2. Teman-temanku.

Nai datang mengejutkanku. Tepukan tangannya di bahu berhasil menyadarkanku dari lamunan. Tawa renyah Nai berderai melihatku kaget.

"Nai bikin kaget aja. Mau copot jantungku. Kalau aku mati gimana, ada nama lain loh yang menangis."

"Kamunya sih pakai termenung. Heleh, heeleeh... siapa yang nangisi kamu?"Palingan cuma keluargamu. Ada nama lain?"

"Ada. Kamu pasti tangisi aku, Boni akan mencariku dan menangis karena kehilanganku. Nggak ada yang ambilkan dia makan lagi." Boni adalah kucing kesayanganku.

"Aku kira seseorang spesial yang menangisimu. Eh Cha ke kantin yuk, nanti aku traktir."

"Aku malas mau ke kantin. Kamu tahu sendiri kan. Ogah dengar ocehan mereka." Aku jarang ke kantin karena biasanya bertemu dengan Arin Squad di sana dan aku akan menjadi boneka yang sedang mereka mainkan di depan teman-teman. Tidak enak jadi pusat perhatian tapi dari segi kekurangan diri. Arin Squad. Arin Squad. Mereka terlalu sempurna hingga bisa sombong begitu. Aku nggak ada apa-apa dibanding mereka.

"Keseringan bertemu mereka di sana, aku jadi malas jajan di kantin. Kamu kan tahu sendiri Nai."

"Iya...iya tapi kalau ada aku jangan takut. Aku akan membelamu dan mulai sekarang kamu jangan diam saja jika mereka mengejekmu. Kamu balas Icha." Membalas saja tidak akan cukup. Keesokan hari mereka akan melakukan hal yang sama. Percuma bukan?

Meskipun begitu aku menjawab, "Baik ndoro (sebutan untuk majikan). Belikan dulu yang segar-segar. Kamu beli aja deh, bawa ke sini ya."

"Kumat manjanya. Baiklah tuan Puteri, hamba belikan. Tuan Putri berkenan apa?" Nai bersandiwara. Aku terkekeh melihat aksi Nai.

"Hahahaha...Nai, Nai. Aku memerlukan es buah. Aku tunggu di sini Nai. Nai keburu habis ntar. Cepetan."

"Icha sabar. Aku bawakan satu gentong es buah biar kamu puas."

"Ya sudah cepetan."

Nai berjalan menjauh ke depan. Aku duduk di samping dua orang teman.

"Icha kamu bisa jawab semua soal-soal tadi?" Ria bertanya padaku. Teman yang sekarang duduk tepat disebelahku.

"Bisa Ri makanya aku tadi cepat keluar," jawabku.

"Aku kurang menjawab dua soal lagi dan waktunya keburu habis."

Mataku tertuju pada Nai di depan sana sedang berbicara dengan seorang siswa laki-laki. Aku kenal siapa dia. Dia adalah anak kos depan rumah kami. Elang yang suka beli makanan di warung mama tapi walaupun sering beli makanan aku dan Elang jarang bertemu dan bertegur sapa karena aku tidak sering membantu mama. Aku lebih senang mengisi waktu dengan melukis atau membuat sketsa. Kira-kira apa ya yang dibicarakan Nai dengan Elang. Nai mengangguk dan tersenyum kemudian pergi. Nai lanjut ke kantin.

Elang berjalan berlawanan arah dengan Nai. Elang melangkah ke arah kami yang sedang duduk tapi pasti ia tak bermaksud mendekati kami. Mataku tak lepas dari Elang. Tuhan sungguh sempurna makhluk ciptaanmu ini. Masih remaja tapi ganteng habis. Cuek dan istilah kami itu cool sekali. Elang tak merasa risih banyak mata yang mengaguminya. Terus saja melangkah ke arah di mana aku dan temanku duduk. Sesekali senyum Elang merekah membalas sapaan dari teman-teman lain yang berpapasan dengannya. Cakep bener deh kalau dia tersenyum. Tuhan ganteng sekali. Senyum Elang hilang dan kembali terlihat cuek berjalan di antara taman-taman lain yang sedang berdiri. Dia berhenti di depan Mading ( Majalah Dinding ). Memperhatikan dan membaca. Itu adalah salah satu ekskul yang dipimpin Elang.

