3. Keluargaku.

Dugaan kami salah, ternyata Elang pergi ke toko buku yang kami tuju. Dia lebih dulu tiba. Wajar saja tadi dia melajukan motornya lebih cepat dari kami. Nggak sangka bakal ketemu si ganteng Elang di sini. Mata Elang itu tajam. Matanya bisa membuat luluh orang yang menatap. Tak berani menatapnya lama-lama. Di tangan Elang ada dua buku yang dipegang.

"Elang pintar tapi nggak jago melukis kayak kamu." Aku meringis mendengar ucapan Nai.

"Aku pandai melukis tapi nggak pintar kayak Elang."

"Cha kita lihat buku-buku dulu yuk. Mau pulang baru cari alat lukis di sini." Ajak Nai.

"Ayolah. Kamu cari buku apa? Buku resep memasak atau menghilangkan rasa penasaran dengan Elang? Haha...."

"Tahu saja. Kita lihat-lihat, mana tahu ada buku bagus."

Kami naik tangga. Koleksi buku-buku berada di lantai dua sedangkan peralatan menulis di lantai satu. Nai mengamati dan membaca buku yang ia pegang. Aku meneliti kumpulan novel-novel dari yang tipis hingga yang tebal.

Akhirnya aku dan Nai berdiri lama di deretan novel-novel dalam rak itu setelah puas mengitari semua deretan buku yang di pajang hingga pada suatu titik aku dan Nai melihat orang sedang bicara berdua. Elang sedang pacaran dengan seseorang cewek. Isi otakku mengatakan demikian. Usia si cewek sama dengan kami.

"Apa ku bilang? Benar kan dia ketemu ceweknya. Cantiknya lumayan tapi kayaknya lebih cantik aku deh wkwk."

"Astaga Icha puji diri sendiri namanya. Biar aja deh ketemu pacarnya tapi masa iya janjian di toko buku. Janjian itu di kafe, di taman atau di mana aja yang tempatnya lebih indah."

"Daripada nggak ada yang puji, puji diri sendiri aja. Namanya Elang si anak pintar ya identik dengan buku. Pegangannya buku," alasanku.

"Tuh ceweknya udah pulang Cha. Kamu nggak kenal dia banget kan? Kenalan dengan dia ya."

Aku mau melanjutkan kata-kata tapi Nai keburu memanggil Elang. Panggilan Nai kuat Mirip suara toa. Aku sering kaget kalau Nai teriak.

"Elang! Elang kamu di sini juga!" Nai memanggil Elang.

"Eh Nai! Iya nih, cari buku. Kamu sendiri?

"Aku sama sahabatku Icha. Kamu beli buku ya? Icha sini!" Panggil Nai.

Ya iya dong Nai, ini kan toko buku dan alat tulis. Beli buku di sini, bukan beli sayuran.

Mau tak mau aku mendatangi mereka berdua. Lumayan bisa lihat ganteng dari dekat. Beginilah kalau fans. Hanya fans. Mana bisa berharap lebih. Itu tak mungkin. Cukup mengagumi dan itupun dari jauh.

"Ini Icha, kalian sudah saling kenal kan?"

Pertanyaan yang bodoh Nai tapi bisa jadi Elang tak hafal namaku. Aku tak masuk dalam daftar siswa ngetop di sekolah.

"Icha aktif di majalalah dinding juga jadi aku tahu. Hai Icha," sapa Elang padaku. Aku berikan senyum.

Oh ternyata Elang tahu aku eksis di ekskul majalah dinding. Dia memang pemimpin yang baik, ingat sama anak buah.

"Halo Elang," balasku.

"Senang sekali jumpa kalian . Kalian berdua beli apa?"

"Aku beli novel. Icha beli alat lukis," sambung Nai.

"Icha bisa melukis kenapa nggak ikut ekskul seni lukis?" Tanya Elang.

"Icha ikut seni lukis kok Lang. Sebentar lagi ada perlombaan. Mereka siap-siap latihan."

"Oh gitu. Di situ ada Alam juga. Aku suka lukisan si Alam. Dia langganan juara ya. Semoga kalian menang ya.

"Terima kasih Elang."

"Sama-sama."

