Sejak perceraian terjadi tidak sekalipun Farell menemui putra mereka, Emilia tidak peduli, Biarlah, mungkin masih begitu adanya, batin Emilia. Namun, seorang anak tidak pernah mengetahui prahara yang sedang terjadi di kehidupan papa dan mamanya, "Ma, mengapa papa tidak pernah datang? Aku sangat rindu kepadanya?" tanya Keano suatu sore.
"Papa, sedang sibuk bekerja! Nanti juga dia akan kemari menemui Keano," balas Emilia berusaha tersenyum, ia tahu jauh di dalam hatinya ia pun menangis, rasanya ia tak sanggup untuk itu.
"Papa Putri, selalu datang menjemputnya di sekolah. Mengapa Mama tidak menjemputku?" tanya Keano mulai protes, "papa dan Mama selalu saja, sibuk! Aku benci kalian!" Keano berlari ke kamar.
Ya, Allah! Apa yang harus aku lakukan? batin Emilia bingung, ia menyusul Keano ke kamar, "Keano, sayang! Besok Mama janji akan jemput Keano," ujar Emilia membelai lembut rambut putranya berharap putranya tidak lagi marah, ia mulai merasa jika Keano mulai memiliki kebiasaan baru yaitu suka merajuk. Emilia melihat Keano sudah mulai memeluk bantal menangis.
"Janji?!"
"Iya, janji!" balas Emilia tersenyum.
"Keano, sayang sama Mama!" balasnya tersenyum dan langsung memeluk Emilia dan berlari ke luar kembali bermain mobil-mobilan, "Dasar, anak-anak!" batin Emilia.
Ekonomi semakin sulit dan mengerikan, membuat Emilia harus banting tulang memikirkan banyak hal, ia tidak tahu harus bekerja apalagi, Apa yang harus aku lakukan? batin Emilia semakin kacau.
"Emilia! Emilia!" teriak Bu Aida.
"Ada apa, Bu? Kamu mau, ikut kami mengambil sapu lidi? Lumayan, lo!" ucapnya.
"Baiklah!" tanpa pikir panjang Emilia langsung mengikut saja ke mana ibu-ibu tersebut pergi. Mereka pergi ke perkebunan mengambil sapu lidi dan membawanya pulang. Setelah dari toko setiap pagi, sore hari ia akan pergi ke ladang dan malam hari ia menyisik lidi. Tubuhnya penuh dengan luka dan gatal-gatal akibat miang yang mengerikan.
Emilia mulai menjalani semuanya dengan tekun dan tanpa lelah, sejak berpisah ia tidak memiliki sepeser uang pun, semua tabungannya sudah ludes begitu pun perhiasannya hanya untuk membangun sebuah rumah dan rumah itu menjadi milik mantan suaminya, Harta bisa dicari kebahagiaan yang sulit, batin Emilia.
"Apakah kau menyesal telah berpisah dari Farell?" tanya Bu Aida melihat Emilia begitu mengenaskan.
"Tidak!" balas Emilia.
"Bagaimana bisa kau tidak menyesalinya?" tanya Sekar.
"Aku tidak tahu, tapi aku memang tidak menyesalinya. Mungkin jodohnya telah habis," balas Emilia. Dia sendiri bingung jika ditanya demikian, aku memang tidak menyesalinya, yang aku sesali mengapa aku begitu bodohnya! Saat uangku masih ada dan aku begitu saja menuruti apa katanya, batin Emilia.
Hari-hari berlalu dan waktu tidak bisa memberikan sedetik pun untuk Emilia bernapas, "Keano, temani Mama pergi mengambil lidi!" ajak Emilia ia ingin putranya mengenal kehidupan ini.
"Baik, Mama!" ujarnya riang ia merasa semua itu bagaikan sebuah piknik, Emilia membawa banyak makanan. Ia tidak pernah menginjakkan kaki di perkebunan lain selain milik orang tuanya, "Bu, boleh aku ambil lidi ini?" tanya Emilia kepada salah seorang wanita yang tidak lain adalah sesama pencari lidi dan suaminya kebetulan pekerja di perkebunan tersebut, "Yang ini, jangan! Ke sana, saja!" usir wanita itu dengan ketus.
Emilia menyingkir, "Jangan, di sini! Pergi! Ke sana saja!" teriak wanita lain, sakit rasa di hati Emilia ia tidak menyangka begitu kejamnya mereka. Namun, Emilia tetap berjalan bermodalkan sebilah parang.
"Keano, duduklah di sepeda motor itu. Jangan ke mana-mana! Mama akan mengumpul pelepah dulu," ujar Emilia.
