Seharian ia tidak tenang, memikirkan tentang ucapan Frans siang tadi-- tentang pria itu yang ingin menikahinya.
Semakin tak tenang lagi karena setelah mengucapkan niatnya itu, Frans dengan segala kewenangannya langsung meminta Sastri untuk memindahtugaskan dirinya ke Indonesia. Padahal ia belum menjawab apapun pada pria itu, tapi Frans langsung memutuskan lebih dulu, membuatnya kehabisan kata-kata.
"Harusnya aku bisa tegas menolak Frans! Kalau sudah begini aku harus bagaimana?" ucapnya bermonolog pada diri sendiri.
Ia menjadi bingung, karena menolak niat baik Frans yang ingin menikahinya takut berimbas pada pekerjaannya sendiri. Untuk saat ini, ia sangat membutuhkan pekerjaan, meskipun ia hanya hidup seorang diri tanpa sanak-saudara.
Tak berselang lama, deringan ponsel membuyarkan pikirannya. Ia meraih benda pipih itu dan menerima panggilan secara asal.
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikum salam."
Ia mengernyit kala mendengar suara pria dari seberang sana, lantas ia langsung menelisik ke layar ponsel dan baru menyadari jika itu adalah panggilan dari pria yang siang tadi memberi pernyataan tentang 'ajakan menikah'.
"Ada apa, Frans?" tanyanya akhirnya.
"Ra... maaf mengganggu waktu kamu malam-malam begini. Tapi, aku ingin menanyakan tentang .. emm ... apa kamu sudah punya jawaban atas niat yang kusampaikan tadi siang?" ucap Frans dari seberang panggilan.
Ia menghela nafas panjang, apakah ia harus menolak Frans lagi kali ini? Jika yang lalu-lalu ia menolak pria itu karena alasan tak ingin menjalin status pacaran, lalu sekarang bagaimana? Frans bukan mengajaknya berpacaran, melainkan menikah. Tidak etis apabila ia menolak dengan alasan 'tak ingin menikah' karena itu seperti alasan yang dibuat-buat.
Satu hal lagi, ia tak ingin menyakiti hati pria itu. Ia mengenal Frans sebagai pribadi yang baik, walau dalam hati kecilnya ia tak memiliki perasaan lebih untuk pria itu.
"Ra ... kamu masih disana?"
Suara Frans lagi-lagi membuyarkanpikirannya.
"A-ah, ya, aku masih disini, Frans."
"Lalu?"
"Lalu?"
Terdengar kekehan renyah dari seberang panggilan seluler itu. Ya, Frans tertawa, entah hal apa yang lucu.
"Jawaban kamu apa, Ra?"
"Ja-jawaban?"
"Iya, jawaban soal pernyataan aku siang tadi ... mengajak kamu menikah!"
"Emm, soal itu... emm, bagaimana ya?" Ia menggaruk pelipisnya sendiri karena bingung ingin memberi jawaban apa pada Frans.
"Kalau kamu masih mau berpikir, it's oke ... aku kasi kamu waktu kok, Ra. Jangan terburu-buru menolak," kata Frans.
"Ya, ya... berikan aku waktu!" sahutnya akhirnya. Ia tak tahu harus berkata apa lagi, mendadak ia menjadi gugup luar biasa. Ingin langsung menolak tapi entah kenapa tak bisa.
"Lusa aku akan pulang ke Indonesia, kamu ikut kan, Ra? Kepindahan kamu sudah di urus oleh Sastri dan kamu bisa langsung bekerja di kantor pusat ketika tiba di Indonesia," imbuh Frans.
"Ya, aku akan pulang ke Indonesia."
"Baiklah, aku akan pesankan tiketnya sekalian."
"Jangan, Frans!" tolaknya cepat.
"Kenapa?"
"Aku tidak mau kita pulang ke Indonesia bersama-sama. Aku akan pulang besok sore dan kamu pulang lusa. Bagaimana?"
"Segitunya gak mau bareng aku," kelakar Frans.
"Ya, aku hanya tidak ingin digunjingkan, Frans."
"Oke, aku hargai keputusan kamu. Tapi aku akan tetap pesankan tiket untuk kamu pulang besok sore ke Indo."
"Te-terima kasih, Frans. Assalamu'alaikum..."
"Iya, Ra. Wa'alaikumsalam..."
...🌸🌸🌸🌸🌸🌸...
Sore hari, sekitar pukul 4 sore lewat sedikit, ia telah tiba di Indonesia, di kota kelahirannya sekaligus kota penuh kenangan dalam hidupnya.
Ia tumbuh dan besar di kota ini, sebuah kota metropolitan yang menuntutnya harus bekerja keras sedari kecil untuk bisa bersekolah.
Ia bukan terlahir dari keluarga kaya, ia bahkan tidak tahu siapa keluarganya. Ia dibesarkan di sebuah Panti Asuhan, yang terletak jauh dari pinggiran kota. Disanalah ia mendapatkan arti dari sebuah keluarga.
