Permulaan

23 Agustus 2020

 

           Jam satu tengah malam, lewat dua menit dan Dei terbangun dengan tubuh berkeringat. Ia merasakan perasaannya serasa tidak nyaman dengan tubuh gigil. Ia tercenung sambil menyingkap rambut ikal panjangnya ke belakang kepala, basah dan pekat oleh keringat. Wajahnya memucat pasi. Napasnya terengah dan dadanya berdebar kencang. Mimpi itu datang lagi. Mimpi buruk yang ingin ia lupakan. Setelah sekian lama nyaris terlupakan dan sekian lama mengkonsumsi obat penenang, mimpi buruk itu kembali menemukan jalan untuk kembali menghantui Dei. Dei menatap kedua tangannya yang bergemetar.

           “Mama... ,” erang Dei sambil mencengkeram permukaan kain babydoll biru lautnya. Mencoba menekan rasa gusar yang mulai menyerang ya.

           Seluruh nadinya berdesir aneh saat kembali mengingat bagaimana rupa papanya. Bagaimana detik-detik papanya meregang nyawa. Tentang bagaimana darah menempel di seragamnya kala itu. semua masih membekas secara nyata. Sekian lama ia melupakannya. Kenangan itu datang kembali lagi, menghadirkan rasa takut untuk Dei. Dei memejamkan mata sejenak. Mencoba mengatur napasnya.

‘ Bernapas, Dei! Bernapas!’

           Dei menghembuskan napas panjang dan mencoba menepis apa yang berkecamuk di otaknya. Dia membuka matanya kembali lalu menyingkap selimut tebalnya, lalu turun dari ranjang, melangkah kecil meninggalkan kamar menuju dapur. Lemari es nampak setengah penuh namun Dei tidak menemukan air di dalam botol bening yang tersimpan di sana. Dia mendengus seraya meraih sebuah kaleng minuman soda yang nampaknya tersisa setengahnya lalu meneguknya habis. Ia menyandarkan pinggulnya ke meja dapur dan kembali terdiam. Beruntung, air soda masih mampu menebus ion dari keringatnya yang baru saja terkuras habis. Namun, dia masih merasakan tubuhnya lemas.

      “Sssssshhhhh... hmmmpph ,” Dei melenguh kecil, menghembuskan napas sisa ketakutannya sambil meneguk sekali lagi isi kaleng sodanya.

           Sepuluh tahun dan rupanya, waktu selama itu tidak cukup mengubur mimpi buruk itu. Dei, menjadi saksi atas kematian papanya. Tidak hanya itu, sehari setelah membunuh papanya, mamanya ikut mati dengan bunuh diri. Mamanya melompat untuk bunuh diri. Dan, parahnya lagi, Dei menyaksikan kejadian itu dengan matanya sendiri. Dia harus ada di saat papa dan mamanya meregang nyawa. Dei yang masih kecil, harus diganti kenangan yaang luar biasa buruk. Benar, Sepuluh tahun tidak akan cukup untuk mengubur kenangan itu.

 

           “Mama menebus dosa besar. Mama menghukum diri Mama sendiri. Jangan bersedih, sayang... mama akan di sisimu selalu dan menjagamu di balik kegelapan. Mama janji. Mama sayang Dei.”

 

           Dei meletakkan kaleng soda kosongnya ke meja sementara ia mendekap diri, mengelus kedua bahunya yang semakin bergidik ngeri. Mendadak, ia merasakan hawa dingin mencuat di sekelilingnya, cukup membangkitkan bulu kuduk Dei. Dia ingat kalimat terakhir yang diucapkan sang mama sebelum mengakhiri hidupnya sendiri kala itu.

 

           Di balik kegelapan... .

 

           Dei meneguk air liurnya dengan sekuat tenaga, menatap ngeri pada kegelapan akan keremangan cahaya di sekitarnya. Dia serasa tengah diperhatikan di di kegelapan itu. Semakin bergidik, Dei memutuskan segera kembali  ke kamarnya lagi, bergelung dan bersembunyi di balik selimut tebalnya. Dei menatap langit-langit kamarnya dan kembali memejamkan mata, berharap mimpi itu tak lagi datang.

           Tidak, Dei... tenang... tenang. Mama sudah meninggal. Itu hanya sekedar ucapan kosong.

