Pendekar Tongkat Pemukul Anjing
Ada lima benua besar yang terhampar di daratan bumi ini. Benua tengah adalah benua yang paling luas yang di kuasai oleh kekaisaran Qin. Tidak hanya luas wilayahnya saja, namun kekaisaran Qin juga memilikki kekuatan yang paling besar di antara lima benua.
Kekaisaran Britania, menguasai benua barat, Kekaisaran Taijun menguasai benua utara, kekaisaran Dai Nippon menguasai Benua timur, dan Kekaisaran Nusantara yang menguasai Benua selatan.
Kelima Kekaisaran masing-masing mempunyai bahasanya sendiri, namun lima kekaisaran telah bersepakat, bahwa bahasa indonesia menjadi bahasa pemersatu lima benua. Walaupun tidak diketahui dengan pasti siapa yang pertama kali menggunakan bahasa ini.
Jauh di ujung selatan kekaisaran Nusantara, terpisah oleh lautan yang luas, tersebutlah sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Jawa. Tidak banyak yang menghuni pulau tersebut karena selain letaknya yang jauh dari benua Nusantara, juga ukurannya yang jauh lebih kecil dari pulau-pulau lainnya. Pulau itu hanya di huni oleh ratusan ribu orang saja yang terbagi menjadi empat kelompok penduduk, sesuai arah mata angin.
Mahisa Agni, seorang anak-anak berumur 12 tahun yang lahir dari sebuah keluarga berencana di kelompok timur Pulau Jawa. Mempunyai seorang adik perempuan bernama Rara Kencana, ayahnya bernama Mahisa Pukat, dan ibunya bernama Puspandari.
Keluarga Mahisa Agni hanyalah keluarga petani biasa, derajatnya dibawah keluarga praktisi beladiri. Sehingga tak jarang keluarga petani dianggap sebelah mata saja oleh keluarga praktisi. Bahkan sering kali seorang yang berasal dari keluarga petani, menjadi bahan hinaan dari orang-orang keluarga praktisi.
"Hentikan...!!!"
Teriak Mahisa Agni tak mampu lagi menahan amarah saat Dirjo, kawannya sesama anak petani dipermainkan oleh tiga anak-anak sepantaran Agni dari keluarga praktisi.
"Hahaha.... Apa yang kau punya berani mencampuri urusan kami hahh?" Saut Ming Yu sambil mengarahkan satu pukulan ke perut Mahisa Agni.
"Bughh"
Mahisa Agni jatuh terduduk memegangi perutnya yang bagai teraduk.
"Hanya anak petani rendahan berlagak congkak" timpal Ming Tan
"Biar kau rasakan ini" Ming Hautse menambahkan satu tendangan ke muka Mahisa Agni.
"Buaaghh"
Mahisa Agni terlempar mendekati Dirjo yang telah ambruk lebih dulu dengan muka babak belur. Sementara tak ada orang lain ditengah pasar itu yang berani ikut campur mengingat keluarga Ming adalah salah satu keluarga praktisi terpandang dari kelompok timur.
"Marilah kita pergi, hanya semut berani berlagak.. cuih..." Ming Tan meludahi muka Mahisa Agni dan berlalu pergi.
Perlakuan Ming Tan yang meludahi mukanya, membuat Agni melupakan sakit di perutnya, amarahnya benar-benar tersulut hingga membara. Jika perutnya tadi serasa bagai di aduk-aduk, kini tiba-tiba saja ia merasa suatu energi berputar di perutnya dan berpusat di pusar. Tanpa pikir panjang, Agni melompat menerjang Ming Tan yang membelakanginya.
"Hiiiiaaaatttt" teriak Agni keras menggelagar.
"BAAAGGGHHH"
Satu pukulan mendarat di pundak kiri Ming Tan membuatnya tubuhnya melayang berputar-putar dan terlempar belasan langkah.
"Apa...????? Kurang ajar....!!!"
Ming Hautse yang terkejut tak percaya melihat Ming Tan mendapatkan pukulan dari Agni hingga terlempar. Ming Tan menjadi sangat murka, dengan spontan ia segera meloncat dan memberikan tendangannya kepada Agni. Sementara Agni sendiri juga terkejut dengan tindakannya, masih terengah-engah seolah kehabisan tenaga. Tak pelak, kaki Ming Hautse mendarat didadanya dan membuat roboh. Ming Yu pun tak tinggal diam, dihajarnya Agni yang sudah roboh itu.
Selanjutnya, Agni yang telah roboh, mendapat tendangan bertubi-tubi dari Ming Hautse dan Ming Yu, seluruh tubuhnya dihujani tendangan, saat sebuah tendangan mendarat di tengkuknya, Agni pun pingsan tak sadarkan diri.
