Jiwo

Jiwo menatap cewek- cewek berseragam krem yang baru memasuki bis yang dia tumpangi.

Dia hafal betul, setiap hari Sabtu sekolah Witri berseragam krem.

Bis sedang berhenti di tempat anak- anak SMEA itu biasa menunggu.

Dia sangat berharap menemukan satu wajah yang sangat dia harapkan diantara serombongan gadis- gadis itu. Witri.

Jiwo sengaja duduk di bangku paling belakang agar bisa melihat semua siswi yang naik ke dalam bus.

Namun sampai bis kembali melaju, Jiwo tak menemukan yang dia cari.

Selalu begitu setiap hari.

Setiap bis yaang ditumpanginya berhenti di dekat sekolah Witri, hatinya selalu berdebar sekencang ini. Selalu penuh harap akan melihat wajah gadis hitam manis penghuni hatinya sejak masa kanak- kanak dulu.

Matanya tak pernah luput menatap satu demi satu wajah siswi- siswi yang asik bercengkerama di pinggir jalan untuk menunggu bis jurusan rumah mereka.

Jiwo selalu berharap ada wajah Witri di antara mereka. Namun dia tak pernah melihat wajah cinta pertamanya itu.

Kembali dia menelan kekecewaan, entah untuk yang keberapa ratus kali.

Namun kembali dia segera tersenyum kembali.

Mungkin besok dia bisa melihat Witri.

"Semoga." desisnya sangat lirih penuh harap.

Jiwo turun disaat bis berhenti di traffic light. Tinggal menyeberang ke kanan, dia sudah memasuki gang menuju rumahnya.

Setelah menyeberang jalan, sekilas di edarkannya pandangan ke arah jalan raya yang akan segera dipunggunginya.

Dan matanya terpaku pada dua gadis yang baru turun dari bis PUSKOPKAR yang berhenti di tempat bisnya tadi berhenti.

Witri!

Hatinya sangat keras dan lantang meneriakkan nama itu. Tapi nyatanya lidahnya kelu dan kakinya terasa terpaku jauh ke dalam bumi.

Harusnya dia mampu berlari menyeberangi jalan di depannya agar bisa menyapa dan menatap wajah pujaan hatinya itu lebih dekat barang sedetik.

Agar dia bisa mendengar suara cempreng dengan nada galak dari gadis itu.

Namun nyatanya dia tak juga mampu bergerak. Hanya debaran jantungnya saja yang kini begitu riuh rendah dan menghentak- hentak dadanya serupa tengah menikmati perayaaan besar.

Dia tetap hanya bisa terpaku menatap gadis hitam manis berambut sepinggang itu dari seberang jalan.

Tanpa sadar dia ikut tersenyum lebar saat dilihatnya Witri nampak tertawa bersama seorang gadis berkacamata yang memakai seragam sekolah sama dengan yang dipakai Witri.

Aku rindu kamu, Wit. Selalu rindu. Kamu bagaimana? desah batin Jiwo sambil menatap langkah Witri yang sebentar lagi akan hilang dari pandangannya karena dia akan berbelok.

"Wo, cepetan pulang. Ibumu kerepotan tadi. Adikmu yang dua panas tiba- tiba." suara Bude Narti dari depan teras rumahnya mengagetkan Jiwo.

Matanya sekejap mengerjap untuk mencari sisa bayangan Witri, namun sudah tak ada. Sosok gadis itu telah lenyap dari pandangannya.

"Inggih Bude.(Iya, Bude.)" kata Jiwo kemudian bergegas berjalan menuju rumahnya.

Kepalanya langsung terisi penuh oleh bayangan wajah letih ibunya dan rengekan dua adiknya yang sedang kurang sehat.

Kasihan sekali ibu.

Dan benar saja, belum juga Jiwo mencapai pintu rumahnya, dari teras rumah sudah di dengarnya suara rengekan dua adiknya yang berebut minta digendong oleh Ibunya.

Jiwo bergegas masuk ke rumah karena pintu depan tak ditutup.

Dilihatnya Ibunya tengah menggendong adik bungsunya di depan dan kakak si bungsu di belakang.

