Yashinta berjalan sendiri ke arah kantin dijam istirahat kedua, ia melihat Kafka juga sedang berada di kantin dengan kawan-kawannya, salah satunya ada Saras di sana, tapi itu bukan pemandangan baru bagi Yashinta, ia sudah sangat sering melihat hal seperti itu.
Ia berjalan begitu saja melewati Kafka dan kawan-kawanya yang tengah tertawa membahas sesuatu hal, entah apapun itu Yashinta tidak tau.
"Cewek loe, Ka." komentar salah satu teman Kafka.
Kafka yang semula mengaduk makanannya mengangkat pandangan saat Yashinta melewatinya begitu saja, memesan makan dan duduk di salah satu meja yang tak jauh darinya.
"Kebiasaan, loe, Ka. Cewek lu, tuh, tegur kek atau apa. Jangan kaya pura-pura gak kenal gitu." pemuda bernama Sean itu kembali angkat bicara. Kafka hanya menoleh, sekarang Yashinta tidak sendiri, ia dengan Deril, Ketua OSIS SMA Firgo.
"Gue duluan, ya." Saras bangkit, kemudian berlalu, sementara Kafka masih menatap Yashinta yang menikmati makanannya sambil mengobrol ringan dengan Deril.
"Loe cemburu, Ka?" tanya Aris, teman Kafka yang lain yang sejak tadi hanya diam.
Kafka menggeleng, melanjutkan makannya dengan perasaan dongkol. Bukan karena cemburu, ia sedikitpun tidak merasa cemburu. Hanya saja, sebagai cowok populer di sekolah, Kafka merasa tidak dihargai saat pacarnya bertingkah seenaknya. Seperti mengobrol dengan cowok lain misalnya, persis seperti sekarang.
"Mustahil kalo loe nggak ada perasaan apapun sama Yas, secara dia cantik boy. Cowok manapun bakal naksir sama dia,"
Kafka hanya tersenyum miring mendengar ocehan yang secara langsung memang memuji Yashinta.
"Termasuk loe?"
Kali ini Sean terdiam, tapi ia nampak begitu tenang tanpa terkejut sedikitpun dengan pertanyaan Kafka.
"Gimana kalo gue bilang iya?"
Air muka Kafka nampak berubah mendengar jawaban tidak terduga dari Sean.
"Cuma sayang aja, dia malah mau sama loe, yang begonya nggak ketulungan!"
"Setan!" Kafka mendesis, sementara Sean hanya tersenyum miring melihat Kafka yang kelabakan.
Tatapan Kafka kembali pada Yashinta yang sesekali tersenyum di hadapan Deril. Persis, senyum manis yang selalu gadis itu perlihatkan padanya.
"Kamu cantik kalo senyum,"
Yashinta menggeleng kecil sambil tersenyum mendengar pujian ketua OSIS di hadapannya.
"Maksud Deril, Yas nggak cantik gitu?"
Deril tertawa.
"Kalo senyum, cantiknya nambah berkali-kali lipat."
"Udah ah, Yas nggak mau di puji-puji gitu."
Yashinta tidak ingin berlarut-larut dengan obrolan tidak penting yang mereka bahas. Karena kedatangan Deril padanya untuk sesuatu hal yang penting. Yah, Yashinta baru mengingatnya.
"Oh iya. Deril tadi mau bilang apa sama Yas?"
"Oh, itu. Aku mau nawarin kamu gabung ekskul teater,"
"Deril nggak salah nawarin Yas buat masuk di ekskul itu?" herannya.
Sepertinya Yashinta tidak perlu menceritakan pada Deril bagaimana dirinya yang tidak mudah akrab dan bergaul dengan banyak orang. Gila saja dia diajak ekskul teater dan berbaur dengan orang-orang yang tak akrab dengannya dari berbagai kelas dan angkatan.
"Apa salahnya, sih, Yas. Siapa tau, dengan begitu kamu bisa akrab sama temen-temen seangkatan kita, adik kelas juga." Deril setengah membujuk.
