Sudah satu minggu semenjak kejadian Seruni menghantam kepala Tobi dengan vas bunga hingga kepala lelaki itu jadi bocor. Ia kini menjadi pelayan, mengantar minuman ke pelanggan di warung remang-remang. Di sana, dia tinggal di tempat yang sudah disediakan mak Ute, sebutan mucikari yang sudah memiliki tempat itu selama lima tahun belakangan.
"Tak sekolah kau, Run?" tanya mak Ute sambil melepas roll rambutnya hingga rambutnya yang tadi lurus bak sapu lidi sekarang sudah kriwil-kriwil.
"Libur, Mak."
"Libur apa meliburkan diri?" tanya mak Ute tajam.
"Sumpah, Mak, libur. Besok baru masuk, hari ini guru ada rapat untuk membicarakan tentang ujian sekolah."
Mak Ute menarik nafas lega. Dia sayang Runi seperti puteri sendiri, mengingatkannya pada puterinya yang mati tenggelam di laut tiga tahun yang lalu. Saat Runi datang dengan pakaian lusuh, meminta pekerjaan kepadanya, mak Ute langsung berkenan menjadikannya pelayan yang mengantar minum ke para tamu.
"Ibumu mencari sampai ke sini kemarin, tapi kau sekolah jadi tak bisalah kalian bertemu."
"Aku tak butuh lagi mereka, Mak. Aku bisa membiayai sisa sekolahku selama bekerja pada Mak."
"Ya kau katakanlah kepadanya kelak kalau datang lagi. Aku malas meladeni ibumu yang cerewet itu."
Seruni mengangguk seraya terus membersihkan meja dari puntung rokok. Malam ini pasti ramai, malam minggu malam senin selalu jadi ladang uang bagi mak Ute. Para pekerja malam mak Ute tinggal di setiap bilik di belakang warung remang-remang itu. Mereka cantik-cantik, terpaksa menjajakan tubuh karena alasan klasik: Kesulitan ekonomi.
"Mak, kalau mau ke Jakarta, apa Mak punya kenalan?" tanya Runi membuat mak Ute mendekat kepadanya.
"Mau ngapain kau ke Jakarta, Run? Jakarta itu keras, perempuan yang tak punya skill selain bergoyang di atas kasur hanya akan menjadi pel*cur. Sama saja dengan di sini."
"Siapa tahu nanti selepas lulus, aku bisa mencari pekerjaan di sana, Mak. Apa salahnya mencoba."
"Nantilah, aku coba kontek-kontek temanku di sana. Kalau ada, nanti bisalah kau meluncur ke Jakarta."
Seruni menyunggingkan senyum perlahan, ia sekarang sudah menata meja dengan taplak meja baru yang kemarin dicucinya.
"Rajin kali kau, bah! Seumur-umur hanya kau yang mau mencuci taplak-taplak meja ini."
"Selagi masih bisa dipakai, ya dipakai, Mak. Mubazir membuang sesuatu yang masih berguna."
"Ya, suka-suka kaulah. Tuh, berhentilah dulu, ada ibumu menuju kemari."
Mak Ute menunjuk ibu Seruni yang sudah mendekat. Seruni melirik malas tapi ia tetap melangkah keluar. Mak Ute mengawasi sambil menyulut rokok.
"Ada apa, Bu?" tanya Seruni mencoba untuk tetap sopan.
"Pulang kau, Run. Tak ada yang bantu ibu bekerja di rumah kalau kau tak pulang."
"Maaf, Bu, lupakan saja. Aku sudah sangat nyaman di sini. Lagipula, di rumah Ibu hanya akan membuat aku menjadi bulan-bulanan suami ibu, juga Tobi, kakak tiri keparat itu. Sekarang aku bisa biayai kehidupanku sendiri. Makan tak perlu takut-takut lagi karena selalu kau pelototi, tidur pun nyenyak tak takut bakal diperkosa anak tirimu."
Ibu Seruni memandangnya dengan pandangan tak percaya. Seruni juga bingung mengapa kini mulutnya mudah sekali mengucapkan kata-kata kasar. Semenjak ia kecewa pada Bima, semenjak itu pula, Seruni dendam pada semua yang telah menyakitinya.
"Kau benar-benar anak durhaka!" desis ibu lalu balik badan. Seruni memandang punggung ibunya sambil memejamkan mata dan menarik nafas panjang lalu kembali lagi ke dalam warung remang-remang.
"Benar kau tak mau pulang lagi, Run?" tanya mak Ute.
"Tidak, Mak. Di sini lebih baik, bersama Mak dan mbak-mbak yang lain."
"Ya, suka-suka kau lah, Run." Mak Ute berlalu dan terdengar bunyi panci yang dipentung dari arah belakang. Mak Ute pasti sedang membangunkan para pekerjanya yang kelelahan melayani pelanggan semalam.
"Ya ampun, Mak, baru pun aku tidur! Belum ada tiga jam!" Terdengar suara perempuan merutuk. Seruni tertawa mendengarnya. Ia kini mulai akrab dengan kehidupan orang-orang penghuni warung remang-remang milik mak Ute. Meski tempat ini tempat haram kata orang kebanyakan, tapi Seruni justru merasa aman. Dia sendiri tidak tahu akan sampai kapan terus berada di sana.
Ketika malam tiba, pemandangan para perempuan seksi yang berlenggak lenggok melayani para pelanggan jadi hal yang biasa. Mak Ute sendiri menjaga Seruni untuk tetap tak jauh darinya sebab ia paham, banyak lelaki nakal yang kadang meminta Seruni untuk menemani.
"Dia cuma pelayan di sini, bukan pela*ur!" Begitu perlindungan yang diberikan mak Ute setiap ada yang menanyakan tentang Seruni kepadanya.
Dan malam ini, mak Ute melihat Seruni termenung sambil menatap sebuah jam tangan yang tergenggam di tangannya lalu tak sengaja ia melihat Seruni menekan dadanya, seolah sesaknya sampai ke hati mak Ute sendiri. Mak Ute paham, ada rahasia besar dalam hidup Seruni yang sekarang rapi tersimpan dalam memorinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Efrida
anak durhaka krn ortu bu....demi dpt laki kau korbankan anak mu....ibu keparat
2023-12-08
4
Yurnita Yurnita
semoga Mak ute baik
2023-10-10
4
Triana Mustafa
untuk yang ke2 kalinya baca ini ...aku suka cerita dan karakter pemeran utama... cerita kehidupan sehari-hari
2023-09-17
1