"halo cucuku sayang...hahaha...." Sapa Chua Pek Dong sambil mengayunkan tongkat mengetuk kepala Agni dari belakang ketika telah berada di alam jiwa Agni.
"Atuh..tuuhh...ttuuhhh... Sakit Eyaaang...." Rintih Agni menggosok-gosok kepalanya, sambil membalikkan badan. Chua Pek Dong telah turun dari bunga teratai emasnya dan kini telah berada di hadapan Agni, juga sebuah lorong cahaya yang berada di atas langit.
"Hahaha... Jadi mana kitab itu" tagih Chua Pek Dong.
Agni meraba di balik bajunya mencari kitab Tongkat Pemukul Anjing yang ia simpan didalamnya, namun Agni kebingungan karena tak menemukan kitab itu.
"Ta... Tadi aku simpan disini Eyang" kata Agni.
"Hahaha.... Bodohnya aku..." Kata Chua Pek Dong sambil mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri dengan tongkatnya.
"Baiklah, kujelaskan kau tentang alam jiwa"
"Alam jiwa hanya dimilikki mereka yang mempunyai satu akar roh saja. Dan alam ini adalah alam didalam kesadaran batinmu, yang terbentuk atas imajinasimu sendiri. Padang rumput dan langit ini sebenarnya engkau sendiri lah yang membuatnya" terang Chua Pek Dong.
"Benarkah Eyang, jadi aku bisa membuat sesuatu disini sekehendakku, bagaimana caranya?"
"Kau hanya perlu memikirkan sesuatu yang ingin kau buat"
Agni kemudian mencoba yang dikatakan Chua Pek Dong. Ia memikirkan sebuah rumah yang besar dengan taman yang dilengkapi sebuah kolam.
"Ting...ting...ting"
Sebuah rumah besar sesuai yang dipikirkan Agni, muncul di tempat di mana matanya memandang, dilengkapi dengan taman dan sebuah kolam.
"Luar biasa" desis Agni terkagum-kagum. Kemudian ia mencoba memikirkan sepasukan prajurit, lengkap dengan kereta kuda dan senjata perangnya.
"Ting...ting...ting..."
Ada yang aneh kali ini, hanya kereta kuda dan senjata perang saja yang muncul.
"Eyang, aku memikirkan sepasukan prajurit, tapi kenapa tidak muncul?" Tanya Agni.
"Semua benda bisa kau ciptakan di sini, kecuali manusia, iblis, dan beberapa makhluk berakal lainnya" terang Chua Pek Dong.
Agni memikirkan penjelasan Chua Pek Dong, kemudian menjadi heran justru karena kehadiran Chua Pek Dong itu sendiri.
"Kalau begitu, kenapa engkau bisa berada di alam jiwaku ini Eyang?" Tanya Agni.
"Hahaha... Aku tahu engkau akan bertanya seperti itu"
"Kau bisa memasuki alam jiwa seseorang yang memilikki pertalian darah denganmu, selama engkau memilikki kekuatan yang lebih besar dari orang yang ingin kau masuki alam jiwanya"
Agni mencoba mencerna keterangan Chua Pek Dong, sejenak kemudian ia telah memahaminya.
"Baiklah, aku mengerti eyang"
"Untuk memasuki alam ini, kau hanya perlu mengalirkan qi ke titik diantara kedua alis matamu. Sedangkan untuk keluar, lakukan hal yang sama, dan bayangkan ragamu"
"Terakhir, saat keluar masuk alam jiwa, kau bisa membawa beberapa benda dengan menyentuh dan mengalirkan qi pada benda tersebut"
Agni mendengarkan dengan seksama penjelasan Chua Pek Dong, tidak sulit bagi Agni untuk memahaminya.
"Berarti, apakah aku bisa membawa orang lain kesini eyang?"
"Bisa saja, tapi saat ini kau belum mampu, setidaknya jika kau sudah berada di tahap SoulGod, baru kau bisa melakukannya" jawab Chua Pek Dong.