Elang saja menyukai lukisan si Alam temenku satu ekskul di seni lukis bukan lukisanku. Alam langganan juara. Aku selalu di urutan bawah setelah Alam.

"Aku sudah dapat buku yang kucari. Aku duluan pulang ya karena dari tadi," kata Elang.

"Oiya Elang. Kami masih cari alat tulis. Oke deh Lang sampai jumpa, sampai ketemu lagi. Ngomong-ngomong ehm tadi pacar kamu ya?" Aku menyenggol lengan Nai dengan gaya tubuh dimiringkan sedikit. Apaan sih Nai tanya cewek yang barusan bicara sama Elang. Mulutku terasa berat untuk banyak bicara di depan Elang. Sepertinya terkunci.

"Oh itu bukan. Dia temanku. Sudah ya, aku pulang duluan." Elang pamit.

"Iya Elang. Hati-hati ya." Aku dan Nai serentak.

Aku dan Nai senyum berdua. Kami pun turun ke lantai bawah untuk mencari keperluanku. Setelah ketemu kami membayar di kasir dan pulang ke rumah.

...\=\=\=...

Mama sedang melayani pembeli di warung. Warung makanan ini adalah usaha mama menjual makanan matang. Ukurannya tidak terlalu besar. Hanya ada satu bangku dan meja panjang. Mama menjual makanan dari pagi hingga siang. Langganan mama anak-anak kos sekitar tempat tinggal kami. Ada juga teman-teman sekolah yang kadang mampir sepulang sekolah tapi tidak banyak.

Bruuuuuk.

Aku meletakkan tas sekolah di kursi. Kusandarkan punggung. Mama belum merespon kedatanganku karena pembeli masih ada.

"Kamu sudah pulang nak. Cuci tangan sana dan makanlah." Sekarang mama di sampingku. Sudah tidak meladeni pembeli lagi.

"Iya ma. Mama ambilkan ya mah."

"Loh kok diambilkan sih. Ambil sendiri sayang, sudah SMA masa diambilkan makannya."

"Ya sudah kalau gitu nanti aja ma. Belum lapar juga ma."

"Hmmmm bukannya kamu pulang sekolah jam dua siang Cha?" Tanya mama.

"Icha pamit ke toko buku tadi. Hari ini cepat pulang. Icha dan Nai ke toko buku dulu cari perlengkapan lukis. Icha telepon mama, mama lupa ya."

"Oh iya ya Cha. Mama ini sudah tua Icha, banyak lupa."

"Belum tua ma, belum punya cucu."

Mama dibantu Mbak Min di warung, masak dan mencuci perlengkapan memasak. Mama tidak memaksa aku dan Elin untuk membantu mama. Mama hanya mau aku dan Elin fokus sama sekolah kami.

Warung makan mama menjadi langganan anak-anak yang tinggal di sekitar rumah.Mereka ada yang bekerja dan ada yang masih sekolah kadang-kadang Aku melihat orang yang beli masakan mama. aku hanya melihat mereka yang membeli dari dalam rumah. Pernah kulihat Elang beli makan siang di warung mama

"Eh mbak Icha sudah pulang. Makan mbak Icha." Mbak Min menegur. Membawa makanan matang di tangan.

"Mbak Min... panggil aku Icha, jangan pakai "mbak". Mbak Min lebih tua daripada aku," kataku.

"Hehehe baik Mbak Icha eh Icha."

"Mbak Min kayak tante aku, jadi gimana aku panggilnya tante ya?"

"Nggak usah mbak Icha. Ndak cocok buat mbak Min. Mbak aja panggilnya. Mbak Min datangnya dari daerah terpencil."

"Lah nggak ada hubungannya mbak Min. Mbak itu panggilan sifatnya umum. Mau dari mana asal usulnya boleh dipanggil mbak. Mbak Min sudah makan belum?"

"Iya, iya bu guru. Mbak Icha cocok loh jadi guru."

"Ah nggak mau ya. Cita-citanya bukan itu. Nah panggil aku mbak lagi ya."

"Sudah biasa sih mbak Icha," alasan mbak Min

"Assalamualaikum. IBu... beli!" Ada yang datang membeli makanan.

"Ada yang beli tuh Mbak Min."

"Betul mbak Icha."