Jiwo meringis sedih melihat pemandangan itu.

"Sama Mas yuk Dan." kata Jiwo sambil mengulurkan tangannya pada Wildan, si kakak bungsu yang wajahnya nampak agak memerah karena panas tubuhnya.

"Ganti baju dulu sana. Makan dulu." cegah ibunya sambil menatap Jiwo yang masih berseragam lengkap dan menenteng tas sekolahnya.

"Iya. Aku bisa ganti baju sama makan sambil gendong Wildan." jawab Jiwo sudah mengambil alih Wildan dari punggung Ibunya.

Jiwo melihat Ibunya menarik nafas lega. Wajah letih malaikat tak bersayapnya itu tak bisa tertutupi sepenuhnya oleh seulas senyum di wajahnya.

"Kamu sudah minum obat?" tanya Jiwo sambil melepas kemeja seragam sekolahnya dengan sedikit susah karena Wildan ada di pangkuannya.

"Sudah di kasih bodrexin." jawab anak umur sembilan tahun itu.

Walaupun umurnya sembilan tahun, namun tubuh Wildan tergolong kecil. Dia sangat kurus.

Jiwo menyentuh dahi Wildan. Masih agak hangat.

"Adik rewel terus nggak tadi?" tanya Jiwo sambil beranjak ke meja makan dengan Wildan nemplok di punggungnya. Satu tangan Jiwo ada di bawah pan tat Wildan agar bocah itu tidak melorot dari gendongannya.

"Nangis terus. Bikin kepalaku tambah pusing." jawab Wildan dengan wajah terlihat kesal dibalik punggung kakaknya itu.

Jiwo membuka tudung saji usang di atas meja di sudut dapur dengan sebelah tangannya yang tadi sudah meraih piring di rak piring kayu buatan bapaknya yang ada di dekat pintu dapur.

Masih menu yang sama seperti pagi tadi, dan akan tetap sama untuk makan malam nanti.

Selalu seperti itu sejak dia tahu yang namanya kegiatan makan. Menu akan tetap sama dari sarapan sampai makan malam.

Jiwo menyentong nasi, sayur oseng- oseng gantung ( pepaya muda) -yang kemarin dia petik di kebun samping rumah dan sebelum subuh tadi dicacah oleh ibunya-, dan mencomot seiris tempe goreng sebagai jatah untuk lauknya.

Keadaan ekonomi yang sulit di keluarga Jiwo membuat 'jatah' makan pun secara otomatis terbentuk dengan sendirinya karena keadaan.

Jiwo memiliki delapan saudara kandung. Ya, ibunya melahirkan sembilan anak dengan bapaknya seorang yang mencari nafkah sebagai buruh bangunan.

Ibunya jelas tak bisa membantu mencari nafkah karena tiap detiknya habis untuk mengurusi anak- anak dan urusan domestik rumah tangga.

Waktu senggangnya yang hanya beberapa saat bukannya digunakan untuk istirahat, tapi dia gunakan untuk mengolah sedikit tanah kosong yang ada di samping rumah mereka untuk ditanami berbagai macam sayuran.

Walaupun tak banyak, tapi setidaknya sayuran di kebun kosong milik seorang kerabat yang tinggal di Sumatra itu sangat membantu kelangsungan hidup keluarga Jiwo.

Sayuran dari kebun itulah yang setiap hari dimasak oleh ibu Jiwo untuk makan mereka sekeluarga; Jiwo dan lima saudaranya serta kedua orangtuanya.

Kakak sulung Jiwo meninggal saat kelas lima SD karena demam berdarah. Dan kakak keduanya, Mbak Rini,sudah bekerja jauh di Kalimantan selepas lulus dari SMEA.

Kakak ketiganya, Mas Tri bekerja di sebuah pabrik tekstil di Solo. Sedang kakak keempatnya,Mas Ranu, bekerja di kota ini juga namun memilih kos di dekat tempat kerjanya dengan alasan tak ingin susah payah selalu bangun pagi hanya untuk mengejar angkutan umum.

Tanpa sadar Jiwo menghela nafas prihatin saat mengingat Mas Ranu. Saudaranya yang satu itu memang paling istimewa kelakuannya diantara semua saudaranya yang lain.