"Baiklah, lekas bawa kitab itu kemari" pungkasnya.
Agni segera melakukan seperti apa yang dijelaskan Chua Pek Dong, Agni juga tak lupa membawa sesuatu yang ia temukan tersangkut di tali sepatunya ketika tenggelam di sungai.
Tak lama kemudian Agni telah kembali ke alam jiwannya.
"Eyang, apakah benar kitab ini? Hanya berisi gambar-gambar orang gundul, aku juga bisa membuatnya Eyang" lepas bicara seperti itu, Agni dibuat lari dan melompat-lompat memegang pantat sambil berteriak kesakitan karena pukulan tongkat yang melayang-layang mengejarnya.
"Gundulmu itu... Dengan kekuatanmu saat ini? Sampai jarimu putus semua juga tidak mungkin kau bisa melakukannya. Sini, biar kutunjukkan kau sesuatu"
Kitab di tangan Agni tiba-tiba saja terbang, dan berpindah ke tangan Chua Pek Dong, di ikuti dengan tongkatnya.
"Akan kuperkenalkan engkau dengan seseorang"
Kitab Tongkat Pemukul Anjing melayang di depan Chua Pek Dong, kemudian orang tua itu memukulnya dengan sangat keras.
"Buuuugghh"
"Wuuusshhh"
Keluar asap tipis berwarna hijau dari kitab itu, kemudian hal yang mengejutkan Agni, muncul seorang tua yang memakai baju coklat bercelana hitam, dengan rambut panjang yang terikat dan berwarna kemerahan sedang berteriak kesakitan.
"Dasar, bocah gila, kau menantangku bocah tua sinting"
Tiba-tiba saja orang tua berbaju coklat itu meloncat ke arah Chua Pek Dong sambil melepas ikat pinggangnya, yang dalam sekejap berubah menjadi sebuah pedang.
Rupanya Chua Pek Dong telah siap menerima serangan itu.
"Trang... Tring... Truuung..."
Kedua senjata saling beradu mengeluarkan cahaya kehijauan berpadu dengan cahaya keemasan dan mengakibatkan pancaran tenaga yang membuat Agni terpental beberapa belas langkah ke belakang.
"Hahaha.... Cuma ular sawah berani menggertak" ujar Chua Pek Dong.
"Kurang ajar, sini biar kupotong tanganmu yang gatal itu bocah sinting" balas orang tua berbaju coklat keemasan.
"Triiing...truaanng... Triingg..."
Dalam sekejap kedua orang tua itu sudah bertukar puluhan jurus, bahkan mungkin saja lebih, tapi yang nampak di mata Agni, hanya kelap-kelip sinar saja, dia sama sekali tak mampu mengikuti pertarungan dua orang tua yang kini telah melayang bertarung di udara.
"Hebat sekali..." Seru Agni terkagum-kagum.
"Sudahlah... Sudahlah... Ada yang menungguku, mau sampai ubanmu rontok juga tak akan mampu memukulku" Chua Pek Dong meminta menghentikan pertarungan.
"Enak saja, kau harus merasakan dulu tajamnya pedangku" tandas irang tua berbaju coklat.
"Trang...trung...tring..trang"
Pertarungan kembali berlanjut, kali ini dapat dipastikan, keduanya telah saling bertukar ratusan jurus.
"Baiklah ular sawah... Aku menyerah... Asal kau balas tidak lebih keras dari pukulanku tadi" ujar Chua Pek Dong.
"Hahaha... Gitu dong..." Balas orang tua berbaju coklat.
Pedang di tangannya kemudian terbang dan berputar-putar sebelum akhirnya gagang pedang itu mengetuk kepala Chua Pek Dong.
"Dduuuggghhh"
"Dasar ular gendeng" ujar Chua Pek Dong menahan sakit.
