Kafe

"Apa kamu bahagia nak?" Ummi bertanya dengan hati-hati di ujung telepon sana.

Lela menahan harunya.

"Alhamdulillah Ummi. Berkat doa Ummi dan Almarhum Abah. Kali ini Lela mendapatkan suami yang sangat baik sekali."

"Aku sangat beruntung Ummi, suamiku sangatlah baik padaku."

"Alhamdulillah Nak. Ummi sangat senang mendengarnya." Ummi tentu saja sangat bahagia. Hampir saja dia menangis bahagia ketika mendengar perkataan sang putri yang dirasanya jujur dan apa adanya.

Keduanya lalu berbincang, saling bertukar kabar dan cerita.

Setelah beberapa saat perbincangan mereka-pun selesai, Lela kemudian menutup teleponnya. Dari wajahnya sangat terlihat jika dia merasa sangat bahagia mengetahui kabar sang ibunda yang sehat dan baik-baik saja.

Lela melihat ke arah luar, matahari sore masih bersinar dengan terangnya, membuatnya langsung mengingat jemuran baju miliknya yang pasti sudah kering, bergegas dia keluar kamarnya untuk mengangkat baju-baju miliknya dan sang suami.

Dia dibuat kaget melihat Zayn yang tengah mengangkat jemuran baju milik mereka berdua.

"Astaghfirullah. Biar aku saja." Lela setengah berlari mendekati suaminya sambil mengambil baju-baju yang

sudah kering di tangannya.

Zayn kaget. Dia melongo melihat Lela yang dengan cepat mengambil baju kering di tangannya dengan ketakutan.

"Tidak apa-apa. Aku akan membantumu."

"Tidak. Biar aku saja." Lela dengan sigap mengambil semua baju-baju yang masih tersisa di jemuran.

Zayn tertegun melihat istrinya yang panik.

Setelah selesai Lela lalu mundur perlahan sambil sesekali melirik Zayn yang berdiri dengan terus memperhatikannya.

"Aku akan menyetrika baju-baju ini dulu,"

Zayn mengangguk masih dengan penuh tanda tanya kenapa istrinya seperti ketakutan hanya karena dirinya yang ingin membantu pekerjaannya.

Hingga Lela masuk ke dalam kamarnya, Zayn yang masih merasa heran berjalan menuju dapur, dia yang merasa sedikit lapar walaupun tadi sudah makan siang terpikir untuk membuat mie instan kesukaannya.

Zayn menghidupkan kompor.

Tiba-tiba kamar Lela terbuka dan istrinya itu berlari ke arahnya dengan wajahnya yang lagi-lagi panik.

Zayn kembali kaget.

"Kamu mau apa?"

"Masak mie," jawab Zayn sambil mengangkat sebungkus mie di tangannya.

"Biar aku saja." Lela segera mengambil panci lalu diisi dengan air kemudian mendekati kompor yang sudah hidup, membuat Zayn sedikit bergeser dari tempatnya.

"Aku bisa masak sendiri."

"Tidak. Biar aku saja." Lela melirik suaminya.

Zayn tetap berdiri di sana, memperhatikan Lela yang terus melihat panci menunggu airnya mendidih.

"Aku tidak memasak mie seperti itu ."

Lela langsung melihat suaminya kaget.

"Aku tidak suka makan mie jika dimasaknya seperti itu," ucap Zayn lagi sambil melihat istrinya.

Lela kebingungan.

"Lalu? Bagaimana cara masaknya?" tanyanya sambil mematikan kompor.

Zayn tersenyum. Dia langsung mengambil bahan yang diperlukan untuk memasak mie kesukaannya. Lela terus memperhatikan bagaimana suaminya itu tampak cekatan memasak mie yang memang berbeda seperti biasanya.

Dia lalu berinisiatif untuk membantu suaminya memotong sayuran, keduanya kemudian kompak memasak mie spesial buatan mereka.

Lela tersenyum melihat akhirnya mie itu selesai dimasak. Tampak sangat menggoda untuk segera dimakan.

Zayn langsung meminta istrinya untuk makan bersama.

Keduanya langsung duduk di meja makan.

"Pekerjaan akan lebih cepat dan ringan jika dikerjakan bersama," ucap Zayn sambil mengambil mie ke dalam piringnya.

Lela melihat sang suami.

"Suami dan istri itu adalah partner dalam sebuah hubungan pernikahan. Bukan seperti pembantu dan majikan. Istri itu amanah, bukan pembantu yang dibebankan kewajiban-kewajiban untuk melayani suami. Istri memiliki hak untuk dibahagiakan dan dimuliakan oleh suaminya. Maka keduanya harus berbagi peran agar rumah tangga berjalan dengan seiring sejalan."

Lela terdiam.

"Setelah ini mari kita kerjakan pekerjaan rumah tangga bersama-sama." Zayn tersenyum melihat istrinya.

Lela mengangguk pelan sambil membalas senyuman suaminya.

***

Di sebuah kafe.

Desi menatap wajah Zaidan dengan tajam.

"Anita berhak mendapatkan kehidupan yang jauh lebih layak."

Zaidan menunduk dan terdiam.

"Aku ibunya sudah berusaha memberikan semua yang terbaik untuknya, pendidikan, tempat tinggal, pakaian mahal dan dia sudah terbiasa dengan itu. Apa kamu tega setelah menikah denganmu, hidupnya menjadi menderita?" tanya Desi dengan geram.

Zaidan tetap terdiam.

"Sebagai orang tua kamu pasti mengerti jika kita selalu ingin yang terbaik untuk anak-anak kita, begitu juga dengan ibu. Ingin agar Anita hidup bahagia dan layak bersama suaminya."