Dari kecil Ranu bisa dibilang yang paling nggak mau susah dan nggak mau tahu dengan keadaan keluarganya.

Senyum Jiwo langsung mengembang tanpa sadar saat mengingat kakak perempuannya. Mbak Rini.

Mbak Rini dulu sekolah ditempat yang sama dengan yang kini ditempati Witri.

Ah Witri lagi...Witri lagi....

"Mas,aku minta.." suara Wildan yang kini duduk di sebelahnya membuyarkan lamunan Jiwo yang sedang akan kembali melambung.

"Minta makan ini?" tanya Jiwo sambil menyodorkan piringnya.

"Boleh?" tanya Wildan takut- takut. Anak itu tahu kalau makanan itu jatah makan siang kakaknya.

"Boleh kalau kamu masih lapar." jawab Jiwo sambil tersenyum lembut.

Wildan tersenyum senang melihatnya.Lalu dengan sigap mulai melakukan aksi makan jatah maksi kakaknya yang sebenarnya belum kenyang itu.

"Kamu tadi sudah makan belum?" tanya Jiwo sambil menatap Wildan yang tengah menggigit tempe goreng dengan gigi taringnya karena gigi depannya habis.

"Udah, tapi lapar lagi." jawab Wildan di sela kunyahannya.

"Itu berarti kamu mau cepat sembuh. Nanti pasti habis makan ini terus sembuh. Besok biar bisa sekolah lagi." kata Jiwo sambil kembali tersenyum.

"Iya. Kalau nggak sekolah nggak bisa jajan." kata Wildan dengan dahi sedikit berkerut.

Jiwo tersenyum kecut mendengarnya.

Ya. Di keluarganya, uang jajan hanya diberikan untuk bekal sekolah saja. Kalau libur sekolah otomatis libur jajan.

"Kamu makan lagi, Dan?" suara Ibu dari arah pintu menyita atensi kedua anaknya.

"Makan punyanya Mas kok." jawab Wildan dengan tatapan rasa bersalah.

Ibu menatap Jiwo yang memilih pura- pura sibuk dengan tali sandal jepitnya yang barusan lepas.

"Terus kamu nggak ngambil makan lagi, Wo?" tanya Ibu sambil tetap menahan pandangannya tetap ke wajah Jiwo.

Dia tahu, anaknya itu sengaja menghindari tatapannya.

"Udah kenyang kok aku, Bu." jawab Jiwo sambil beranjak mengambil air minum di dari kendi yang ada di sudut meja untuk mengisi kekosongan ruang di lambungnya yang harusnya diisi oleh nasi yang tadi diminta adiknya.

Judulnya makan siang kali ini adalah kenyangkan dengan air. 🙊

"Tadi aku dikabari kalau dapat wesel, Bu. Dari Mas Tri. Tapi tadi baru diuruskan orang sekolahan,jadi baru besok nerima uangnya." kata Jiwo setelah meletakkan gelas air minumnya.

*Alhamdulillah...Berapa Masmu ngirimnya?" tanya Ibunya dengan wajah yang memancarkan kelegaan.

"Pas kalau buat bayar tunggakan SPP ku." jawab Jiwo sambil menatap Wildan yang sudah selesai dengan acara makan siang part duanya dan kini membawa piring kotor ke tempat cucian dipinggir sumur.

Ibu mengangguk mengerti.

Sejak naik kelas tiga lima bulan lalu, Jiwo belum pernah membayar SPP karena mengalah uang yang ada di pakai untuk membayar uang sekolah dua adik perempuannyanya yang ada di bangku SMP.

Mau tidak mau dia harus mau mengerti keadaan ekonomi keluarganya.

Dan minggu lalu adalah ketiga kalinya dia dipanggil guru BP sehubungan SPPnya yang belum juga dibayar.

Dia diperingatkan agar segera melunasi SPPnya yang menunggak sebelum ujian semester ganjil di mulai.

"Besok langsung kamu bayarkan saja buat melunasi SPP kamu, Wo." kata Ibu yang masih menggendong Pamungkas di buaiannya.