Kedua orang tua itu mendarat tidak jauh dari Agni, tiba-tiba saja keduanya terbahak-bahak, saling melangkah mendekat, kemudian melakukan permainan tos-tosan dengan kedua tangan mereka, di akhiri dengan melompat dan saling beradu pantat sembari tertawa terbahak-bahak.
"Benar-benar orang-orang tua edan, sebenarnya aku atau mereka sih yang masih anak-anak" Agni bergeleng-geleng sambil menepuk kepalanya.
"Kau lihatlah" kata Chua Pek Dong kepada orang tua berbaju coklat yang telah menyarungkan pedangnya menjadi ikat pinggang.
"Cucu bernama Mahisa Agni, memberi hormat kepada Eyang" sapa Agni sambil menangkupkan tangannya.
"Hmmmm... Bekalnya cukup bagus, tapi baru ranah Satria tahap menengah?" Kata orang tua itu.
"Hahaha.... Baru beberapa hari yang lalu tak sengaja titik dantiannya dan beberapa titik meridiannya terbuka, baru kemarin ia menyadari dantiannya, dan tadi pagi ia menerobos ke ranah Satria tahap menengah"
Orang tua berbaju coklat itu sedikit terkejut, kemudian diam sejenak sambil mengangguk-anggukan kepalanya pelan, dan tiba-tiba sana tertawa terbahak.
"Hahaha..... Bocah sinting, kau pintar juga memilih orang.... Hahaha...." Kata orang tua berbaju coklat.
"Hahaha... Aku gitu lho... Tapi tanpa bantuan orang-orang tua itu juga tak mungkin aku menemukannya" Balas Chua Pek Dong.
"Cu, perkenalkan, ular sawah ini bernama Takada Tanaga" lanjutnya.
Tiba-tiba saja Agni menggembungkan pipi dan mulutnya, setengah mati ia menahan tertawa. Nama orang tua berbaju coklat itu tak kalah anehnya dengan Eyang leluhurnya.
Sekuat-kuat bertahan, akhirnya terlepas juga tawa tertahan dari mulut Agni.
"Hahaha... Ma..maaf Eyang... Apa Eyang Takada Tanaga mau aku belikan extra joss? Hahaha...." Kata Agni dengan tawa yang makin keras.
Kedua orang tua itu saling pandang sebelum menatap Agni dengan muka dongkol mereka. Perlahan tongkat bermotif bambu milik Chua Pek Dong dan pedang Takada Tanaga melayang di hadapan mereka.
Melihat kedua senjata itu melayang, Agni tersadar mendapat ancaman.
"Adduuhh.... Mati aku" katanya dalam hati.
Kedua senjata itu terbang mendekati Agni.
"Am...ampun Eyang...Ampuuun..."
Tanpa pikir panjang, Agni segera berlari untuk menghindar, namun percuma saja, secara bergantian kedua senjata yang melayang itu memukuli pantat Agni. Namun pedang Takada Tanaga hanya memukul dengan bagian permukaan bilah, buka dengan bagian tajamnya. Dan Agni, terus berlarian sambil memegang pantat.
"Biar kau rasakan bocah tengik" ujar Chua Pek Dong.
"Pantas dia menjadi muridmu" tukas Takada Tanaga.
"Hahahaha....." Keduanya tertawa.
Sementara Agni masih berlari mengitari mereka, dan kedua senjata itu juga masih mengejarnya.
"Marilah kita bermain catur dulu, biarkan saja bocah itu tau rasa" ajak Chua Pek Dong.
"Hahaha... Jadi sudah berapa juta tahun kau belajar? Hahaha...." Takada Tanaga mengece Chua Pek Dong.
"Jangan sombong kau Ular Sawah, lihat saja, kali ini kau akan bersujud padaku" jawab Chua Pek Dong.
"Hahaha... Kau memang pandai membual" tukas Takada Tanaga.
Kemudian sebuah meja lengkap dengan papan catur beserta bidaknya, seolah keluar dari ruang hampa di tangan Chua Pek Dong. Keduanya pun memulai permainannya.