_____
Perlahan Agni membuka matanya. Masih dalam posisi terbaring, Agni mengedarkan pandangannya. Hanya nampak langit yang biru cerah namun tak menyilaukan. Benar-benar biru tanpa setitikpun awan. Bahkan matahari yang seharusnya menjadi sumber cahaya juga tak terlihat di birunya langit saat itu.
Saat ia menyadari bahwa ia tengah berbaring di atas rumput, Agni merasakan kenyamanan luar biasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rumput yang menjadi alas berbaringnya, terasa begitu lembut hingga membuat Agni tak ingin bangkit dari rebahnya.
Namun setelah beberapa saat menikmati kelembutan rumput itu, Agni menyadari keadaannya dan bangkit terduduk. Sejauh mata memandang, hanya pada rumput tanpa batas hingga membentuk garis cakrawala di ujung penglihatannya.
"Dimanakah aku ini? Tempat ini nyaman sekali, bagaimana aku bisa ada disini"
Agni memejamkan mata dalam buaian angin semilir yang berhembus menerpa tubuhnya. Ingatannya bekerja menelusuri kembali apa yang terjadi sebelum ia berada di tempatnya saat ini.
Ia masih jelas mengingat bahwa ia sedang bertahan dari tendangan-tendangan Ming bersaudara.
Agni kembali membuka matanya, ia menatap sebuah titik sinar kecil yang berada sedikit di atas garis cakrawala. Semakin lama titik sinar itu semakin membesar hingga seukuran matahari. Cukup menyilaukan tapi tak sampai membuat matanya terpejam. Sinar itu semakin membesar bahkan beberapa kali lebih besar dari matahari. Kini sinar itu tampak seperti sebuah lorong cahaya ditengah langit.
Dari dalam lorong cahaya, terlihat sesuatu yang bergerak seolah hendak keluar dari lorong cahaya tersebut. Dan benar saja, seseorang yang belum jelas terlihat wujudnya, melayang keluar dari lorong cahaya kemudian perlahan turun ke bawah mendekat ke arah Agni.
Kini jelas di pandangan Agni, seorang pria tua mengenakan baju hijau putih melayang turun mendekatinya dengan berdiri di atas bunga teratai yang berwarna keemasan. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat berwana hijau tua bermotif bambu dan tangan kirinya bersilang di belakang punggung.
Disetiap ujung kain bajunya, dihiasi garis-garis berwarna keemasan. Seluruh rambutnya telah memutih, begitu pula alis matanya yang menjuntai disamping kedua pipinya. Jenggotnya lebat panjang hingga ke depan dadanya.
"Selamat datang cucuku"
Agni terkejut orang berjubah putih itu memanggilnya cucu, namun kini Agni menyadari bahwa dirinya sedang berada di dunia lain yang berbeda dengan dunia yang ia tempati sebelumnya. Entah berada dimana dia saat ini, di dunia mimpi kah, atau mungkin dia telah mati dan sekarang telah berada di nirwana, mengingat terakhir kali dia sedang menerima tendangan-tendangan Ming bersaudara.
"Cucu memberi hormat Eyang, namun sebelumnya cucu mohon maaf, apakah boleh cucu bertanya?"
"Hmmmm.... Eyang...? Boleh juga"
Kata pria tua berbaju hijau itu sambil mengangguk mengelus jenggotnya sebagai isyarat agar Agni melanjutkan kalimatnya.
"Dimanakah ini Eyang, dan siapakah Eyang ini?" Tanya Agni.
Orang tua itu membusungkan dadanya sambil tetap mengelus jenggotnya kemudian menjawab pertanyaan Agni.
"Hahaha... Engkau sedang tidak berada dimana-mana Cucuku, dan aku adalah leluhurmu generasi pertama, engkau adalah keturunanku yang ke sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan"
Kembali Agni terkejut mendengar penjelasan pria tua berbaju hijau itu. Dia tak menyangka bisa berjumpa dengan leluhurnya. Memang kabar yang ia dengar, bahwa para praktisi beladiri biasa melakukan pengolahan tenaga yang disebut kultivasi, baik itu tenaga luar, tenaga dalam, maupun tenaga mental. Dan seorang kultivator bisa pergi ke alam lain, atau menemui leluhurnya yang telah lama meninggal.
Akan tetapi, Agni sama sekali tak memahami hal tersebut, selama ini dia hidup sebagai anak petani, kisah-kisah dari ayah dan kakeknya mengatakan bahwa leluhur Mahisa Agni memang hidup sebagai petani, tak pernah sekalipun ayah atau kakeknya yang menyebutkan bahwa terdapat praktisi beladiri atau kultivator dalam garis leluhurnya.
Sehingga tak pernah ada cerita bahwa ayah atau kakeknya bisa berjumpa kembali dengan leluhurnya yang telah meninggal. Pikir Agni, kondisi yang paling memungkinkan bagi dirinya untuk bertemu dengan leluhur hanyalah ketika di dalam mimpi atau ketika orang telah mati.