Ibu panti mengajarkannya tatakrama, adab dan norma agama. Tapi, tuntutan hidup yang keras juga mengajarkannya untuk melakukan banyak kreatifitas secara mandiri agar bisa menghasilkan pundi-pundi Rupiah.
Sejak mengenal dunia sekolah, ia sudah berjualan demi mendapat uang saku. Ia menjual kerajinan tangan dari kertas, sedotan atau plastik, yang dibentuk menjadi bunga-bunga hias. Meski tidak aestetik, tapi selalu ada saja orang yang mau menyisihkan uang untuk membeli karya-karya absurdnya itu.
Semakin besar, ia mulai menjual benda lainnya, masih dengan benda-benda yang dibuat oleh kreatifitasnya sendiri. Ia belajar menyulam dan menjahit. Mengutip perca atau kain sisa, untuk ia buat pakaian boneka lalu menjualnya dengan sesama teman sekolahnya.
Menjelang remaja, ia mulai belajar membuat kue dan panganan, lalu menjual itu juga disekitar area panti dan sekolah.
Begitulah kehidupan masa kecil hingga remajanya, dihabiskan dengan membuat kerajinan tangan untuk dijual, lalu sisa waktunya ia gunakan untuk belajar dengan giat.
Saat Sekolah Menengah Atas, ia menjadi guru privat untuk anak-anak Sekolah Dasar. Dan adapula satu-dua temannya di SMA yang dibimbingnya dalam hal pembelajaran. Hasilnya lumayan, karena itu bisa membeli kebutuhan sekolahnya yang tidak dibiayai oleh Negara.
Titik balik hidupnya adalah saat keberuntungan ternyata mulai berpihak padanya. Ia mendapat beasiswa sampai bisa kuliah di Singapore. Tapi setelah lulus, ia harus bekerja pada perusahaan yang membiayai kuliahnya itu.
Itulah awal mula ia menjadi tinggal dan menetap di Negara Singa itu, hingga akhirnya ia bisa mengenal Frans yang notabene-nya adalah anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja sekarang. Dalam kata lain, ia bisa menafsirkan jika orangtua Frans-lah yang membiayai kuliahnya dulu-- secara tidak langsung-- karena beasiswa itu memang atas nama perusahaan mereka bukan atas nama pribadi.
Ia melangkah pelan, menggeret kopernya yang berukuran tak terlalu besar. Sadar jika tak akan ada yang menjemputnya di Bandara ini, ia pun menaiki Taxi yang banyak berjajar di sekitar area pintu keluar.
Memasuki Taxi dan langsung ingin menuju satu tempat.
"Jalan Anggrek, Panti Asuhan Kasih Ibu, Pak!" ucapnya yang diangguki sang sopir.
Rasanya, ia sudah tak sabar ingin bertemu Bu Nurma, Ibu Panti yang sudah layaknya Ibu kandung baginya. Berapa lama mereka tak bertemu? 10 tahun, mungkin. Setelah bertemu Bu Nurma nanti, barulah ia akan mencari kontrakan atau Apartemen yang tidak terlalu mahal.
Ia harus berhemat, karena sekarang hidupnya akan dimulai dari Nol lagi sejak tiba di Indonesia.
Agar tidak bosan selama perjalanan dari Bandara ke Panti, ia mengambil sebuah buku dari ransel yang ia kenakan. Kemudian mulai larut dengan lembaran-lembaran penuh makna di dalamnya.
Dipertengahan jalan, Taxi berjalan sedikit melambat.
"Ada apa, ya, Pak?" tanyanya sembari melihat ke sekeliling lewat jendela Taxi.
"Ini, Mbak. Kayaknya lagi demo atau tawuran gitu. Aduh, buat macet saja!" sahut sang sopir.
"Ya ampun!" celetuknya tidak habis pikir dengan kelakuan remaja zaman sekarang yang semakin brutal saja.
"Di jalan ini memang sudah sering, Mbak. Disini tempatnya anak berandalan semua! Tapi mereka biasanya demo kalau tempat mereka mau digusur sama orang yang tidak berhak!" ucap supir Taxi.
"Memangnya kalau tidak berhak, bisa gusur-gusur gitu ya, Pak?" Ia tak habis pikir, karena bisa terlibat percakapan yang cukup serius dengan sopir Taxi didepannya.
"Kebanyakan gitu, Mbak. Mafia tanah. Udah gak heran lagi, sih!"
Ia hanya manggut-manggut, tak ingin meneruskan percakapan lagi. Tapi, jika keadaan jalanan terus macet begini, ia tidak akan sampai ke Panti sebelum gelap.
Beberapa kali ia melihat detik waktu yang melingkar dipergelangan tangannya.
"Duh, mana masih mau cari kontrakan lagi. Kalau begini bisa sampai malam di Panti. Kapan mau cari kontrakan lagi? Apa aku menginap di panti malam ini? Atau cari hotel aja, ya?" gumamnya sambil berpikir keras.
