjaan lain.
"Run!"
Seruni menoleh, melihat mak Ute memanggilnya.
"Makan sini! Pulang sekolah bukannya langsung makan malah langsung kerja!" rutuk mak Ute.
Seruni segera mendekat, lalu mencuci tangan dan makan bersama para kupu-kupu malam dan mak Ute. Mereka tadi rupanya memanggang ayam dan ikan di belakang.
"Acara apa ini, Mak?" tanya Seruni sambil menimba nasi.
"Tak ada acara apapun, sengaja mau makan bareng di sini. "
Seruni mengangguk-angguk lalu mulai makan dengan lahap.
"Wajah kau kusut, di sekolah ada masalah?" tanya mak Ute sambil mencocol ayam panggang dengan sambal.
"Tak ada, Mak."
"Heh, biar begini, aku dulu juga punya anak. Tahulah kalau lagi ada masalah di luar, mukanya kayak kau gini," celetuk mak Ute.
Seruni menarik nafas panjang. "Mak, apa orang miskin kayak aku tak berhak bahagia?" tanya Seruni pelan.
"Ah, siapa bilang?! Mau tikus kecurut pun berhak bahagia selama dia masih hidup dan pijak bumi ini!" jawab mak Ute tegas.
Seruni tersenyum, ia setuju dengan apa yang baru saja dikatakan mak Ute.
"Mak, bentar lagi aku lulus. Aku mantap mau ke Jakarta."
"Serius rupanya kau bah! Ya sudahlah, nanti ku telepon temanku di sana ya."
Seruni tersenyum lagi, ia mengangguk lalu kembali meneruskan makannya hingga selesai. Seruni tak mau terus-terusan di kampung sebab setiap ia ke sekolah atau kemana saja, pasti ia akan melewati rumah tak berpenghuni dengan bilik bambu itu. Seruni ingin mengubur dalam kenangan menyakitkan itu dan membiarkannya tertinggal di sana selamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Nova Angel
semoga setelah dijkrt sukses
2024-05-27
0
Mur Wati
nah bener mak emang orang kaya aja yg boleh bahagia
2024-04-07
0
Mur Wati
hanya orang sombong bin songong yg bilang begitu run seperti Laras
2024-04-07
0