Mbak Min melayani pembeli sebab ibu masuk ke rumah. Aku berdiri dan mendekat ke mbak Min.

"Mbak Min, aku ke dalam ya."

Saat itulah aku tahu bahwa yang beli adalah Elang. Elang tersenyum padaku dan aku membalasnya kikuk. Grogi mendadak datang. Tidak menyangka kalau itu adalah Elang si anak ganteng lagi ngetop

Di dalam rumah Elin sedang duduk di sofa. Di tangan Elin memegang sebuah buku. Mulutnya bergerak-gerak tanda sedang menghafal.

"Pulang sekolah ceria ya non bukan cemberut gitu. Enak kan sekolah ketemu temen-temen," sapa Elin.

"Enak kalau kawan-kawannya nggak reseh. Kayak julid," kataku.

"Diejek lagi? Nggak apa toh biar kuat mental."

"Nyakitin hati. Kak ntar sore bangunin ya, aku mau latihan. Do'akan ya aku menang."

"Oh lomba lagi? Kamu kan selalu menang. Aku yakin kamu menang lagi."

"Memang sih tapi bukan juara satu. Do'akan dong biar juara satu. Biar ikut bangga punya adik nggak malu-maluin sekali. Aku mau ke sekolah nih, sore ini mau latihan, bangunin aku ya kak."

"Belajar bangun sendiri ya, dibangunkan terus. Kapan mandirinya?" Elin menolak permintaanku.

"Kak, tolongin aku. Aku takut nanti nggak kebangun. Aku mau tidur nih, ngantuk. Ya kak ya?" Aku pujuk Elin.

"Sebentar lagi aku mau pergi Icha, pesan sama mama aja biar mama bangunkan."

"Ya udah, ya udah." Aku pergi dari situ. Elin menolak kerjasama.

Mataku berat badanku lemas. Kantuk berat menyerang. Aku menghempaskan tubuh di atas tempat tidur.

Rasanya belum lama aku tidur namun namaku serasa dipanggil. Ku buka mata dan mama sudah berdiri di depanku.

"Mama berisik iiih."

"Katanya mau ke sekolah Icha. Ini sudah jam empat." Ucapan mama bikin kaget

"Apa mah? Jam empat? Walaaan terlambat nih." Aku melompat dan mengambil pakaianku di gantungan.

"Mama sudah bangunin kamu jam setengah empat, dan kamu tidur lagi. Molor lagi. Gitu kan kebiasaanmu?"

"Iya Mama Icha ngantuk. Icha pergi ya ma." Pergi setelah menyisir dan mengikat rambut jadi satu.

"Iya hati-hati," kata mama.

Teman-temanku sudah ada di ruangan kelas mengikuti latihan melukis dari Pak Widodo. Aku masuk memberikan salam hormat pada Pak Widodo.

"Sore Pak. Maaf Pak saya terlambat." Kataku tak enak hati.

"Ya sudah lanjutkan.Pilih salah satu tema dan kreasikan ide kamu, "suruh Pak Widodo.

"Baik Pak." Terucap syukur dalam hati, tak diomeli pak Widodo.

Pak Widodo jalan berkeliling memberikan pengarahan kepada satu persatu teman-teman. Bagian mana yang perlu ditambahkan dan apa yang tidak perlu dituangkan ke atas kanvas.

Sampai di sampingku pak Widodo bertanya, "Kamu pilih tema apa Icha?"

Aku jawab, "Saya pilih tema manusia dan lingkungan Pak."

Pak Widodo lanjut bicara, "Anak-anak ini kisi-kisi yang saya dapat. Pada hari H nanti kalian bisa memilih salah satu tema yang ditawarkan. Nah jika ada yang sama dengan tema yang saya berikan ini kalian tinggal mengerjakan dengan lebih baik lagi."

Berpacu dengan waktu. Tugas itu harus selesai hari itu juga. Semuanya mengerjakan dengan serius termasuk aku. Di ujung latihan kami semua duduk santai sambil berbincang. Hesti yang berjanji bawa makanan benar-benar menepati janji. Dia membawa sempol ayam.

"Wah enak ini Hesti. Kamu beli atau bikin?" Tanyaku. Mengambil satu Sempol ayam.

"Beli Icha, aku tak pandai bikin."

