31 Januari 2022
“Pagi,” sapa sebuah suara yang belum cukup mampu mengalihkan pandangan Dei dari lamunannya.
Dei bergeming. Dia nampak memainkan jari jemarinya yang dingin. Matanya menerawang kosong sesaat lalu kembali sibuk dengan rasa bimbangnya sendiri. Hawa dingin menyeruak, ruangan ini memang selalu dingin. Begitu khas dan memenjarakan rasa gusarnya semakin dalam. Tapi, dia tidak bisa keluar dari sana. Tidak untuk beberapa saat.
“Jadi, bagaimana semalam?” tanya suara itu lagi.
Suara lembut namun tegas itu membuat Dei mendongak. Suara yang terlihat kontras dengan sosok pemiliknya. Seorang wanita tengah baya dengan mengenakan blazer cokelat susu yang menutupi mini dress putih selututnya, menyeret kursi dan duduk di sana, menghadap ke arah Dei. Wanita itu mengeluarkan sebuah note kecil dengan bolpoint sementara ia nampak siap menulis apa yang akan ia dengarkan, matanya menatap lurus ke arah Dei dari balik kacamatanya yang bertopang pada hidung mancungnya, menunggu jawaban dari Dei. Benar-benar sosok tegas dengan tatapan intimidasi yang cukup kuat. Auranya membuat Dei cukup memulai gerakan kecil.
“Apa ada yang tidak beres? Ceritakan saja padaku.” Ucapnya lagi. "Ceritakan semuanya... padaku. Aku akan berusaha membantu, aku janji."
Dei menarik napas sebelum menjawab pertanyaan dokter Elisa—wanita di hadapannya— sambil memainkan jari jemarinya cemas. Matanya nampak cowong seolah kurang tidur dan nampak begitu lelah, “Aku memimpikan mama kembali, dok. Aku mengingat hari itu. Lagi. Aku ingat bagaimana papa meregang nyawa di hadapanku,” Dei terdiam dan merasakan dadanya sesak dengan air mata yang mengambang di kelopak matanya, “Mimpi buruk ini datang lagi. Mimpi buruk yang menyeretku untuk merasakan kengerian yang sama saat aku mencium bau anyir darah papa. Saat aku... merasakan tangan dingin mama menyentuhku. Aku bisa merasakan semua itu seolah nyata. Dalam mimpi burukku.” Dei hanya bisa mendesah dengan mata berkaca-kaca. Hal yang sudah ia lalu setelah sekian lama. Terus berulang. Lagi dan lagi. Dia merasakan dadanya berdebar dalam ketakutan tersebut jika mengingat semua kenangan itu.
“Hmmm... ,” dokter Elisa manggut-manggut kecil. Ia mencatat ucapan Dei dengan cepat, "Aku bisa merasakan bagaimana kondisi saat itu. Kamu masih cukup kecil. Dan, jelas itu bukan kenangan yang baik untuk diingat.
“Mimpi burukku. Semakin menyeramkan. Aku bisa merasakan rasa takut di setiap cengkal tubuhku. Gigil.” Dei menggosok kedua lengannya sambil menghela napas. Lagi. "Seolah mama sungguh datang lagi padaku."
Dokter Elisa terdiam sambil mencatat beberapa hal di atas note kecilnya lalu memainkan bolpointnya, mengetuk-ngetuk ujungnya ke permukaan meja dengan irama lambat, “Jadi... Setelah sekian lama. Mimpi itu kembali datang.” Dokter Elisa menatap Dei cukup lekat, “Lalu... obat yang terakhir aku berikan di pertemuan terakhir kita minggu lalu, apa kau meminumnya? Apa itu membantunya mengatasi mimpi buruk ini?” tanya dokter Elisa.
Dei mengangguk kecil “Yah... cukup membantu awalnya. Tapi, aku tidak mau terus bergantung pada obat itu, dok. Membuatku seperti pesakitan yang mengerikan.” Dei nampak tertunduk lesu. "Aku cukup lelah meminum obat itu. Aku memang sudah lelah dengan semua ini."
“Oke. Aku akan memberikan obat lain padamu. Lebih kuat namun tidak akan mebuatmu kecanduan," kembali, dokter selasa menuliskan sesuatu di notenya dengan cukup cepat. Lalu, ia kembali mendongak ke arah Dei sambil tersenyum tipis, "tapi... bisa kita memulai hal lain?” tanya dokter Elisa. "Kita bisa mulai menceritakan hal lainnya lagi selain mimpi burukmu. Sesuatu yang... hmmm, cukup penting untuk kita ketahui. Untuk ku ketahui."