Ups tiba-tiba Elang berbalik ke arah kami lagi. Melihat lurus ke depan tepat ke arah kami yang sedang duduk memperhatikan dia. Tatapan kami bertemu satu sama lain. Oh aku gugup. Wah aku ketangkap basah memperhatikannya Aku tidak sanggup melihat tatapan Elang lagi. Aku malu. Aku memalingkan wajah. Sebisa mungkin berlaku seolah tak terjadi apa-apa. Seolah aku tak memperhatikan Elang. Duh ini jantung bertalu-talu seperti gendang di dalam dada. Dug, dug, dug. Mengapa bisa begitu? Tenanglah Icha. Baru dapat tatapan semenit sudah gede rasa. Sadar Icha, kamu itu makhluk biasa, nggak ada istimewanya. Ya betul kata hatiku. Jangan GR ( Gede Rasa ). Aku menunduk dan memainkan gawaiku.

Tidak lama Nai datang bawa sebungkus es buah dan diberikan kepadaku.

"Tuan Puteri ini esnya, dihabiskan ya. Lumayan antri." Nai mengelap wajah dengan tisu.

"Ramai ya Nai. Duh kamu pasti berjejalan dengan anak-anak lain. Keringatan gitu."

"Nggak, nggak berjejalan cuma empet-empetan saja. Kan demi kamu, aku bela-belain nyerobot antrian."

"Hore Nai hebat. Makasih ya beb, kamu baik hati." kataku sambil tersenyum.

"Lain kali nih ya , gantian aku mau lihat kamu berjuang beli es buah, bisa nggak." kata Nai. Penjual es buah menyediakan dua orang pelayan untuk melayani siswa-siswa pembeli. Satu orang pelayan tak cukup.

"Bisa dong." Aku mengangkat sebelah tanganku tanda semangat.

"Bagus. Harus bisa."

"Oh ya ngomong apa sih serius amat sama si Elang?" Tanyaku.

"Itu...nggak ada apa-apa sih cuma nanya aja, aku ikut enggak seleksi MSN."

"Oh aku kira kalian janjian apaan gitu. Pacaran mungkin, siapa tahu kan."

"Ketinggian Icha kalau aku pacaran sama Elang. Dia banyak peminatnya termasuk Arin. Aku harus berhadapan sama Arin?"

"Katanya cinta itu tak memandang status Nai, kemungkinan bisa terjadi."

"Tapi tidak seperti itu dan kamu orang pertama yang tahu kalau aku punya pacar nanti. Saat ini nggak sama Elang."

"Oye...juga aku orang pertama yang kalian traktir kan?"

"Itu betul tapi bukan Elang kayaknya, Cha.

"Iya juga nggak apa-apa kok Nai."

"Bukan! Hahaha tidak berani sama anak sengetop itu, paling keren satu sekolah ini. Buat kamu aja deh Cha."

"Iih apalagi aku, nggak mungkin Nai. Dia tidak mungkin mau sama aku. Nggak cocok lagi."

"Cinta itu soal perasaan Icha. Dijalani baru tahu cocok atau nggak. Pe-de-ka-te gitu Cha."

"Ho oh pintar, tapi itu nggak mungkin sama aku. Mimpi kali iya. Mana mungkin aku masuk hitungan si Elang."

"Oh pernah mimpi sama Elang ya? Nah...nah kamu ketahuan." Nai menirukan irama sebuah lagu.

"Nai siapa bilang?! Tak pernah mimpi sama Elang." Padahal aku bohong. Tiga bulan lalu, aku mimpi duduk di ayunan di taman yang bagus dan ada Elang di sebelahku. Seperti cerita Cinderella yang pernah ku tonton, Elang menyukaiku. Sebatas mimpi.

Suara bel berbunyi panjang. Kami saling berpandangan. Bel panjang tanda waktu pelajaran usai. Hari ini bel berbunyi lebih cepat dari biasanya. Kami dipulangkan lebih awal. Mungkin ada suatu hal yang akan dilakukan guru-guru semisal rapat.

"Pulang?!! Hore!!" Gerombolan anak lelaki bersorak serentak. Kesempatan begini jarang ada.

"Pulang Cha. Asyik....habiskan dulu es buahnya," ucap Nai.

"Oke-oke aku minum. Dihabiskan nih es buahnya." Aku menyeruput melalui pipet, " Huuumm segar." Kulihat Nai tertawa senang.

"Icha! Icha!" Panggilan Hesti dari jauh. Dia menghampiri kami. Dia teman satu ekskul seni melukis denganku. Kami berhenti menunggu Hesti.

"Apa Hesti? Jalan saja, lari bisa jatuh loh," aku mengingatkan.