           Dei mencoba memejamkan mata, tenggelam dalam kegelapan fana dan terlelap kembali. Tanpa Dei sadari, lampu kamarnya berkedip-kedip sesaat lalu meremang dan menghadirkan kegelapan di sekeliling Dei. Lalu, sesosok bayangan muncul, menatap Dei yang terlelap dalam diam.

      Dei... mama selalu di sisimu.

 

-oOo-

 

           Dei sibuk membaca sms dari Langit, sosok yang paling sabar dan paling bisa membuat Dei tenang. Seulas senyum merekah di bibirnya. Gelora di dada kembali membuncah oleh kerinduan. Setidaknya, memberinya ruang lega setelah mimpi buruk semalam.

 

From : Langit

           Kutunggu jam tujuh tepat. Kita ketemu di sana. Oke?

 

           Dei mengetikkan sms balasan dan mengirimnya kembali pada Langit—Kekasihnya selama dua tahun terakhir— lalu menyusupkan kembali ponselnya ke dalam saku celemek cokelat tuanya. Dei membuka microwave jumbo di depannya dan mengeluarkan satu nampan berisi kue berbentuk segilima, aroma kue yang menggoda membuat perut Dei keroncongan. Dia meletakkan nampan itu di atas meja dan ganti memakai sarung tangan plastik sembari memotong ujung plastik berisi cream cokelat, hiasan untuk kue berbentuk segilima yang asapnya nampak masih mengepul itu, fresh from the oven. Aroma kue bercampur coklat menggoda, membuat air liurnya cukup tergiur.

           “Kamu jadi jalan sama Langit, Dei?” tanya Yuna—Sahabat Dei— yang tiba-tiba hadir di sebelah Dei.

           Dei melirik kecil ke arah Yuna lalu mengangguk singkat. Dei dan Yuna telah berteman sejak mereka berusia enam belas tahun. Mereka sama-sama berasal dari panti asuhan. Setelah Dei yatim piatu, dia dibawa ke panti asuhan oleh kerabat jauhnya. Dan, Dei yang pendiam sulit berkomunikasi dengan anak lain. Terlebih, setelah kenangan menyakitkan itu. Hanya Yuna yang berhasil membuat Dei nyaman dan menjadi sahabat baik hingga sekarang.

      Tapi, Yuna cukup beruntung, dia diadopsi keluarga sederhana setelah tiga tahun Dei ada di panti asuhan itu. Sementara Dei, masalalunya yang kelam serta setelah menjadi mantan pesakit di sebuah Panti rehabilitasi gangguan kejiawaan, dia harus puas dengan berada di panti asuhan selama sisa masa remajanya sampai Yuna menawarkan bantuan pada Dei untuk hidup mandiri. Jadi, Yuna menawarkan pekerjaan di Toko Roti miliknya. Cinderella Pastry.

           “Aku cukup lama nggak denger kabar tentang dia. Titip salam, ya? Aku dengar, Harmonia akan launching album keduanya tengah tahun ini. Wah, pasti menyenangkan punya pacar artis.”

           Dei terkekeh kecil menanggapi godaan dari Yuna. Yuna nampak semakin senang menggoda Dei dengan menyenggol kecil lengan Dei. Dei menoleh kecil pada Yuna yang tampak seperti anak kecil.

           “Apaan sih, Yuna... jangan lebay,deh... .”

           “Kapan nih, masuk ke jenjang yang lebih seriusnya?” tanya Yuna, mengabaikan omelan kecil dari Dei barusan.

           “Apaan sih, Yun... Masih enjoy aja dengan status pacaran. Lagipula, karirnya sebagai drummer Harmonia lagi di puncaknya, aku nggak mau ganggu impiannya.”

           Sebuah helaan napas kecil keluar dari bibir Dei. Yah, sebenarnya dia memang berharap lebih. Berapa umurnya sekarang? Dia butuh pendamping alih-alih pacar. Tangan Dei masih dengan cekatan menghias kue-kue hangatnya dengan krim kocok berwarna krem.

           “Duh, nggak mau ganggu apa karena fans ceweknya pada labil?” tanya Yuna setengah tergelak.

           “Nggak ada hubungannya ama fans labil, tuh. Serius. Cuman lagi pingin mengalir aja... .”

           “Bo’ong banget kamu,” Yuna menjulurkan lidah dan semakin membuat Dei gemas.