Yashinta diam, tidak ada yang salah dengan apa yang Deril katakan. Justru apa yang dikatakannya amat masuk akal jika saja Yashinta mau menerima tawarannya.
"Gimana?"
"Nanti Yas pikir-pikir lagi, yah."
Deril diam sebentar, kemudian tak lama ia mengangguk.
"Yaudah, kalo gitu aku duluan, ya. Aku tunggu jawaban kamu,"
Yashinta hanya mengangguk sambil tersenyum, sementara Deril sudah menghilang di hadapannya, meninggalkannya sendiri di meja panjang kantin.
Sebelum kembali ke kelas, Yashinta lebih dulu ke toilet untuk membenarkan seragam dan rambutnya. Begitu keluar, ia cukup terkejut melihat Kafka yang bersandar pada tembok di samping pintu toilet.
"Kafka,"
"Kafka ngintip?" tanyanya dengan raut heran dan terkejut. Sekaligus senang bertemu pemuda itu.
Kafka yang melipat tangan di dada menurunkan tangannya, menatap Yashinta.
"Kafka kalo ngintip nanti bintitan loh, mau? Nggak ganteng lagi dong,"
"Gue nggak suka loe sama Deril,"
"Hah?"
Yashinta terkesiap mendengarnya, ia tidak begitu jelas mendengar apa yang Kafka katakan.
"Gue gak suka loe sama Deril," Kafka mengulang kalimatnya.
"Kapan?" dahi Yashinta berkerut.
"Loe nggak inget? Pas di kantin tadi!"
"Oh, Kafka liat?" tanyanya dengan polos.
"Loe pikir gue gak punya mata?"
"Kalo punya mata kenapa nggak pernah mau nyapa Yas kalau papasan?"
"Kafka kaya orang buta."
Kali ini Kafka diam, Yashinta hanya menatapnya. Terlihat gadis itu tampak menghela napas.
"Yas cuma ngobrol biasa aja, kok." memilih mengalah seperti biasa dan menceritakan detailnya.
"Tapi gue tetep nggak suka. Satu SMA ini tau loe pacar gue,"
"Ya makannya Kafka nggak perlu khawatir, Yas nggak bakal berpaling!"
"Gue malu kalo cewek gue kecentilan sama cowok lain!"
Yashinta terdiam. Jangan tanya, hatinya jelas terpukul mendengar jawaban Kafka yang menohok hatinya. Ia sama sekali tidak menyangka jika Kafka akan tega mengatakan hal seperti itu padanya. Awalnya ia mengira, jika pria itu cemburu. Tapi ternyata bukan.
"Hargain gue sebagai cowok loe!"
"Iya Kafka, maaf. Deril cuma nawarin Yas buat ekskul!" kembali mengalah seolah hal itu sudah mendarah daging dengannya sejak dimulainya hubungan antara ia dengan Kafka.
"Enggak usah ikut ekskul!"
"Tapi kata Deril, nanti biar Yas bisa punya banyak temen."
"Gue bilang gak usah, nggak mau denger?"
Gadis itu menunduk, menghindari tatapan mematikan Kafka.
"Iya Kafka, Yas nggak bakal daftar ekskul."
Kafka mengangguk puas.
"Balik sana ke kelas!"
Yashinta mengangguk, kemudian melangkah. Tapi baru selangkah, ia berhenti, kembali membalikan tubuhnya pada Kafka.
"Ada apa?"
"Hari ini Yas ada les piano, nanti pulangnya Kafka jemput, ya."
"Sopir loe?"
"Ada, tapi Yas pengennya Kafka yang jemput."
Kafka diam, kemudian bertanya, "Pulangnya jam berapa?"
"Jam lima sore,"
Kafka mengangguk. "Nanti gue jemput,"
"Makasih yah, Kafka!"
Kafka hanya mengangguk samar, sampai kemudian Yashinta berlalu dari hadapan Kafka menuju kelas. Setelah kepergian gadis itu, Kafka hanya menyandarkan punggungnya pada tembok, kemudian menghela napas berat. Ia lupa, jika jam setengah lima sore ia memiliki janji dengan Saras untuk mengantar gadis itu ke toko buku.