"Makasih Icha. Pak Widodo bilang hari ini ke sekolah, latihan buat persiapan lomba dua Minggu lagi." Hesti bicara sambil mengatur nafas.

"Baiklah Hesti. Perlengkapan melukisku habis, aku harus beli dulu. Oke deh Hesti, terimakasih ya infonya." Ada juga teman yang baik seperti Hesti. Tidak suka mengejek.

"Sama-sama Icha. Jumpa lagi nanti sore ya. Aku jalan dulu ya Cha. Yuuuk Nai."

"Ya Hesti, hati-hati ya."

Lalu aku minta tolong pada Nai, "Kamu mau nggak antar aku ke toko buku. Aku mencari alat lukis."

"Mau Cha. Ngapain juga di rumah pulang secepet ini. Kita minta ijin dulu sama mama."

"Iya Nai."

Mama memberikan izin. Aku dan Nai mengambil tas kami di kelas. Sebagian teman sudah pulang. Tujuh orang bersiap pulang.

Delia pamit pulang, "Icha, Nai, aku pulang ya. Daaaa!"

"Daaaa Delia! Jumpa lagi besok ya."

Delia sudah keluar kelas. Kami pun berjalan keluar kelas. Enak sekali rasanya pulang cepat.

"Kata mama boleh pergi tapi nggak boleh lama. Gimana Nai?"

"Gitu deh orang tua. Ikuti saja."

"Sebentar juga enggak apa-apa kok, cuma cari alat lukis."

"Lama juga nggak apa Icha. Tadinya aku mau ajak kamu main ke rumahku. Di rumah cuma ada bibi tapi nggak apa-apa deh, lain hari saja."

Aku dan Nai tiba di tempat parkir motor. Nai mengeluarkan motor. Nai selalu membawa motor setiap hari. Jarak rumahnya dengan sekolah cuma satu kilometer. Dekat bukan?

"Ada si ganteng. Tuh lihat, ckck tak kuat alisnya Cha." Aku mengikuti pandangan kagum Nai. Elang sedang mengeluarkan motor dari barisan motor.

"Hidungnya." Lanjutku, " Mau disampaikan salamnya?"

"Kamu berani? Coba deh ngomong sama Elang. Aku mau lihat, kamu grogi nggak," kata Nai.

"Hiihiii ampun Nai, jangan suruh itu. Suruh aku yang lain saja ya."

"Lah katanya mau sampaikan salam. Gini..aku kenalin mau ya?"

"Nai, aku dan Elang satu ekskul di Mading. Jadi kami saling kenal." Aku menggeleng.

"Heleh paling asal tahu nama saja kan?"

"Ya, benar sekali." Walaupun satu ekskul aku dan Elang hampir tak pernah bertegur sapa. Dia hanya memberikan arahan tema Mading yang harus kami selesai.

Nai mulai menstarter motor tapi sebuah suara menahan kami. Arin Squad. Arin, Iyun, Idel dan Arni.

"Akh mengapa aku berhenti?" Tanya Nai nggak butuh jawabanku.

"Hei kalian tunggu! Sudah mau pulang aja. Buntelan." Kata terkhir dari mulut Arin tertuju untukku.

"Mana buntelan, mana?" Aku berlagak bego.

"Nggak sadar body mu kayak buntelan?"

"Namaku Kalisha bukan buntelan. Catat. Katakan kenapa kalian menggangguku? Apa salahku?"

"Makanya jangan berpenampilan kuno. Jadi cewek modis dikit dong," kata Arin.

"Suka-suka aku mau pakai apa. Aku tidak menyusahkan kalian."

"Risih aja lihatnya." Iyun menambahkan.

"Dasar kalian reseh. Lihat penampilan orang kok kalian yang ribut. Suka-suka Kalisha mau punya penampilan kayak apa." Nai membela.

"Manusia purba." Idel tak ketinggalan. Mereka jahat ya. Mulut mereka menusuk hati.

"Aku tidak meminta uang kalian atau merepotkan kalian jadi jangan urus semua tentang diriku. Mau pakai apa terserah akunya."

"Ada apa ramai gini? Kalian kelahi ya?"

Si ganteng Elang sudah berdiri di antara kami. Ribut-ribut ini menarik perhatiannya. Segelintir teman yang lewat atau mengambil motor tak ketinggalan menonton kami.

"Bukan apa-apa. Kami mau pulang dan mereka mengejekku." Keadaan membuatku berbicara.