"Maka kami sebagai orang tua memberikan kamu kesempatan untuk melakukannya, menawarkan pekerjaan yang otomatis akan merubah hidup kalian kedepannya."

"Ibu minta kamu untuk menerima tawaran pekerjaan dari ayah mertuamu. Ini tawaran terakhir kami untukmu."

Zaidan sedikit mengangkat kepalanya melihat sang ibu mertua.

"Saya mengerti keinginan ibu."

"Saya sudah membahas dengan istri saya perihal ini dan Anita mendukung keputusan saya untuk menolak tawaran ayah."

"Lain halnya jika Anita menginginkan sebaliknya, sebagai suami saya pasti akan mempertimbangkan keinginan istri saya."

"Bagaimana jika sebenarnya Anita hanya berpura-pura saja, bagaimana jika sebenarnya dia ingin kamu menerima tawaran ayahnya?"

Zaidan tersenyum.

"Mengenai hal itu saya tidak tahu, apakah istriku berpura-pura atau tidak. Tapi ibu sebagai ibu kandungnya bisa menilai sendiri, apakah selama ini istriku berpura-pura bahagia menikah denganku atau tidak. Dari senyumnya ibu bisa menilai apakah dia bahagia sesungguhnya atau hanya kepura-puraan. Aku juga ingin mengetahui hal itu."

"Iya ibu. Katakan apa aku terlihat pura-pura bahagia selama menikah dengan suamiku." tiba-tiba Anita datang membuat keduanya kaget.

Anita langsung duduk di samping suaminya.

Desi gelagapan mengetahui Anita mengetahui pertemuan mereka.

"Aku sangat bahagia ibu, pernahkah ibu lihat aku sebahagia ini? Bukankah aku juga menjadi lebih baik sekarang? Kemana emosiku yang sering meluap-luap tak karuan, kemana sifat manjaku yang selalu minta diperhatikan, kemana sifat iri dengki-ku yang selalu tak mau kalah dari orang lain. Semuanya sudah hilang ibu. Aku putri ibu tak mau lagi hidup mewah dan kaya, aku hanya ingin hidup berkecukupan dan sederhana bersama suamiku. Hanya itu."

Desi melihat putrinya dengan kesal.

"Dan sekali lagi ibu, suamiku sudah memberikan aku kehidupan yang jauh dari layak, dengan gaji yang dia berikan padaku, aku sudah merasa sangat bahagia dan bersyukur."

"Sekali-kali lihatlah ke bawah ibu, masih banyak orang-orang yang hidupnya tidak jauh lebih baik dari aku, mereka serba kekurangan tak berkecukupan. Jadi jika dibandingkan aku, aku ini jauh lebih beruntung."

Desi tampak sangat kesal mendengar perkataan Anita.

"Baiklah kalau begitu. Terserah kalian." Desi beranjak dari duduknya.

Dia lantas pergi meninggalkan Anita dan suaminya.

Anita lalu melihat suaminya dengan wajahnya yang sedikit kesal.

"Untung ayah memberi tahu aku tentang pertemuan kalian ini."

"Kenapa kamu tak bilang jika ibu mengajakmu untuk bertemu?"

"Ibu tak mengizinkan aku untuk memberitahumu," jawab Zaidan merasa bersalah.

Anita terlihat kecewa.

"Kamu sudah mengabaikan pesanku tadi pagi."

"Iya. Maaf." Zaidan merasa sangat bersalah karena mengecewakan istrinya. Dia ingat jika tadi pagi istrinya yang sudah menduga jika ibunya akan mengajaknya untuk bertemu, memintanya untuk memberitahunya agar suaminya tak pergi sendiri menemui ibunya.

Anita berdiri.

"Maaf aku harus segera kembali ke klinik, ada pasien yang menungguku." Anita lantas mencium tangan suaminya lalu pergi meninggalkan Zaidan dengan wajahnya yang masih menunjukkan rasa kecewa.

Zaidan hanya melihat dengan penuh rasa bersalah.

***

Zaidan yang terpaksa harus lembur karena pekerjaan yang banyak tetap tidak bisa fokus bekerja, dia memikirkan istrinya yang tampaknya masih sedikit marah padanya.

Sementara di rumah, Anita duduk dengan sesekali melihat jam dinding rumahnya, dia menunggu suaminya yang belum juga pulang walaupun malam semakin larut.

Anita terdiam merenung menyesali sikapnya tadi siang pada suaminya, dia tahu alasan kenapa Zaidan tak menghiraukan permintaannya untuk memberitahunya ketika ibunya mengajak suaminya untuk bertemu.

Dia tahu suaminya beranggapan bisa menghadapi ibu mertuanya seorang diri, sementara dirinya khawatir jika ibunya mengatakan sesuatu yang tidak-tidak apalagi menyakiti hati suaminya. Dia takut suaminya Zaidan sakit hati akan perkataan ibunya karena dia tahu persis watak dan karakter ibunya.

Tiba-tiba telepon berdering.

Zaidan meneleponnya.

"Sebentar lagi aku akan pulang. Kita harus segera bertemu dan menyelesaikan perselisihan ini dengan pelukan."

Anita tersenyum.

Terpopuler

Comments

Arina

Arina

apa ada ya yang kaya gini di dunia nyata

2024-01-28

2

☠⏤͟͟͞R🎯™𝐀𝖙𝖎𝖓 𝐖❦︎ᵍᵇ𝐙⃝🦜

☠⏤͟͟͞R🎯™𝐀𝖙𝖎𝖓 𝐖❦︎ᵍᵇ𝐙⃝🦜

😘😘😘

2023-12-09

0

Titika tika

Titika tika

🤗🤗🤗🤗🤗🤗

2023-12-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!