Bijaksana

Kata-kata Zayn terasa begitu hangat di hati Lela. Kesedihannya seakan hilang seketika ketika diingatkan jika Allah SWT takkan selamanya membuat sedih dan menderita.

Lela menunduk. Dia tersenyum sambil menyeka air matanya. Lela kembali mengangkat kepalanya, kaget mendapati Zayn yang telah berdiri di depannya.

Lela tersenyum pada Zayn yang menatap wajahnya.

"Terima kasih. Kata-katamu sungguh sangat berarti bagiku."

Zayn tersenyum.

"Terima kasih juga sudah membereskan kamarku," ucap Zayn sambil melihat sekeliling.

Lela tersenyum dan mengangguk kecil.

"Boleh setiap hari aku masuk ke sini untuk membereskan?"

"Tentu saja," jawab Zayn cepat sambil terus menatap wajah istrinya.

Lela kembali tersenyum senang.

Keduanya terdiam beberapa saat.

"Boleh aku minta tolong sesuatu?" tanya Zayn.

"Iya. Tentu saja."

"Aku pikir kamar ini tata ruangnya tidak bagus. Bisa kamu mengaturnya lagi?"

Lela langsung melihat sekelilingnya.

"Sepertinya iya. Harusnya tempat tidur di sebelah sana." Lela menunjuk ke dekat jendela kamar.

"Lalu itu?" Zayn berjalan mendekati istrinya sambil menunjuk lemari."

Lela nampak sedang berpikir.

"Kalau di sebelah sana? Bagaimana?" Lela menunduk ke suatu arah.

Zayn tersenyum. Dia semakin mendekati Lela.

"Lalu ini?" Zayn menunjuk meja kerja.

Kembali Lela termenung dengan matanya yang sibuk melihat ke seluruh penjuru kamar. Sementara Zayn terus tersenyum sambil menikmati wajah istrinya yang sibuk berpikir.

"Sepertinya di sebelah sini."

"Jadi kamu bisa bekerja sambil melihat pemandangan di luar." Lela tersenyum melihat suaminya yang kini sudah berdiri di sampingnya.

"Oh iya. Sepertinya kita harus membeli nakas kecil untuk disimpan di sini, diatasnya bisa disimpan lampu hias agar terlihat bagus." Lela sibuk menunjuk ke samping tempat tidur sambil berbicara dengan semangat.

Sementara Lela terus berbicara, Zayn terus mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah-olah dia menyimak perkataan sang istri padahal sebenarnya dia hanya memikirkan satu hal.

"Bagaimana?" tanya Lela tiba-tiba membuat Zayn yang merenung kaget.

"Bagus." Zayn menjawab asal.

Lela mengerutkan keningnya.

"Bagus?"

"Iya bagus. Semua idemu bagus." Zayn kelabakan.

"Aku bertanya bagaimana kalau kita mengaturnya sekarang?"

Zayn kaget. "Sekarang?"

Lela mengangguk.

Zayn melihat jam dinding. Sudah sangat larut dan sebenarnya dirinya sangat lelah, namun dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Baiklah." Zayn mengangguk sambil menyingsingkan lengan bajunya.

Namun kemudian Lela tertegun setelah melihat jam yang sudah menunjukan pukul sepuluh malam.

"Besok saja," ucapnya sambil melihat Zayn.

"Kenapa?"

"Sudah malam, kamu pasti lelah karena hari ini lembur."

"Tidak kok. Tidak apa-apa."

Lela menggelengkan kepalanya.

"Besok saja. Sekarang istirahat saja. Sudah malam, sebaiknya kamu tidur."

"Baiklah. Kamu juga istirahatlah," ucap Zayn sambil melihat istrinya yang berjalan mengambil vacum cleaner.

"Besok aku juga akan membeli perabotan yang kamu sebutkan tadi untuk kamar kita."

Mendengar perkataan Zayn, Lela yang sedang berjalan langsung menghentikan langkahnya.

"Kamar kita?" gumamnya pelan.

Dia lalu membalikkan badannya melihat Zayn. Dengan wajahnya yang kaget.

Lela melihat sekeliling, dia baru tersadar jika sedari tadi dia berada dalam satu ruangan bersama suaminya dan dia tak merasakan takut sedikitpun.

Zayn tersenyum melihat reaksi istrinya.

"Semoga ini awal yang baik," ucap Zayn senang.

Lela terdiam, jantungnya mulai berdebar tak karuan, entah mengapa ketakutannya perlahan muncul kembali. Dia segera pergi meninggalkan kamar suaminya.

Lela berjalan terburu-buru memasuki kamarnya. Setelah berada di dalam kamar. Lela tidak merasakan apa-apa lagi, ketakutannya menghilang.