"Teman-teman kemari semua. Makan sempol. Silahkan ambil ya." Hesti menawarkan ke teman-teman. Mereka datang mencicipi Sempol yang Hesti bawa.

"Enak nggak Cha?"

"Enak Hesti. Enak sekali, aku lagi ya."

"Ambil Icha."

Aku mengambil satu lagi Sempol. Kata Hesti, "Makan aja Icha, jangan sampai sisa. Harus habis dan aku tak mau bawa pulang lagi." Senang sekali dengar kata-kata Hesti.

"Mantap sempolnya Hes. Gemuk-gemuk lagi."

Alam yang melihatku, menyela, "Kamu jangan kebanyakan makan ini Cha."

"Kenapa Lam? Biar kamu aja yang makan kan, ya kan Lam?"

"Hehehe kamu nggak usah makan sempol lagi Icha, badanmu sudah kayak Sempol."

"Diiiih Alam. Gemuk ya gemuk, Sempol ya Sempol. Makan tetap jalan. Memangnya orang gemuk nggak boleh makan sempol?"

"Hahahah nggak boleh ntar habis. Bercanda Cha bercanda." Alam menyebalkan.

"Jangan takut aku masih ingat kalian. Nah makan nih sempolnya." Aku pura-pura marah. Alam cengar-cengir.

"Siapa yang cepat dia dapat. Malu-malu lapar sendiri. Siapa pun yang makan, aku seneng aja yang penting jajanan yang kubawa habis."

"Tenang aja Hesti ini, semua pasti habis sama kami," tambah Alam.

"Bagus...bagus. Gitu dong. Jadi semangat bawa lagi." Hesti memang baik. Nggak kayak Arin.

"Lain kali bawa lagi ya hes tuh Alam ketagihan."

"Untuk kalian apa sih yang nggak, hahaa."

"Aku atau kamu?" Tanya Alam.

Kami tergelak bersamaan. Kami membereskan perlengkapan saat jam menunjukkan pukul tujuh belas. Waktunya pulang ke rumah

Lalalala lililiii.

Aku bersenandung kecil memasuki halaman rumah. Tidak seperti tadi siang banyak orang membeli di warung mama, sore ini sudah kelihatan sudah sepi sama sekali. Warung sudah ditutup. Aku masuk rumah lewat pintu belakang.

Mama lagi apa? Aku menyapa mama di dapur. Lampu dapur sudah menyala karena hari sudah menjelang magrib.

"Sudah pulang Icha? Mama menyiapkan untuk besok." Tangan mama bergerak melakukan sesuatu. Potongan sayur dalam wadah diletakkan di kulkas.

"Mama nggak capek ya setiap hari masak, berjualan, setiap hari kerja cari uang?" Kerupuk yang digoreng mama kuambil sedikit. Nongkrong sebentar sebelum mandi.

"Mama malah senang seperti ini. Mama sudah biasa. Pergi mandi Cha, sudah malam loh."

"Tuh kamar mandinya dipakai. Siapa yang mandi ma?"

"Papa sudah mandi dari tadi. Itu kakakmu."

"Kak Elin cepatan mandinya. Aku mau mandi nih," seruku.

"Icha suaranya...," tegur mama

Terdengar suara bergumam dari dalam kamar mandi. Cuma ada satu kamar mandi dipakai bersama di rumahku. Rumah kami hanya tipe sederhana. Tidak semua kamar memiliki kamar mandi masing-masing. Aku pernah mendengar dari kak Elin kalau. Papa sebenarnya mempunyai hak istimewa dalam keluarga tetapi papa tidak memanfaatkan hal itu. Sesuatu hal telah terjadi sehingga papa memilih untuk bekerja sendiri. Memiliki ru mah hasil jerih payahnya sendiri tanpa bantuan orang tua papa.

Aku mendengar cerita Elin saat masih duduk di kelas satu SMA dan Elin kuliah tingkat tiga. Malam itu Elin bercerita, kata Mama nenek adalah wanita yang baik hati, sangat baik hati tapi tidak sama dengan kakek. Seperti kami, Papa adalah dua bersaudara adik beradik. Papa mempunyai kakak yang tidak tinggal satu kota dengan kami. Saudara paling dekat dengan kami adalah sepupu papa yang tinggal di kota ini. Orang tua dan kakak dari papa berada di luar kota ini. Dari Elin juga aku dengar keluarga papa bukan keluarga biasa. Belum banyak pertanyaan yang kutanyakan pada Elin karena aku tak terlalu memikirkan cerita Elin malam itu.

