—4—
Gemercik air layaknya melodi sumbang dari biola berkarat. Dentuman baskom kayu yang bocor, air yang berwarna kemerahan oleh darah, dan pula kedua tanganku yang tak henti-hentinya menggosokkan diri menjadi pemain orkestra sumbang di kamar mandi.
Aku berusaha menghilangkan noda darah dari tanganku, tetapi berkali-kali kulihat tanganku, noda itu seakan tak pernah menghilang. Hingga gosokan lembut berubah menjadi cakaran jemari…
Kekh…! Nyeri tajam menyelimuti tanganku, tetapi tidak sehebat palu yang terus menghantam kepalaku itu. Tiap kali gemercik air itu memekakkan telingaku, begitu pula suara-suara di kepalaku berputar terus menerus, layaknya fonograf yang rusak.
“Anak ini adalah harta karunku, Bulan. Aku berharap kamu pun merasakan yang sama”
Suara seorang wanita berdenging di telingaku meskipun telah aku berusaha menutupinya dengan suara gemercik air dan juga nyeri di tangan. Tetapi percuma, suara itu semakin keras dan semakin keras hingga aku menutup telingaku dengan erat dan mengerang sekeras-kerasnya.
“Bulan, bila aku pergi suatu hari nanti, apakah kamu mau menjaga Arthur?”
“Maaf, maaf maaf-maafkan aku!! Maafkan aku!!” teriakku.
Tetapi suara itu tak mengenal kata ampun. Ia melingkari kepalaku, mengerumuniku sehingga aku tak dapat lari. Ingatan dari masa lalu pun bermunculan satu persatu, mendesak kewarasanku hingga diujung tanduk. Mataku kemudian terbuka dan dari air tenang di baskom itu, aku dapat melihat wajahku yang tak karuan perlahan berubah menjadi sosok anak kecil yang menatapku dengan penuh kekecewaan,
“Kenapa Auntie pergi?”
Kutendang langsung baskom itu, hingga aku terpleset dan menyantuk kepalaku di dinding. Tetapi suara itu tak kunjung hilang, sama seperti usahaku sebelumnya. Tanganku gemetar meronggoh sakuku, mengambil sebuah bungkus kertas. Dengan tergopoh-gopoh, aku membuka kertas itu, dan menghirup seluruh serbuk kristal hijau di dalamnya. Emerald Dust, namanya, sebuah senjata yang kuciptakan untuk menghipnotis seorang pembohong paling ulung pun menjadi teler dan berkata jujur.
Perlahan suara itu pun menghilang, namun begitu pula kekuatanku. Aku menyandarkan diri di dinding kamar mandi itu, melihat ke arah bunga lentera biru tak jauh dariku.
Hingga kapan aku akan hidup seperti ini?
Tersiksa oleh masa lalu, ketakutan akan masa depan, dan tidak terkait di masa kini... Selama ini tubuhku hanya mengambang di sungai gelap kehidupan tanpa arah, menunggu muara akhir yang akan menelanku.
Kugelengkan kepalaku dan menepuk pipiku dengan keras. Tidak, bulan. Kamu tidak boleh melupakan tujuanmu!
Setelah kekuatanku kembali, perlahan kubangkit berdiri. Melangkah dengan berat, kuseret tubuhku ke kamar. Di mulut pintunya, aku bersandar memperhatikan sang malaikat yang kini berbaring tak sadarkan diri di tempat tidurku. Luciel dengan telatennya mengoleskan salep obat dan melingkupi tubuh laki-laki itu dengan perban.
“Waah, asisten kecilku ini benar-benar telaten ya. Haruskah aku menulis surat rekomendasi agar kamu bisa bersekolah kedokteran di Edinburgh? Mumpung aku adalah sang Penyihir Putih dari Pei Jin,” kataku yang duduk di samping Luciel.
“Hih, Dame nih. Udah bangunin orang tengah malam, nyuruh nyelamatin orang ini dengan peralatan seadanya, daripada surat rekom, aku lebih butuh permintaan maafmu,” jawab Luciel ketus sembari membalut luka laki-laki itu.
U-Ugh, sudah kuduga, gadis kecil itu lagi bad mood. Luciel paling tidak suka aku mengganggu tidurnya.
“Iya, iya, maaf, Luciel,” kataku bergidik ngeri.
Diam-diam aku melirik Arthur dengan lega, melihatnya berhasil melewati masa kritis. Sungguh, Luciel takkan pernah tahu betapa aku berterima kasih padanya telah menyelamatkan laki-laki ini.
Apa yang akan dia katakan jika tahu aku gagal melindungi anaknya?
Tiba-tiba kata-kata Luciel memecahkan lamunanku, “Mata gioknya yang cantik, rambut putih keemasannya yang halus dan hidungnya yang mancung tanggung. Kenapa orang ini mirip sekali dengan Dame? Apa jangan-jangan Dame punya anak haram yang tidak Luciel tahu?” lanjutnya.
Tertawa kecil diriku, “Ngawur… Aku pun bingung kenapa dia bisa mirip dengan kami,” kataku yang ingin mengelus rambut anak itu tetapi segera kucegah tangan itu, “Anak ini bernama Arthur Arpeggio Noctis, keberanian untuk mencapai langit malam. Dia adalah harta karun Kakak kembarku.”
Melonjak kaget Luciel, “K-Kembaran? A-Aku baru tahu Dame punya saudara kembar. Apakah dia se-nyebelin Dame yang suka ninggalin pekerjaan ke pelayannya?”
“A-Araraa, aku tidak ada apa-apanya dengan Kakakku,” kataku menggaruk leherku canggung, “Tapi… aku sudah tak dapat lagi melihat Kakak,” lanjutku.