"Baik, Ma!" balas Keano memakan cemilan dan duduk melihat mamanya yang sedang mengambil helaian lidi. Saat pelepah sawit terkumpul Emilia tidak menyangka sepasukan sapi mendatangi mereka, "Mama!" teriak Keano menangis ia tidak pernah berdekatan dengan seekor sapi.
"Sssttt, Diamlah, Sayang. Mama ada di sini," hibur Emilia memeluk putranya, sementara kawanan lembu langsung memakan dengan lahap semua helaian daun yang berada di pelepah sawit.
"Hush! Hush!" Emilia berusaha untuk mengusirnya.
"Ini, wilayah kami menggembala, Mbak! Jadi maklum saja!" teriak si pengembala tanpa mau tahu dan tidak mengusir semua sapinya.
Emilia hanya mampu menatap apa yang dilakukan semua sapi tersebut, "Mama, sapinya nakal sekali! Padahal, Mama sudah capek-capek menyeretnya dari sana. Aku akan melemparnya," teriak Keano.
"Tidak usah, Sayang! Biarlah, mungkin itu rezekinya," ucap Emilia. Ia tidak ingin hanya karena setumpuk pelepah sawit, ia dan putranya akan menjadi korban kekejaman si pengembala sapi yang tidak ia kenal.
Duar! Duar! Duar!
Petir mulai menyambar mengerikan di angkasa, hujan deras membasahi bumi tanpa adanya aba-aba apa pun. Angin kencang meliuk-liukkan pohon, Emilia hanya mampu memeluk putranya bersembunyi dan bertudungkan secarik kain untuk menggendong putranya kala Keano tertidur.
Keduanya basah kuyup dan saling berpelukan, Betapa, bodohnya aku! Mengapa aku menyia-nyiakan kehidupanku dan putraku? Aku masih cantik dan aku masih muda, selain itu aku punya keahlian dan aku punya toko, mengapa aku bodoh? Bila hanya sepuluh ribu aku masih bisa dapat tanpa harus terhina dan mengerikan di sini, batin Emilia, menatap sunyinya perkebunan tanpa siapa pun. Semua pengembala sudah berjalan pulang, hanya tinggal Emilia dan putranya,
aku hanya menghukum diriku karena sebuah perceraian? Kesalahan bukan saja terletak kepadaku bukan? batin Emilia mulai marah dan menyesali tindakannya, bukan hanya aku saja yang bercerai di dunia ini! Mengapa aku menjadi, bodoh? Jika semua ini adalah ketentuan Yang Maha Kuasa, mengapa aku harus takut? Allah selalu bersamaku, batin Emilia semakin menggebu.
Jika Farel melintasi perkebunan ini, atau orang melaporkan padanya betapa hancurnya kehidupanku saat berpisah dengannya, betapa dia akan bertepuk tangan bahagia! batin Emilia semakin membara, ia marah akan kebodohannya, aku mengenal watak Farel yang mengerikan. Jika ia sudah membenci seseorang, ia akan menghancurkannya perlahan-lahan, batin Emilia.
Ia sudah tidak mempedulikan petir dan hujan serta angin menghempas tubuh, ia hanya memeluk putra semata wayang miliknya yang menggigil kedinginan di dekapan, dengan kedua belah tangan Emilia berharap ia mampu menyelamatkan putra yang dimiliki titipan Tuhan setelah sekian lama ia dapatkan di dalam penantian dan doa.
"Mama, Keano takut!" lirih Keano.
"Mama juga takut!" jujur Emilia, ia tidak ingin lagi menjanjikan kekosongan kepada putranya, Dunia ini kejam, buat apa berpura-pura selalu baik-baik saja. Jika segalanya tidak pernah baik-baik! batin Emilia, "sebentar lagi, kita pulang! Jika hujannya reda, angin masih terlalu kencang!" ujar Emilia menatap pohon-pohon sawit yang meliuk-liuk bagaikan ular.
"Mengerikan sekali, Ma!" lirih Keano mengintip dari balik dekapan Emilia.
"Iya, apakah Keano masih ingat lagu, 'Tik-tik bunyi hujan'? Mama lupa," Emilia berusaha untuk mengalihkan semua ketakutan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Mega
haissss,,, baru nyadar kl km bodoh ya,,, pernikahan itu jg ada komitmen,walau pun km perempuan km punya hak yg sama,jd dr awal sblm pernikahan harus saling terbuka dan jujur,begini jdnya kl cmn modalnya cinta doang,jd bodoh,,,
2023-03-22
0
Win
😭😭😭😭
2022-03-16
0
DEBU KAKI
next
2022-03-14
1