"Tapi uang SPP nya Lily kan juga belum beres, Bu..." kata Jiwo menggantung dengan hati resah.

Dia resah karena tahu SPP Lily juga nunggak dua bulan.

Kalau uang kiriman dari Mas Tri hanya pas untuk melunasi tunggakan SPPnya saja, lalu bagaimana dengan SPPnya Lily?

"Nanti Ibu cari yang buat bayar SPPnya. Lily." jawab Ibu dengan suara dan wajah yang tenang walau Jiwo bisa melihat tatapan Ibunya langsung meredup sendu.

Pasti berhutang lagi.

Baru saja minggu lalu hutang ibunya yang dipakai untuk masuk ke SMP Esti -adiknya Lily,kakaknya Wildan- lunas, Ibu harus kembali berhutang demi SPP Lily.

"Mbak Rini nggak bisa kirim uang bulan ini..." gumam Jiwo seperti pada dirinya sendiri.

Beberapa hari lalu Mbak Rini mengirim surat padanya kalau tidak bisa mengirim uang bulan ini karena dia masuk rumah sakit. Dan Jiwo sudah menceritakan itu pada Ibunya agar Ibunya bulan ini tidak berharap mendapat kiriman dari kakaknya itu.

"Nggak papa. Kakakmu saja sedang kesusahan. Sakit, sendirian di tanah orang. Kasihan." kata Ibu sambil tersenyum sedih.

Jauh di dalam hatinya bukan hanya sedih yang dia rasa, tapi rasa pilu dan nelangsa membayangkan anak perempuannya yang penurut dan sangat mengerti keadaan keluarganya itu harus menanggung sakit sendiri di tanah rantau dan tak ada satupun tangan keluarganya yang bisa membantunya sekedar untuk melayaninya mengambil makan.

Padahal kala sehatnya, semua dia lakukan untuk keluarga ini.

"Kita doakan Mbak Rini nggak sakit lagi setelah sakit yang kemarin." kata Jiwo sambil tersenyum mencoba menentramkan hati Ibunya yang dia tahu sedang menanggung pilu.

...❤️❤️❤️ b e r s a m b u n g ❤️❤️❤️...

Ada yang masih inget atau tahu mean of wesel? 😄😄😄 Kalau panjenengan tahu, berarti anda sudah masuk kategori dewasa akut 🙊😂😂😂

Terpopuler

Comments

Dira nugraha

Dira nugraha

jaman SMP aq sering dapet kiriman wesel meski bukan buat aku,tapi titipan buat bulek dari anaknya yang kerja di Jakarta.....

2022-06-08

1

Yayoek Rahayu

Yayoek Rahayu

di ambang manula.....hi...hi...hi...tp masih suka baca novel, bukan nya mangaji....haduh....ibu....ibu ..(kt anak ku)