Luciel berhenti sejenak dan menghirup nafas dalam, mencoba mencerna kata-kataku. Aku memang tak banyak menceritakan tentang diriku pada anak itu, tetapi Luciel berusaha memahaminya. Meskipun rasa penasaran pasti mengusik hatinya, dia dengan dewasa menerima bahwa ada hal yang tak dapat kuceritakan padanya.
“Tapi Dame, kenapa… kamu tak tampak senang melihat Arthur?” tanya Luciel.
O-Oh, tajam juga mata Luciel. Memang seorang pedagang harus memiliki mata yang tajam untuk menilai calon pembeli atau partner bisnisnya—itu yang kuajarkan pada Luciel. Tapi, benar juga pertanyaannya.
Harusnya seseorang akan senang sekali melihat keluarganya selamat bukan? Tapi yang kurasakan hanya dingin penyesalan. Melihat Arthur tumbuh penuh dengan luka-luka ini… membuatku menyesal meninggalkannya tujuh tahun yang lalu.
“Aku memang dari dulu seperti ini Luciel. Aku tak memiliki kehangatan bernama cinta, dan karenanya, aku tak dapat memberikan kehangatan itu pada orang lain,” kataku yang melirik dibalik jendela, terang pohon Yggdrasil yang tumbuh menjulang di tengah kota.
Tangan Luciel berhenti bergerak saat dia bertanya, “Apakah Dame jujur dengan diri sendiri saat mengatakan itu?”
Aku mengangguk, “Ya. Cinta, kasih sayang, kehangatan, kebaikan, semua tidak memiliki makna apapun dalam hidupku. Aku tak bisa merasakannya,” jawabku jujur.
“Kalau begitu, untuk apa Dame tetap hidup?”
Aku tertawa masam, “Hidup? … Hmm, pertanyaan yang bagus. Kalau kamu sendiri? Apa yang mendorongmu untuk hidup setiap harinya, Homunculus-ku?”
Luciel mengikatkan perbannya, “Kalau Luciel sih percaya, kita tak bisa memberikan apa yang kita tak miliki. Aku tak mungkin bisa menolong orang lain jika tak memiliki kekuatan untuk melakukannya,” katanya yang memotong perban itu dan mengecek ujung-ujung jari Artie,
“Karena itu, Luciel ingin menjadi orang yang lebih kuat lagi tiap harinya. Berharap suatu hari kekuatan ini bisa Luciel gunakan untuk melindungi orang yang Luciel sayangi.”
Tertegun diriku. Ternyata dibalik sifatnya yang cengeng, Luciel memiliki prinsip hidup yang sangat keras. Benar juga, meskipun ia adalah sebuah boneka ciptaanku, kemampuannya untuk berpikir dan merasakan memungkinkan Luciel untuk melepaskan diri dari tuannya. Dia telah menjadi gadis yang berbeda dariku… yang selalu berharap seseorang akan membebaskanku dari hidup ini.
“Terus, siapakah orang itu?” tanyaku.
“Rahasia.”
Dengan gemas aku pun mengacak-acak rambut Homunculusku itu, “Uwaaah, homunculusku satu ini udah dewasa banget ya. Udah main rahasia-rahasiaan, gemeesss!”
“I-Iiih, apaan sih? Kayak aku ini masih kecil aja,” kata Luciel yang tersipu-sipu malu.
“Hihihi, memang kamu masih tujuh tahun kan? Yaa, meskipun di desain seusia limabelas,” candaku yang kemudian menepuk pundak gadis itu,
“Dah, bobo sana. Besok akan jadi hari yang panjang untukmu, soalnya aku harus pergi lagi,” lanjutku.
“E-Eh? Kemana lagi Dame?”
“Biasa, bisnis. Paling siang aku udah pulang kok.”
Luciel memicingkan matanya, “Ih, pasti mau kabur dari kerjaan lagi kan? Dasar nyebelin,” katanya yang kemudian berdiri dan membereskan peralatan medisnya, “Oh ya, ngomong-ngomong, bocah ini jadinya mau kita apakan Dame?”
Aku mengelus daguku, “Hmm, seorang cowok akan sangat berguna di toko ini. Dia bisa memperbaiki atap kita yang bocor dan melakukan berbagai kerjaan kasar,” kataku.
“Tapi kan kita tak punya kamar lagi,” tegur Luciel.
“Ah, untuk cowok mah gudang sementara cukup,” kataku.
Luciel tertawa cekikikan, “Astaga, Dame, padahal keponakan sendiri, kok gitu amat,” katanya yang kemudian mengangkat tas medisnya, “Kalau begitu, besok Luciel akan menyiapkan gudang dan tempat tidur untuknya,” lanjut gadis itu yang kemudian pamit kembali ke kamarnya.
Astaga, tanpa Luciel bakal jadi apa hidupku? Dia sangat bisa diandalkan, sampai-sampai aku bisa manja dihadapannya. Sungguh, sejak aku menciptakan Luciel hidupku terasa lebih ringan.
Kurebahkan kepalaku di samping Arthur. Kata-kata Luciel terputar kembali di pikiranku.
Untuk apa aku hidup? Aku tersenyum. Itu pertanyaan yang konyol untukku. Sebab arti hidupku telah menghilang saat sinar Mentari pergi dari dunia ini… Yang tersisa hanyalah obsesi yang menuntun jalannya kakiku.
“Kekuatan untuk melindungi…?” gumamku tersenyum mengingat kepolosan Luciel.
Bila saja aku sekuat Luciel dahulu, apakah aku bisa melindungi Mentari dari takdirnya?
Rasa lelah terlalu menguasai mataku... pikiranku semakin pudar rasanya.
Mataku terasa berat sekali dan tanpa kusadari…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Vancomycin
Wah, Luciel belajar kedokteran dari mana tuh?
2022-09-19
7