"Pak, disekitar sini ada Hotel, gak ya?" tanyanya pada sopir taxi.
"Kayaknya ada, Mbak. Tapi didepan jalan sana." Sopir itu menunjuk kearah depan, dimana begitu banyak orang berdemo.
"Waduh, gimana ya?" Ia ciut juga melihat cukup ramai manusia didepan sana.
Tapi, ia lebih tak mau jika harus terlalu lama dijalan. Ia ingin mengejar sholat ashar yang tertunda, belum lagi Maghrib yang sebentar lagi akan tiba.
Setelah berpikir sekejap, akhirnya ia mempunyai satu keputusan akhir.
"Pak, saya berhenti disini saja, ya?"
"Yakin, Mbak?"
Ia mengangguk, kemudian mengambil dompet dan segera membayar argo taxi.
Ia keluar dari taxi dan menatap ke depan sana. Mungkin ia akan menuju Hotel didepan sana saja, tapi sebelumnya ia ingin mencari Mesjid atau Mushola terdekat dulu, mudah-mudahan setelah sholat ashar nanti, demo didepan ini juga telah berakhir dan ia bisa leluasa melewati jalan untuk menemukan letak Hotel.
Ia berjalan pelan sambil mengangkat kopernya yang cukup berat. Ia tidak pernah mengeluh dalam hal seperti ini karena sejak dulu hidupnya sudah cukup keras.
"Hai ... cantik, mau kemana?"
Ya ampun, ia memegangi dadanya sendiri karena kaget melihat sesosok lelaki tambun yang muncul dari arah keramaian didepan sana.
Ia memilih mengabaikan saja dan tetap berjalan demi mencari Mesjid.
"Ayo bilang mau kemana? Biar abang anterin," kata lelaki itu lagi dengan senyum yang terlihat culas.
Ia menghela nafas panjang. Kemudian berbalik menatap sekilas pada lelaki berpenampilan bak preman itu.
"Maaf, ada tahu Mesjid atau Musholla terdekat, gak?" tanyanya memberanikan diri. Lelaki seperti didepannya ini, terkadang harus dihadapi karena jika dihindari akan semakin mengejar sebab rasa penasaran.
Lelaki itu terlihat menggaruk kepala, kemudian memanggil rekannya yang berada tak terlalu jauh dari posisi mereka.
"Rul...." pekik lelaki itu ke arah sang rekan didepan sana. "Sini dulu!" katanya.
Rekan si lelaki langsung datang menghampiri, meninggalkan keramaian yang tadi menjadi atensi mereka.
"Lu tahu Mesjid yang paling dekat gak? Cewek cantik ini tanya posisi Mesjid!" ucap lelaki pertama.
"Mesjid? Mana gue tahu! Sholat aja gak pernah," sahut lelaki kedua.
"Mungkin abang-abang ini pernah dengar kumandang adzannya, didekat mana gitu..." celetuknya menimpali kedua lelaki yang tampak kebingungan, lebih bingung daripada dirinya sendiri-- yang baru menginjakkan kaki lagi di Negara ini.
"Coba lu tanya bos!" titah lelaki pertama.
Lelaki kedua mengangguk, kemudian bergerak menjauh. Ia dapat melihat lelaki yang baru saja pergi tadi tengah berbicara dengan seseorang di seberang jalan, setelah itu ia tak memperhatikan lagi ke arah sana.
Lelaki pertama yang masih berdiri tak jauh darinya, justru terus mengoceh, menanyakan nama atau apapun info tentang pribadinya. Namun, ia memilih menggeleng sambil tersenyum kecil-- sebuah sikap menghindari-- yang mungkin tidak akan menyinggung lelaki itu dan berimbas akan membuat marah sang lelaki dan membahayakan posisinya.
Entah kenapa ia justru berani berada dipinggiran jalan ini dengan lelaki yang tadi sempat mengusik perjalanannya mencari Mesjid, padahal bisa saja mereka menodong, merampok atau yang lebih parah menganiayanya. Entahlah, tapi keyakinannya mengatakan bahwa lelaki-lelaki ini tidak sejahat penampilannya.
Ia pun menunduk dan hanya melihat pada sepatu flat yang ia kenakan.
Tak berapa lama, ia merasakan ada seseorang yang menghampirinya. Ia mengira itu adalah lelaki kedua yang telah kembali untuk mengatakan letak Mesjid.
Ia mengadah, namun yang terlihat didepannya justru lelaki lain yang membuatnya mati gaya.
...Next enggak?...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Isyraeni Nursyam
Ceritanya Bagus☺️☺️
Gara2 Novelnya author sy kurang tidur😂😂
Siang malam baca terus..jadi lupa tidur😂😂
2023-06-04
1
Mah Arga
pasti itu Ken
2022-06-29
0
𝐀⃝🥀𝐕⃝⃟🏴☠️𝐐ᵁᴱᴱᴺνιєℛᵉˣ
penasaran..Ken kah..?
2022-03-02
2