“Dei, kamu kenapa sih ngelamun aja. Dari kemarin, sikap kamu aneh. Kenapa? Masih kepikiran Langit, ya?” tanya Yuna.
Yuna nampak menatap Dei, menunggu jawaban dari Dei yang baru tergelak dari lamunannya. Dia mendesah dan menatap kosong toko rotinya. Seorang pelanggan berpakaian seragam SMA nampak tengah memilih blackforest di sudut ruangan. Dei menoleh ke arah Yuna dan mencoba tersenyum simpul.
“Nggak kok. Aku ngerti Langit lagi sibuk,” sahut Dei sambil menggeleng lemah.
“Terus kenapa?” tanya Yuna lagi.
Dei memainkan ujung celemeknya, menimang apakah ia harus menceritakan ini pada Yuna, “Sebenarnya... ,” ucap Dei dengan suara bergetar, “Hari ini peringatan kematian mama. Pas. Sepuluh tahun.”
“Huh?”
Dei menarik napas sedalam-dalamnya, mencegah agar ia tidak menangis di depan Yuna. Dei melirik ekspresi Yuna yang nampak terkejut bercampur simpati. Perlahan, tangan Yuna terangkat dan memegang pundak Dei dengan lembut.
“Jujur, saat ini kamu seperti waktu itu. Melamun tanpa nyawa. Hari pertama kamu di panti asuhan. Tapi ingat, waktu itu kamu berhasil melaluinya. Seperti saat itu, kamu juga bisa melewati hari ini. Kamu sudah cukup lama melupakan memori itu. Jadi, jangan berpikiran aneh-aneh. Semua akan baik-baik aja. Semua hanya masalalu.”
Dei terdiam cukup lama mencerna ucapan Yuna. Lalu, ia menggeleng, “Belum,” sergah Dei datar, “Memori itu datang lagi. Mama datang melalui mimpiku semalam. Beberapa malam terakhir, dia hadir begitu nyata... Kali ini, sungguh, semua serasa nyata. Aku... takut,” ujar Dei dengan mata berkaca-kaca.
‘Jangan menangis. Jangan menangis.’
Yuna terdiam seraya menurunkan tangannya dari pundak Dei. Yuna tidak tahu apa yang sedang diucapkan sahabatnya. Tapi, Yuna sadar jika memang ini hal yang berat baginya. Banyak hal buruk yang menimpa Dei.
“Lalu apa masalahnya? Itu hanya mimpi,” ujar Yuna, masih berusaha mengacuhkan kecemasan Dei. Dia ingin Dei lebih tenang.
Yah, jelas ada yang salah. Mimpi yang nyaris seperti nyata. Dua hari berturut-turut. Terlebih, dia mendapat penampakan pembeli hantu itu. Ini bukan sekedar kebetulan. Dei menghela napas panjang. Dia yakin akan hal itu.
“Ucapan terakhirnya sebelum melompat untuk bunuh diri waktu itu... ,” ucap Dei dengan perlahan.
Dadanya kembang kempis dengan degup aneh di dadanya. Semua bercampur baur. Asa dan rasa takut. Ngeri. Sekilas, bayangan kelam di masalalunya berkelebat, membuatnya kembali terisak dalam diam. Dia menangis sesenggukan sambil mencengkeram tangannya sendiri.
“Dei... ,” lirih Yuna lembut. Iba.
“Aku ingat Yun... kalimat terakhirnya. Bahwa, dia akan selalu di sisiku dan mengawasiku dalam kegelapan. Dan entah kenapa aku merasa kalau... dia pasti akan kembali. Untukku. Untuk membawa kegelapan. Itu takdirku. Seperti, sebuah kutukan. Dan, aku rasa... dia sungguh datang kali ini.”
Tepat setelah Dei mengakhiri kalimat itu, sesosok wanita itu nampak berdiri di balik etalase toko. Diam, dingin dan mengerikan namun hanya sebuah bayangan semu yang perlahan menghilang bersama angin. Dingin.
“Dei, yang mati tetap mati. Nggak akan pernah kembali. Nggak ada alasan dia kembali,” ucap Yuna menenangkan.
Dei ingin tenang. Tapi, dia tahu persis akan hal ini. Dei menggeleng lemah. Dia terlalu ragu. Fakta dan imajinasinya bertumpuk, membuat logikanya menguap.
“Tidak, Yun. Dia datang sesuai janjinya. Untuk memenuhi takdirku.”
Dan sosok di luar sana tersenyum kecil dan menakutkan lalu perlahan menghilang saat segerombolan anak SMA menerobos bayang semu-nya. Langit kelam datang, berarak bersama mega mendung. Dei merasakan dirinya semskin gelisah. Dadanya berdebar kencang, tidak tenang. Gadis itu merasakannya. Dia mampu merasakannya hanya saja dia tidak menemukan apapun. Belum.
Mimpi buruk itu datang.
-oOo-
31 Januari 2022
“Apa yang kau percayai dari takdirmu, Dei?” tanya dokter Elisa.