Selain itu, Agni juga keheranan, dia adalah orang jawa dengan ciri fisik bangsa nusantara yang berkulit sawo matang. Namun pria yang mengaku leluhurnya itu, walau hanya terlihat dari muka dan punggung tangan karena ia mengenakan baju berlengan panjang, namun jelas memilikki kulit berwarna putih. Dan pria tua itu juga memilikki mata yang sipit, mirip ciri fisik orang Tiongkok.
"Ampun Eyang leluhur, cucu benar-benar mohon maaf. Apakah ini hanya sebuah mimpi, atau apakah cucu sudah mati hingga dapat bertemu Eyang leluhur?" Tanya Agni pada Eyang Mahisa.
"Ompan ampun moaf maaf, setel kendor saja napa sih Cu.... Apa aku nampak akan memakanmu?"
"Ampun Eyang... Maksud Cucu..."
"Bluugh" belum selesai Agni berbicara, tongkat yang dipegang pria tua itu melayang dan memukul pantat Agni.
"Aadduuuhhh.... Sakit Eyaaaang...." Keluh Agni sambil mengelus-elus pantatnya yang kesakitan.
"Hahaha... Sudah kubilang jangan ompan-ampun mulu" ujar Pria tua itu.
"Iya ..iya Eyang... Tapi Eyang, benarkah engkau leluhurku, sepertinya engkau orang keturunan Tiongkok, sedangkan aku adalah orang jawa" tanya Agni selanjutnya.
"Hahahaha.... Apakah menurutmu itu tidak mungkin?" Pria tua itu bertanya balik.
"Bagaimana kalau kakek buyutnya nya kakek buyutmu mengawini gadis jawa, trus kakeknya kakek buyutmu mengawini gadis jawa, terus ayahnya kakek buyutmu mengawini gadis jawa, trus, trus kakek buyutmu mengawini gadis jawa, terus kakekmu mengawini gadis jawa, trus...."
"Udah udah Eyang, iya aku mengerti, jangan diteruskan" potong Agni yang kemudian kembali berteriak kesakitan dan meloncat memegang pantat karena tongkat pria itu kembali memukul pantatnya.
"Dasar bocah nakal, orang tua sedang bicara main potong-potong saja" kata pria tua itu.
"Aduuuh... Sakit Kek, abisnya panjang banget sih" keluh Agni, kini ia telah memahami bukan tidak mungkin leluhurnya itu adalah orang Tiongkok.
"Kalau begitu Eyang, sebenarnya dimana ini?" Tanya Agni kemudian.
"Hahaha... Engkau sedang berada di alam jiwamu Cu" jawab Pria tua itu.
"Apa Eyang, alam jiwa???" Agni terkejut.
"Iya... Kenapa... Kaget?"
"Bukan begitu Eyang, Aku pikir hanya kultivator yang bisa memasuki alam, lainnya, sedangkan aku hanya seorang anak petani" lanjut Agni.
"Hahaha, mau anak petani, mau anak bangsawan, mau raja dan kaisar sekalipun, semuanya sama saja Cucuku. Mempunyai tubuh yang sama, modal yang sama"
"Benarkah Eyang?"
"Aku tanya kau Cu, apa yang kau makan? Nasi kan? Apa kau pikir mereka makan besi? Hahaha...."
"Tapi bukankah mereka memang bisa makan besi Eyang" tanya Agni.
"Hahaha... Kau benar, tapi setelah menaikkan ilmunya, dan kaupun juga bisa jika kau mau berlatih"
"Berlatih, bisakah Eyang, aku mau Eyang... Aku mau..." Teriak Agni bersemangat.
"Hahaha... Persiapkan dirimu, kau akan menemukan kitab beladiri terkuat dan terbaik sepanjang masa. Hahaha....."
"Kitab beladiri?"
"Hahaha... Sudahlah, aku mau pergi dulu, kau belajarlah dengan tekun dengan kitab yang akan kau temukan itu, aku nanti akan menemanimu. Hahaha..." pungkas pria tua itu sembari terus tertawa dan mulai bergerak melayang di atas bunga teratai emasnya.
"Tunggu Eyang, engkau belum menyebutkan namamu" ujar Agni.
"Namaku, Chua Pek Dong"
"Siapa Eyang, capek dong? Apa mau aku pijat?" Kata Agni sambil menahan tawa yang membuat kedua pipinya mengembung.
Namun hanya sesaat, karena tongkat pria tua yang bernama Chua Pek Dong itu, telah melayang dan memukuli pantat Agni, sementara Chua Pek Dong terus melayang kembali ke lorong Cahaya yang masih berada di langit itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Dedy Hermanto Saputra
jadi lah perkumpulan kakek kakek..
2022-09-10
0
Dedy Hermanto Saputra
jangan kasih kendor,tariiik sis...😜😜
2022-09-10
0
凹凸不平衡
skip ...benua
2022-08-06
0