Papa belum mau mengajak kami untuk bertemu kakek dan nenek. Kami pernah diajak ke rumah kakek dan nenek ketika masih SD. Kadang-kadang Aku ingin mengetahui wajah kakek dan nenek dan liburan di rumah mereka tapi rasa itu harus kutahan. Aku tidak berani meminta kepada papa. Ketika aku mengucapkan kata kakek saja wajah papa langsung berubah. Mama pernah bilang suatu waktu aku dan Elin akan sampai di tempat nenek tapi mama belum bisa mengajak kami ke sana sekarang.

Aku masih asyik berdua mama di dapur. Papa datang lalu bertanya pada mama,"Ma kopi Papa mana?"

"Oh ada Pa. Itu di atas meja. Icha bisa berikan kopi pada papa nak?" Mama menyuruhku.

"Bisa sekali ma. Ini Pa, kopinya letak di mana?"

"Bawa ke depan Icha." Aku mengikuti papa ke depan membawa kopi Papa ke ruang keluarga.

"Ini pa, cemilannya belum ada. Sebentar Icha ambilkan ya."

"Ya bagus Icha. Anak Papa gimana sekolahmu? Ada masalah?"

"Nggak ada masalah Pa. Lancar aja kok," jawabku. Aku tidak perlu menceritakan keadaanku di sekolah. Bagaimana sikap teman-teman padaku cukup kusimpan sendiri.

"Ya harus begitu. Tahun depan kamu kelas tiga. Siap-siap ya, jangan kendor belajarnya." Nasehat papa.

"Oke pa Ica siap."

"Kamu belum mandi kan. Sudah, mandi sana. Pantas bau."

"Aaah papa. Icha mau ke belakang. Mandi."

"Mandi yang bersih."

"Heehehe siap Pak bos," kataku sambil melenggang ke dapur.

"Mandi Icha, kamar mandi sudah kosong."

Mama menyuruh lagi. Semua orang perhatian sekali padaku ya sampai penampilanku yang jelek juga jadi perhatian. Itu di sekolah sih. Hiihiii.

"Sana mandi Icha. Kamu selalu terakhir. Kapan nomor satunya?" Elin lagi.

"Pasti aku terakhir , kan aku baru datang kak. jangan remehkan adikmu ini." Aku menepuk dada.

"Buktikan dong." Elin usil.

"Apa yang harus kubuktikan? Kalau nomor satu di akademik nggak mugkinlah kak. Palingan aku nomor lima," ucapku. Aku tidak sepintar Elin.

"Naikkan jadi juara satu. Bonus Papa menunggu loh," tambah Elin.

"Ciiieee yang suka dapat bonus dari papa. Mama, Icha minta bonus mama aja. Papa gitu kan ma. Nggak adil ya, Kak Elin dikasih bonus aku nggak." Aku pasang wajah cemberut.

"Mama nggak percaya papa nggak pernah kasih bonus karena prestasi kalian. Coba ingat apa yang sudah papa berikan padamu. Jam tangan itu hadiah juga, papa itu adil kok sayang."

"Jadikan juara satu. Lihat saja nanti. Buktikan, buktikan..oh oh buktikan," Elin nyanyi, belum puas mengganggu.

"Ma kak Elin tuh."

"Elin jangan ganggu adikmu terus."

"Hiiiii dingin. Pakai baju ah." Elin ngacir ke dalam kamar. Aku masuk ke kamar mandi sesudah mengambil handuk. Menyiram air di seluruh tubuh. Kepala terasa dingin. Gerah sudah hilang dan tubuh rasa segar.

"Cepat Icha, sebentar lagi beduk loh ya," mama mengingatkan.

"Uuuh segar." Aku keluar. Mandiku selesai.

Meja makan seperti biasa menjadi tempat kami berkumpul di kala malam. Mama menyiapkan makan malam dibantu Mbak Min. Papa sudah siap sedia di sana. Aaww wajah papa tetap ganteng meskipun anaknya sudah besar-besar. Pasti papa mudanya lebih tampan.