"Kalian ini anak SMA kelakuan anak TK. Masih suka ejek mengejek. Kalian pulang dan bubar atau aku panggil guru BP," ucap Elang tegas.

"Mereka ya bukan bercanda tapi menyakiti hati. Coba kalian diejek terus-terusan, kalian terima? Nggak kan?" Nai bicara lagi.

"Kami nggak mungkin diejek. Kami selalu kekinian."

"Huuuhh kalian tuh ya sebaiknya update sopan santun." Nai lagi.

"Nai kita mau pergi. Ayo." Aku menarik tangan Nai mengajak pergi, "Buang-buang waktu melayani mereka.Huuuuhhh!" Aku menghentakkan kaki di depan mereka. Kesal.

"Berani kalian!" Arin teriak.

"Anak-anak, kalian belum pulang? Ada apa ini, berkumpul di sini? Waktunya pulang, sana pulang semua." Guru BP memberi teguran. Bagi beliau jam sekolah usai anak-anak harus segera pulang ke rumah kecuali masih ada hal untuk kepentingan sekolah seperti latihan. Latihan apa saja, musik, menyanyi, diklat, dan lain-lain.

"Tidak ada apa Bu. Baik Bu." Elang menjawab guru BP.

"Icha sampai ketemu nanti sore ya. Siapkan ide terbaikmu!" Itu suara Hesti lagi. Dia duduk di atas motor Wan.

"Iya Hesti. Jumpa lagi!" Aku melambai padanya.

"Pokoknya kamu datang. Aku bawa jajanan!" Seru Hesti lagi.

"Siiiip!" Aku mengacungkan jempol.

"Wah...wah enak sekali, mau ekskul atau piknik. Bawa-bawa makanan." Nai melajukan motor. Kami berdua sudah berada di jalanan depan sekolah.

"Kedua-duanya sekalian Nai. Asyik kan? Capek mukis ya makan, capek makan ganti melukis," kataku.

"Cha, si Elang di belakang kita tuh. Jangan menoleh, ntar dikira kita rumpiin dia."

"Memang kenyataan ngomongin dia. Aku lambai nih ya. Terus aku bilang Elang dapat salam dari Nai."

"Icha! Ngarang deh. Coba kalau berani, aku turunin kamu di sini." tantang Nai.

Wooo aku berpikir lagi untuk itu. Aku bilang, "Icha sedang berpikir, haha."

"Nggak yakin aku tuh. Lihat Elang aja kamu curi-curi pandang apalagi ngomong, huuu..gagu jadinya. Iya kan Cha."

"Hahaha kok betul sih." Walaupun Nai suka nyeplos bicara, Nai selalu benar maka aku tidak pernah marah sama Nai dan lagi Nai hanya bercanda. Kami biasa bergurau.

"Dia akan melewati kita," kata Nai. Nai melihat dari spion.

"Icha! Nai! Hati-hati!" Teriak Elang ketika lewat di sebelah kami.

"Oke! Kamu juga. Eh dia hafal nama kamu juga Cha." Nai menjawab Elang. Motor Elang melaju lebih kencang.

"Cha, mau kemana dia? Tinggalnya kan di dekat rumah kamu Cha."

"Mana kutahu. Jalan-jalan 'kali atau ketemu pacarnya. Namanya juga anak muda."

Kami belum tiba di toko buku yang ingin datangi. Toko buku paling lengkap. Letaknya agak jauh dari rumah.

"Aku tak yakin dia punya pacar Cha. Segitu cueknya. Cha...apa dia normal ya?"

"Maksudmu Nai? Heeh jangan berprasangka jelek Nai."

"Kamu nggak perhatikan gimana dia melihat cewek? Kayak nggak tertarik gitu kan? Jangan-jangan dia...hiiiiih."

"Apa sih Nai? Nggak baik mengira-ngira keburukan orang."

"Iya tuan Puteri. Kita mau sampai nih."

Kami turun dari motor setelah parkir. Tidak banyak kendaraan parkir di depan toko buku. Kami saling berpandangan saat melihat motor Elang juga berada di parkiran itu.

**Mohon dukungannya readers. Terima kasih.🌷

Terpopuler

Comments

R.F

R.F

2 like hadie. semangaf kak. lije balik iya

2022-11-03

1

Ghiie-nae

Ghiie-nae

amazing....👍👍👍

Salam dari Pengantin yang Tertukar

2022-10-08

2

ɳσҽɾ

ɳσҽɾ

Semangat ya, sukses selalu ♥️

2022-10-02

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!