Dei menghela napas panjang. Bukan tentang obat. Ini tentang sesuatu yang lain. Dia ada di sana bersama dokter jiwa yang anggun itu untuk hal lain yang lebih penting. Dokter Elisa menyunggingkan senyum kecilnya, selalu. Dokter itu selalu tersenyum anggun dan menawan. Menenangkan. Meski terkadang nada dan auranya tegas mengintimidasi, tapi dia tetaplah sosok yang menawan.
“Tentang apa? Apa yang sedang anda butuhkan dariku?” tanya Dei kemudian. Ia mencoba mengalihkan topik. Karena sejujurnya, dia tidak cukup punya keberanian untuk menceritakan kembali sesuatu yang lebih kelam dari mimpi buruknya.
“Mimpi burukmu yang lain.” Ucap dokter Elisa tegas sambil menghentikan permainan bolpointnya.
“Yang lain?” Dei berpikir sejenak lalu menatap dokter Elisa takut-takut, “Yang itu... ?” tanya Dei lagi dengan wajah tegang. Pada akhirnya, Dei memang harus menceritakannya, khan? Dia ada di sana, memilih dokter Elisa yang terbaik untuk menyelesaikan semua ini.
“Yah... aku... ingin mendengar detail-nya lebih jelas. Ini adalah apa yang harus aku lakukan sebagai psikiater kamu.” Dokter Elisa menarik napas kecil, mengambil jeda sejenak, “Dei... Apa kamu percaya padaku? Bukan... hmmm... tepatnya, bisa percaya padaku? Sebagai dokter?” tanya dokter Elisa.
“Jika aku tidak percaya, kita tidak akan berada di sini sekarang. Aku butuh tempat bercerita. Aku tidak bisa memendam ini terlalu lama.” Kegusaran Dei sedikit memudar. Dia memang sengaja memilih dokter Elisa. Karena dia sungguh ingin menceritakan semuanya. Semua yang membuatnya kian gigil dan terkurung dalam ketakutan. “Tolong aku, dok... .” nada Dei jelas menunjukkan nada putus asa.
Dokter Elisa tersenyum simpul dan mulai serius mendengar cerita Dei selanjutnya setelah sebelumnya meneguk setengah air putih dari gelasnya. Dei menatap setiap gerakan dokter Elisa dengan seksama. Ah, sungguh konteks yang elegan. Menawan. Wanita yang akan selalu menjadi impian banyak laki-laki. Kecuali untuk profesinya, akan banyak yang mengerutkan dahi terkejut. Dokter seluwes dan seanggun ia, memilih spesialisasi yang cukup unik dan aneh.
“Berceritalah... .” ujar dokter Elisa.
“Baiklah... ,” Dei menarik napas dalam yang panjang.
Ia menggeser duduknya hingga mendekati ujung bangkunya lalu meletakkan tangannya di atas meja. Matanya sesaat menyorotkan keraguan namun dorongannya untuk bercerita semakin kuat. Dia harus siap. Dia mulai berpikir, dia akan memulai cerita ini dari mana. Dia harus memilih waktu yang menjadi permulaan dari mimpi buruk yang terus menghantuinya.
“Jadi, semua dimulai sejak saat itu... mama membunuh papa dengan cukup kejam. Di hadapanku.” Dei menjilat bibirnya sejenak, “Tapi, yah... itu hanya kisah lama. Dan, setelah, Sepuluh tahun berlalu, mimpi buruk itu tiba-tiba datang kembali... .”
“Datang kembali? Tiba-tiba saja? Apa ada pemicunya?” tanya dokter Elisa yang semakin penasaran.
“Yah... mungkin memang ada sesuatu yang membuat hal buruk itu muncul. Menurutku... kutukan mungkin. Kutukan dari mama... .”
“Kutukan?”
Dei mengangguk ragu, “Anda percaya pada kutukan?”
“Tergantung.” Dokter Elisa mendesah pendek, “Kamu percaya?”
“Mimpi buruk yang adalah kutukan bagiku? Tentu aku percaya. Itu benar-benar menyiksaku.” Dei perlahan mulai hanyut dalam ingatannya. Otaknya mulai menggali kembali ingatan terkelamnya, "Jadi, malam itu... ."
-oOo-
Bersambung
Nah, ayo-ayo like, komentar, ratingnya...
kalau berkenan, bisa kasih sedikit hadiah dan vote untuk karyaku.
jangan lupa untuk mampir di novelku yang lain.
Marry To me yang gak kalah bikin ketagihan.
Regards Me
Far Choinice ^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Your name
Hmm, apalagi obat seperti itu bisa aja ada efek sampingnya. Sekiranya apa yang ganjel di dalam hati lebih baik di keluarkan, daripada terus-terusan bersarang, kan tidak baik. Lanjut Thor.
2022-04-06
1
ZaaraItsMe
Hmm.. alurnya penuh misteri
2022-03-29
0
Jans🍒
penyembuhan pasca trauma
2022-03-28
0