**
Sesuai perjanjiannya dengan Kafka, Yashinta menunggu jemputan pemuda itu di sebuah halte bus yang dekat dengan tempat lesnya. Hampir satu jam ia menunggu, tapi Kafka tak kunjung datang. Bahkan ponselnya tidak dapat dihubungi.
Lalu-lalang kendaraan masih menjadi pemandangan yang Yashinta nikmati sepanjang menunggu Kafka, ia melihat arloji di pergelangan tangan mungilnya, sudah hampir jam enam sore, adzan magrib sudah berkumandang, dan Kafka masih belum juga menampakan batang hidungnya.
Yashinta hanya tersenyum miris, seharusnya ia sadar, jika dirinya bukanlah prioritas Kafka, bisa saja Kafka lupa jika memiliki janji untuk menjemputnya.
Seharusnya Yashinta sadar, jika ia adalah nomor ke sekian setelah semua kegiatan dan urusan Kafka.
"Yas bego banget, sih." ia mengutuki dirinya sendiri. Yashinta mengangkat pandangannya, senyumnya mengembang saat melihat orang yang tak asing menghampirinya.
"Loe ngapain?"
"Ranti ngapain?" ia malah balik bertanya pada sahabatnya itu.
"Gue habis nganterin buku kimia si Dewi, rumahnya nggak jauh dari sini," Ranti menyahut seraya mengarahkan pandangannya ke arah kemunculannya.
Yashinta mengangguk-anggukan kepalanya.
"Loe ngapain, harusnya loe udah balik sejak satu jam yang lalu, 'kan? Kenapa masih di sini, loe habis les piano, 'kan?" tanya Ranti, beruntun dan tidak sabaran.
"Nunggu jemputan,"
Ranti menghembuskan napasnya dengan kesal, kemudian duduk di samping Yashinta.
"Ranti ngapain malah duduk?"
"Nemenin loe, lah. Loe pikir gue bisa tenang, ninggalin loe gitu aja!"
Yashinta hanya diam, meski dalam hati ia sangat berterimakasih pada Ranti yang selalu ada untuknya dalam keadaan apapun.
Meski ia tau, begitu Kafka datang, pasti akan terjadi sedikit keributan.
Kafka? Akankah ia datang? Ranti meragukannya seperti biasa.
"Balik aja yuu," ajak Ranti setelah sekitar dua puluh menitan ia menemani Yashinta menunggu Kafka, gadis itu bahkan sudah bangkit dan mondar-mandir dengan raut kesal.
"Kalo Kafka nanti dateng, gimana?"
"Kasian nanti kalo ke sini, Yasnya udah nggak ada. Yas nggak mau ngecewain Kafka,"
Ranti memutar bolamatanya, jengah.
"Gue pesenin taksi online, loe balik. Sadar, Kafka gak bakal dateng!"
"Nggak usah terlalu percaya deh sama Kafka. Dia itu playboy, buaya. Lagian gue juga gak bakal tenang loe balik sama dia, udah malem. Loe lupa, sama mantan-mantannya Kafka yang udah berhasil dia tidurin di apartementnya?"
"Jangan sampe loe jadi korban berikutnya!"
"Ranti jangan gitu dong ngomongnya,"
"Kenyataannya gitu, 'kan!"
"Kafkanya ada di belakang Ranti," Yashinta berkata pelan. Ranti membalikan tubuhnya, dan benar saja jika Kafka ada di belakangnya, tapi ia tidak terkejut atau takut sedikitpun.
"Kemana dulu loe? Nganterin selingkuhan loe?" sambarnya tanpa gentar.
"Yashinta udah nunggu loe hampir dua jam, loe sengaja?"
Ranti emosi, ia memaki Kafka dengan berapi-api.
"Kenapa nggak pulang aja?" Kafka justru bertanya pada Yashinta, tidak mau meladeni Ranti yang selalu sensi padanya.
"Apa, loe malah mau nyalahin Yas?"