2022-05-21

1

Yayoek Rahayu

Yayoek Rahayu

ya tau lah....sukaa dpt kiriman but byr spp juga🤭

2022-05-21

1

lihat semua
Episodes
1 Jiwo - Jawi
2 Jiwo
3 Cinta Witri
4 Cium Pipi
5 Putus
6 Tiket Pesawat
7 Ketemu
8 Pacar Sejati
9 Patah
10 Jejak
11 Takdir Jodoh
12 Gelisah
13 Kenyataan
14 Perasaan Jiwo
15 Pengakuan Mamak
16 Malam Pertama
17 Hati Hari
18 Sedikit saja
19 Ujian
20 Sikap Jiwo
21 Tempat Baru
22 Hari Pertama Di Tempat Baru
23 Sore Mereka
24 Kabar Dari Lukman
25 Awal Sambutan
26 Akan Indah
27 Opening
28 Masih Tak Tega
29 Perjalanan Hati
30 Setia Pada Masa Lalu
31 Janji Jiwo
32 Cerita Pagi
33 The Moment
34 Akhirnya...
35 Hati Jiwo
36 Melepaskan
37 Berhenti
38 Hidup Terus Berjalan
39 Keputusan Pindah
40 Cinta Jiwo
41 Keberangkatan
42 Bertemu Hari
43 Perjumpaan
44 Rumah Dinas
45 Insecure
46 Yakinkan Aku
47 Hilang
48 Permintaan absurd
49 Keputusan
50 Selesai
51 Kejutan
52 Bisa Menampar
53 Episode Hidup
54 Di Rumah Sakit
55 Kondisi Hari
56 Menuju Ruang Operasi
57 Bertemu Lagi
58 Hilang
59 Pulang
60 Kenangan Paling Manis
61 Mengantar
62 Kabar Untuk Jiwo
63 Janji
64 Cerita Untuk Witri
65 Pelukan Keluarga
66 Ada Mamak
67 Hope
68 Menuju
69 Pertemuan
70 Panggilan Mendadak
71 Janji Jiwo 2
72 Asa
73 USG
74 Dua Tempat
75 Romansa
76 Pilu
77 Ada Mas Hari
78 Penyembuh Luka Nadi
79 Bapaknya Aksa
80 Jiwo Galau
81 Mungkinkah?
82 Menjenguk Aksa
83 Sebenarnya...
84 Please Don't
85 Kenalan.
86 Ide
87 Bertemu Keluarga Kyu
88 Mendekat
89 Bertemu
90 Rencana
91 Urung
92 Jajan
93 Acara Selanjutnya
94 Doakan Saja
95 Salah Duga
96 Menikmati Pagi
97 Menahan
98 Mari Berbahagia
99 Kiss
100 Kecelakaan
101 Bagaimana
102 Bagaimana Kalau....?
103 Asa Yang Runtuh
Episodes

Updated 103 Episodes

1
Jiwo - Jawi
2
Jiwo
3
Cinta Witri
4
Cium Pipi
5
Putus
6
Tiket Pesawat
7
Ketemu
8
Pacar Sejati
9
Patah
10
Jejak
11
Takdir Jodoh
12
Gelisah
13
Kenyataan
14
Perasaan Jiwo
15
Pengakuan Mamak
16
Malam Pertama
17
Hati Hari
18
Sedikit saja
19
Ujian
20
Sikap Jiwo
21
Tempat Baru
22
Hari Pertama Di Tempat Baru
23
Sore Mereka
24
Kabar Dari Lukman
25
Awal Sambutan
26
Akan Indah
27
Opening
28
Masih Tak Tega
29
Perjalanan Hati
30
Setia Pada Masa Lalu
31
Janji Jiwo
32
Cerita Pagi
33
The Moment
34
Akhirnya...
35
Hati Jiwo
36
Melepaskan
37
Berhenti
38
Hidup Terus Berjalan
39
Keputusan Pindah
40
Cinta Jiwo
41
Keberangkatan
42
Bertemu Hari
43
Perjumpaan
44
Rumah Dinas
45
Insecure
46
Yakinkan Aku
47
Hilang
48
Permintaan absurd
49
Keputusan
50
Selesai
51
Kejutan
52
Bisa Menampar
53
Episode Hidup
54
Di Rumah Sakit
55
Kondisi Hari
56
Menuju Ruang Operasi
57
Bertemu Lagi
58
Hilang
59
Pulang
60
Kenangan Paling Manis
61
Mengantar
62
Kabar Untuk Jiwo
63
Janji
64
Cerita Untuk Witri
65
Pelukan Keluarga
66
Ada Mamak
67
Hope
68
Menuju
69
Pertemuan
70
Panggilan Mendadak
71
Janji Jiwo 2
72
Asa
73
USG
74
Dua Tempat
75
Romansa
76
Pilu
77
Ada Mas Hari
78
Penyembuh Luka Nadi
79
Bapaknya Aksa
80
Jiwo Galau
81
Mungkinkah?
82
Menjenguk Aksa
83
Sebenarnya...
84
Please Don't
85
Kenalan.
86
Ide
87
Bertemu Keluarga Kyu
88
Mendekat
89
Bertemu
90
Rencana
91
Urung
92
Jajan
93
Acara Selanjutnya
94
Doakan Saja
95
Salah Duga
96
Menikmati Pagi
97
Menahan
98
Mari Berbahagia
99
Kiss
100
Kecelakaan
101
Bagaimana
102
Bagaimana Kalau....?
103
Asa Yang Runtuh

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!