Lela tersenyum. Ini adalah sebuah kemajuan yang sangat berarti baginya. Berharap apa yang dikatakan suaminya benar semoga ini awal yang baik untuk hubungan mereka ke depannya.

***

"Bujuk suamimu nak agar dia mau menerima tawaran ayahmu."

"Tidak ibu. Jika suamiku sudah memutuskan untuk menolaknya aku tak bisa memaksa," jawab Anita sambil sibuk mengecek beberapa dokumen.

"Tapi Nak. Kenapa suamimu menolaknya? Disaat semua orang melakukan apapun untuk menjabat sebagai direktur, suamimu malah menyia-nyiakan kesempatan itu."

Anita menghela napas.

"Itulah suamiku ibu. Baginya kedudukan, jabatan atau apapun itu tak penting, dia hanya ingin bekerja sesuai kemampuannya saja."

Desi mulai kehabisan kesabaran.

"Tapi suamimu takkan mampu menjadi seorang direktur hanya dengan kemampuannya saja."

"Di zaman sekarang. Kita harus bersikap realistis, kita membutuhkan kedudukan dan jabatan untuk menunjang kehidupan kita ke depannya."

"Ingat Nak. Kita tak bisa hidup hanya dengan bermodalkan cinta saja."

Anita kaget dengan semua perkataan ibunya.

Dia akan mengatakan sesuatu lagi, tapi pintu ruangannya diketuk.

Seorang perawat masuk disusul oleh Aisha di belakangnya.

"Ibu. Aku harus memeriksa pasien dulu," ucap Anita berdiri untuk menyambut Aisha yang datang untuk kontrol kehamilannya.

Melihat Aisha. Desi semakin menunjukkan kekesalannya. Kekecewaannya dulu pada Aisha yang dianggapnya telah merebut Alvian dari putrinya muncul kembali.

Desi berpikir jika seandainya Aisha tak menikah dengan Alvian, maka putrinya tak akan menikahi Zaidan, Anita dan Alvian pasti menikah dan paling tidak hidup putrinya lebih sedikit terjamin karena dia tahu persis penghasilan seorang dokter.

Aisha menghampiri Desi untuk memberi salam.

Desi menjawab salam dengan acuh.

"Apa kabar Tante?"

"Baik," jawab Desi ketus.

Anita sudah mulai merasakan kekesalan ibunya kini merembet pada Aisha.

"Apa kabar suamimu?" tanya Desi melihat Aisha.

"Alhamdulillah baik Tante."

"Syukurlah."

"Hidup kalian pasti sangat bahagia, sudah mempunyai rumah yang bagus dan gaji yang besar."

Aisha dan Anita saling berpandangan.

"Ibu. Apa yang ibu katakan."

"Ibu hanya mengatakan jika dia beruntung menikahi mantan pacarmu, coba seandainya mereka tak menikah, sudah pasti kamu yang menikah dengan Alvian maka hidupmu sedikit jauh lebih baik dari sekarang."

"Ibu. Berapa kali harus aku katakan jika hidupku sangat bahagia sekarang." Anita tak kuasa menahan kekesalannya.

Aisha menghampiri Anita dan memegang pundaknya untuk menenangkannya.

"Apa tinggal di apartemen kecil itu membuatmu bahagia?" tanya Desi lantang.

"Jangankan di apartemen. Jika suamiku mengajakku untuk tinggal di gubug sekalipun aku akan bahagia asalkan aku selalu bersama suamiku."

Desi tertawa terbahak-bahak.

"Kamu seperti bocah ingusan yang sedang dimabuk cinta. Berpikir jika hidup akan bahagia hanya dengan bermodalkan cinta saja."

Anita semakin kesal dengan perkataan ibunya. Namun dia berusaha untuk meredam emosinya karena ada Aisha yang terus berupaya menenangkannya.

"Tenanglah. Beristighfarlah." Aisha terus mengusap punggung sahabatnya.

"Katakan pada suamimu untuk menerima tawaran pekerjaan dari ayahmu." Desi mengambil tasnya.

"Kalau tidak untuk kalian, lakukan untuk kami. Apa kamu tak pernah berpikir kalau kami akan malu mempunyai menantu yang bekerja sebagai karyawan biasa dengan gaji pas-pasan?" Desi melangkah menuju pintu.

"Tante." Aisha menghentikan langkah Desi.

Aisha menghampiri Desi.

"Kadang seseorang dipanggil orang tua hanya karena terlahir lebih dulu, bukan karena lebih bijaksana."

Terpopuler

Comments

☠@AngguN

☠@AngguN

mama desi masoh dongkol.ke kamu aish

2023-12-08

1

Arina

Arina

kan mama.desi udh gak ke kamu dr awal aish

2023-12-08

0

Titika tika

Titika tika

Kasih paham dlu aisha am emak desi😁

2023-12-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!