"Enak amat hidup loe, salah nggak salah harus Yashinta yang salah!"
Kafka mengembuskan napas dari bibir, terlihat dengan jelas betapa ia sedang menahan emosi saat ini. Tanpa berkata apapun, ia menarik tangan Yashinta ke arah mobilnya, Yashinta yang cukup terkejut hanya mampu berkata singkat pada Ranti yang terlihat emosi.
"Ranti, makasih yah. Yas pu—lang!"
"Dasar bego!" Ranti mengumpat kesal pada gadis polos yang kelewat baik itu.
Sementara Yashinta sudah berada di dalam mobil dengan Kafka yang memasang seatbelt.
"Pake," katanya pada Yashinta, Yashinta memasang seatbelt di tubuhnya. Mobil melaju, memecah jalanan Ibu Kota yang masih padat oleh lalu-lalang kendaraan diwaktu menjelang malam.
Yashinta menoleh pada Kafka yang fokus menyetir, ia senang karena Kafka sudah mau datang menjemputnya. Tidak masalah pria itu datang terlambat, karena faktanya Kafka menepati janji untuk datang menjemputnya.
"Berapa kali gue bilang, lebih dari lima belas menit gue gak dateng, artinya gue gak bakal dateng. Kenapa tetep nunggu?" pertanyaan Kafka membuat fokus Yashinta teralihkan.
"Karena Yas yakin, Kafka bakal dateng. Akhirnya Kafka dateng, 'kan?"
Kafka menoleh sebentar, Yashinta tersenyum dengan manisnya, membuat desiran aneh di hati Kafka yang sering kali ia tepis muncul tanpa permisi.
"Kafka habis dari mana?"
Kafka berdehem untuk menetralkan perasaan dan ekspresinya. "Gue ketiduran," dustanya, padahal ia baru saja mengantarkan Saras. Dan ia terpaksa tidak menunggu gadis itu karena harus menjemput sang pacar.
Kafka cukup yakin jika Yashinta akan tetap menunggunya untuk menjemput, dan benar saja, gadis itu tetap duduk menunggu, ia juga tidak marah sedikitpun padanya karena datang terlambat, ah bahkan Kafka sangat terlambat.
"Loe nggak marah, gue telat?" berujung penasaran dan memilih bertanya untuk mendengar jawaban Yashinta.
"Kenapa harus marah? Yas udah kebal. Kan Yas nomor ke sekian setelah semua urusan Kafka," sahutnya dengan tutur kata yang begitu santai dan lembut, seolah tidak ingin membuat Kafka tersinggung.
"Kalau seandainya gue gak jemput loe, apa yang bakal loe lakuin?"
"Pulang, lah. Kafka, masa mau nginep di halte!"
"Loe gak bakal marah kalo gue gak dateng?"
"Enggak!"
Kafka tersenyum getir mendengar jawaban tulus Yashinta. Bagaimana mungkin seorang gadis normal nampak kebal dengan sikap acuh pacarnya. Atau rasa sayang Yashinta padanya memang kelewat besar? Kafka tidak mengerti.
Biasanya, mantan-mantan Kafka sebelumnya akan marah dan meminta putus karena sikapnya, tetapi Yashinta tidak, dia langka dan berbeda.
"Karena Yas sayang sama Kafka, Yas nggak bisa marah, sebesar apapun kesalahan Kafka."
Ia tersenyum mengakhiri ucapannya, sementara Kafka tak bereaksi sedikitpun. Ia hanya berusaha menahan debaran aneh di hatinya.
TBC
Gimana, apa sudah ada dendam pada Kafka wahaii para pembaca?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
Jgn tanya, Thor...
Dendam. membara!!!!!!
Andreasssss...
help meeeeee🤔🤔🤣
2023-12-02
0
Kim Reyaa
Q makin suka alur cerita nya thor.
2022-12-04
0
Tini Laesabtini
Ko aku kepikiran pengen jorokin si Kafka ke got, nyungsepin dicombetan, lagian ini Yas saking tulusnya sampe jg bego gini sih....
.
2022-07-20
2