"Sialan orang-orang tua itu" kata Agni mengumpat dalam hati. Agni berniat untuk berlari mendekati kedua orang tua itu dan meloncat ke papan catur mereka. Namun setiap kali ia mencoba, ia terpental tak bisa menjangkau keduanya. Sementara kedua senjata masih terus memukulinya, yang membuatnya terpaksa terus berlari.
Setelah hampir lima belas menit, muka Chua Pek Dong kusut, sementara Takada Tanaga berlagak sombong sambil memainkan sebatang rumput di sela-sela giginya. Beberapa langkah lagi hampir bisa dipastikan Chua Pek Dong akan menelan kekalahan.
Di saat bersamaan, keadaan Agni masih belum berubah. Kemudian ia berniat untuk mengulangi usahanya melompat ke papan catur mereka.
"Ampuuun Eyaaaaannnggg..." Teriak Agni masih dalam kejaran kedua senjata, hanya beberapa langkah saja jarak Agni ke papan catur.
Takada Tanaga tak membiarkannya, ia menggerakan jarinya ke arah luar, hendak membuat penghalang agar Agni tak mengganggu permainan mereka. Namun hampir bersamaan dengan itu, Chua Pek Dong menggerakkan jarinya ke dalam untuk menggagalkan maksud Takada Tanaga.
"Bruugghhhh" dada Agni mendarat di papan catur dan membuyarkan permainan kedua orang tua itu.
"Hahaha... Kau memang pandai sekali Bocah sinting, mirip sekali dengan si kancil" kata Takada Tanaga.
"Hahaha... Yang jelas, aku belum kalah" tukas Chua Pek Dong, kemudian menarik meja dan papan catur beserta bidaknya, yang kemudian menghilang di tangannya.
"Sudahlah, lain kali kita lanjutkan, anak ini butuh diberi pelajaran" lanjut Chua Pek Dong mengalihkan kekalahannya.
"Eyang tega sekali.... Hiks....hiks..." Rintih Agni yamg telah terduduk.
"Hahaha... Sukurin" ujar Takada Tanaga.
"Baiklah Bocah Nakal, lihatlah, perhatikan baik-baik kitab yang kau bilang bisa membuatnya" kata Chua Pek Dong.
Agni segera bangkit sambil memegangi pantatnya, namun aneh, tiba-tiba saja rasa sakit di pantatnya telah menghilang.
Kitab Tongkat Pemukul kini telah melayang di hadapan Agni. Sedangkan kedua orang tua itu berada di kedua sisinya.
"Sampai jarimu rontok, urat-uratmu putus juga jangan mimpi bisa membuatnya" Kata Chua Pek Dong.
"Apa??? Dia bilang bisa membuatnya...???" Tanya Takada Tanaga terkejut. Namun kemudian ia tertawa terbahak.
"Hahahaha... Dasar bocah tak tau diri,. Sungguh pantas benar jadi muridmu wahai Bocah Sinting" pungkas Takada Tanaga.
Kemudian Tongkat Pemukul Anjing melayang didepan kitab Tongkat Pemukul Anjing. Kedua orang tua itu mengayunkan lengannya dengan dua jari yang teracung.
Sleretan sinar berwarna hijau dan berwarna keemasan, keluar dari jari kedua orang itu. Sinar itu menuju pangkal tongkat, kemudian tongkat itu bergetar. Dari ujung tongkat yang lainnya, keluar sinar berwarna hijau keemasan yang kemudian menyoroti kitab Tongkat Pemukul Anjing. Dan tiba-tiba saja kita tersebut mengeluarkan ledakan kecil di iringi munculnya asap tipis berwarna hijau keemasan pula.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Dedy Hermanto Saputra
TAKADA TANAGA = Lemes,Loyo..😆😆
2022-09-10
0
shiro
jooosss
2022-04-04
1