"Icha...apa yang ada dipikiranmu?" Papa mengamati mukaku. Aku tersentak.

"Aaaa nggak pa...cuma lihat papa aja."

"Eehmm papa curiga kamu memikirkan pacar kamu."

"Apa?? Bukan itu Papa. Papa salah besar. Bisanya menyangka begitu." Aku cemberut. Papa tergelak.

"Papa salah ya. Ma'afkan papa."

"Icha belum punya pacar pa." Elin ikut bicara.

"Papa kira sudah ada. Kok kalah sama mama. Mama seusiamu sudah punya pacar loh tapi yah...gitu."

"Papa...buka rahasia ya." Mama menggeleng-gelengkan kepala ditambah senyum.

"Icha bukan mama, Pa. Icha jelek, Icha gendut. Muka Icha bulat. Nggak ada cowok yang naksir Icha."

"Tetap menarik kok." Hibur Papa.

"Itu kata papa!"

"Semua perempuan punya daya tarik sendiri, Icha. Papa percaya suatu hari kamu mendapatkan pacar setia dan lebih segalanya dari Papa. Jadi belum punya pacar nih?"

"Belum. Itu kak Elin, Pa!" Seruku.

"Eheemm...kapan makannya kalau ngomong terus?" Mama mulai mengambil piring papa.

"Yap sekarang Ma. Papa sudah lapar kok," kata papa.

"Sekolah kalian baik-baik saja?"

"Iya Pa," jawabku dan Elin serentak.

"Tahun depan Icha naik kelas tiga. Nggak sangka," kataku.

"Lalu Icha mau kuliah di mana nanti? Apa pilihanmu?" Papa memang lebih banyak tanya padaku daripada Elin karena aku anak bungsunya masih remaja. Tak sama dengan Elin yang tahun depan selesai pendidikan tingginya.

"Icha pengen jadi desainer aja deh. Boleh kan Pa?"

"Itu juga bagus. Papa setuju saja dan lagi Icha memang suka coret-coret di kertas dari kecil ya kan Ma?" Mama membalas ucapan papa dengan anggukan.

"Lanjutkan usaha kalian. Semoga cita-cita kalian tercapai semuanya. Sebenarnya papa ingin kalian bisa sekolah lebih dari papa tapi...ma'afkan papa kalau sebatas ini."

"Aamiin. Terima kasih Pa sudah bikin kami semangat. Papa jangan ngomong gitu dong...." Elin menanggapi papa.

"Pa tambah lauknya ya." Mama menyendokkan lauk buat papa.

"Mama, Icha belum makan guramenya. Mama...." Aku senewen.

"Kak Elin habis satu, papa hampir dua dan Icha belum rasa."

"Kamu mau juga? Mama sangka kamu nggak mau sayang, biasanya kamu menolak. Masih ada kok di lemari makan." Mama mengambilkanku ikan gurame goreng yummy. Bagiku saat ini mama adalah malaikat.

"Kenapa mesti diambilkan mama, biar aja diambil sendiri," Elin nyeletuk.

"Kakak bilang aja iri heehh!" Aku melotot.

"Aku nggak iri. Aku kan sudah dapat. Nih sudah mau habis. Nah kamu makan sendiri ya, yang lain udah bubar."

"Kak Elin!! Maaaa...."

"Hiihiiihiii anak SMA kok merengek sih." Elin iseng terus menggangguku. Dikiranya aku adiknya kemarin sore. Lihatlah tubuhku saja sudah lebih besar dari dia.

"Elin, papa mau bicara terkait skripsi. Di depan televisi ya."

Aku bersorak dalam hati. Akhirnya terlepas dari keisengan Elin menggodaku. Pembicaraan akan lebih berat jika dibawa ke ruang televisi. Papa lebih senang mengobrol hal serius di sana dengan volume televisi yang kecil.

...**Mohon dukungannya readers. Terima kasih.🌷...

Terpopuler

Comments

Embun Kesiangan

Embun Kesiangan

lope2 kakak author, hiks... bun berasa jd icha disini😢semangat for up💪🙏⚘

2022-10-08

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!