Hening. Tidak ada jawaban atau suara dari Dei. Gadis itu nampak terdiam. Membisu. Wajahnya lesu dan melamun. Kosong. Dokter Elisa meraih gelas minumnya, meneguk setengah isinya dan kembali mencatat, entah apa.
Dei bergeming. Ia mendongak namun tidak berbicara. Ia nampak ingin menelan kembali kalimat yang baru saja berada di ujung bibirnya.
“Begini. Kau bilang, mamamu akan datang sepuluh tahun lagi untuk memenuhi takdirmu. Takdir apa? Kenapa harus sepuluh tahun?” tanya dokter Elisa. Perlahan namun kentara sekali ia ingin langsung fokus pada tujuannya. Gadis di hadapannya, perlu sebuah tekanan demi membawa jawaban atas pertanyaannya. Sedikit simulasi.
“Menurut anda, apa takdirku dan kenapa dia memilih sepuluh tahun?”
Dokter Elisa mendengus. Sesaat, ia nampak terpancing emosi. Namun, ia mencoba tersenyum. Pertanyaan berbalas pertanyaan. Permainan spekulasi yang menguras emosi memang. Dokter Elisa membetulkan letak kacamatanya yang bertengger di hidungnya lalu tersenyum simpul.
“Takdirmu adalah kegelapan. Sepuluh tahun. Hmmm... sepuluh adalah angka kesukaan mamamu. Dia selalu mau kamu mendapat nilai sempurna. Sepuluh. Itu tebakanku.”
Dei tersenyum kecil, “Mama memiliki obsesi dengan angka sepuluh. Angka yang sempurna. Tapi, takdir kegelapanku... masih kupertanyakan. Semua yang kulakukan, anda lakukan, manusia lakukan. Semua, punya konsekuensi. Ada sebab dan ada akibat. Jadi, takdir kegelapan adalah milik semua manusia.”
Dokter Elisa memainkan bolpointnya. Menarik. Dia memandang Dei dengan pandangan baru. Ekspresi yang baru.
“Jadi, menurutmu... takdir ada pada tangan semua orang. Menarik... Kamu jarang cerita tentang papamu? Mamamu kembali, jadi apa papamu juga?”
Dei nampak kembali terdiam. Wajahnya datar namun menunjukkan beberapa letupan emosi semu. Dokter Elisa mengamatinya, menelisik Dei namun dia merasa perlu membuka kunci pikiran Dei. Dia, merasa ada yang disembunyikan Dei. Hanya saja, Apa? Dia hanya menjadi dokter bagi Dei selama beberapa saat. Tapi, Dei tidak mudah diidentifikasi. Sulit untuk dianalisis.
“Papa... adalah sosok yang lemah. Tidak dominan. Bahkan saat papa menjadi hantu sekalipun, dia hanya akan meringkuk di sudut ruangan yang gelap.”
New face. Tenang dan begitu datar. Nyaris tanpa emosi. Tangan dokter Elisa bergerak kecil, menuliskan sesuatu di atas note kecilnya dengan senyum kecil yang simpul terulas di bibir tebalnya.
“Anda... akan punya takdirmu juga, dok. Mulailah mencarinya. Terkadang, itu membawa kelegaan tersendiri. Bukankah, hidup punya dendamnya sendiri?”
Dokter Elisa menghentikan tulisan tangannya dan mendongak menatap Dei dengan wajah tertegun. Dei nampak tersenyum samar, menyelipkan sebagian poni panjangnya ke belakang telinga.
“Maksudmu?” tanya dokter Elisa.
“Semua orang punya takdirnya masing-masing. Semua punya takdir kelamnya sendiri. Terkadang, semua berawal dari masa lalu,” Dei mengambil jeda sesaat, “Mama datang padaku. Itu takdirku. Dan suatu hari, masalalu anda pun akan datang. Kita akan terus dan harus berpegang pada masa lalu. Itu titik balik semua takdir kita di masa depan.”
“Begitukah?”
Dokter Elisa hanya mengangguk sekilas dan menelisik gadis di hadapannya dengan seksama. Dei menunjukkan emosinya secara bertahap dan sulit untuk menentukan bagaimana perasaan gadis itu.
“Dei... .”
“Kau tidak percaya takdir. Aku juga tidak. Awalnya. Tapi, sejak mama datang sesuai janjinya, aku jadi memahaminya. Perlahan, justru aku sendiri terbawa untuk menemukan takdir itu dengan pikiranku sendiri.”
“Oh. Jadi, kapan kau menemukannya?” tanya dokter Elisa.
-oOo -
Bersambung
Jadi, alurnya maju mundur nih... jadi, jangan bingung ya... aku kasih tulisan waktu kok.
Jangan lupa tetap dukung karyaku ya... Like, Komentar, Rating dan Favorit.
Kalau berkenan, boleh kok kasih hadiah dan vote.
Regards Me
Far Choinice
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Jans🍒
dei sdg tdk baik2 sja
2022-04-04
0
ZaaraItsMe
Horor.. ngeri2 sedaapp
2022-03-30
0
Mom FA
aku hadirr torr🥰
2022-03-11
0