           Dei tertawa lebar sambil mulai memasukkan kue-kue yang baru ia hias ke dalam plastik kecil sebelum dipajang di etalase toko. Pikiran Dei melayang sejenak, ia teringat akan kisah cintanya dengan Langit. Seorang drummer dari band ternama, Harmonia. Lucu. Dei yang hanya pekerja di toko roti, bisa berkencan dengan Langit. Semua terjadi sejak mereka di SMA, sejak Langit belum menjadi apapun. Mereka berteman baik sampai kemudian resmi jadian dua tahun yang lalu. Jika dipikir, Dei memang tergolong beruntung. Dia punya sahabat sebaik Yuna dan pacar setampan Langit. Harusnya, dengan semua yang ia miliki saat ini, tidak ada alasan bagi masalalu kelamnya untuk datang. Harusnya. Tapi, kenangan itu tetap kuat bercokol dalam otak Dei. Sebanyak apapun obat penenang yang ia minum, selama apapun ia pernah berada di pusat rehabilitasi, mimpi buruk itu akan terus menyapanya, mengendap-endap untuk mencuri mimpi indahnya.

           “Eh, beneran jangan lupa titip salam ya buat mereka. Kapan-kapan suruh mampir ke toko kue. Ntar aku buatin kue enak,” ujar Yuna tepat sebelum Dei pergi meninggalkan pantry, berusaha untuk menggoda Dei.

           Dei memutar bola matanya lalu tersenyum kecil. Ia menatap Yuna dengan kerlingan menggoda. Giliran Dei yang menyenggol bahu Yuna penuh godaan, Yuna melengos kecil, semakin membuat Dei girang untuk menggoda sahabatnya ini.

           “Siapa yang disuruh mampir? Langit? Harmonia? Atau... Deka?” tanya Dei sambil menahan senyum saat mendapati Yuna merona merah saat Dei menyebut nama Deka, gitaris Harmonia yang diduga Dei tengah ditaksir Yuna.

           “Apaan sih... Harmonia-lah... Aku khan juga kangen ama cerewetnya si Sherin,” ucap Yuna memukul kecil bahu Dei.

           “Percuma. Kamu udah ketangkep basah,” sahut Dei sambil melenggang meninggalkan pantry menuju counter.

           Dei menata rapi kue-kuenya ke dalam etalase toko saat Yuna mengekorinya namun memilih duduk di kursi belakang counter, membaca sebuah majalah setelah mengomeli Dei yang terlalu banyak menggodanya dengan Deka. Dei terkekeh kecil lalu mulai menata kue-kuenya berjejer manis di dalam etalase.

           Wush. Semilir angin berhembus, membuat Dei menggigil kecil namun masih sibuk menata kuenya.

           “Berapa kue ini, Kak?” tanya sebuah suara tiba-tiba.

           Dei berjengit kecil dan menoleh ke arah gadis yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Dei melirik sekitarnya dan berpikir kecil, sejak kapan gadis itu di sana? Dei menghela napas pendek dan menatap kue di tangan gadis itu. Dei menelisik kecil ke arah gadis itu. Rambutnya terurai panjang dan agak kusut, pakaiannya berwarna krem dan dengan sepatu kets hitam.

           “Itu harganya tujuh ribu lima ratus. Mau beli? Sini, saya bungkuskan,” ucap Dei.

           “Saya mau langsung makan. Nih uangnya,” ujar gadis itu datar sambil menyodorkan uang sepuluh ribuan pada Dei.

           “Tunggu sebentar, ya... saya ambilkan kembaliannya.”

           Dei berbalik hendak menuju counter saat ia merasakan semilir angin dingin kembali berhembus. Semilir angin yang membuatnya bergidik sekaligus membuatnya ingat jika gadis barusan itu adalah pelanggan tetap toko ini. Seorang gadis SMA yang selalu datang akhir pekan untuk membelikan kue mamanya. Dei hampir melangkah kembali saat ia merasa ada yang aneh. Sebuah ingatan lain kembali muncul, membulatkan kedua mata Dei dalam ketakutan.

           “Gadis itu... ,” lirih Dei sambil membalik badannya ke arah gadis tadi dengan perlahan dan wajah yang memucat, "Bukankah... dia... Sudah mati,” desah Dei yang nampak tercengang dalam diam saat menemukan gadis itu tak lagi ada di sana. Lenyap.

           Dei merasakan hawa dingin semakin menyeruak hebat, dia nampak menelisik ke sekelilingnya yang kosong. Tangan Dei dingin. Ia mengangkat telapak tangannya yang baru menerima uang dari gadis tadi.

           “Ahhhh!!!” Darah. Darah mengalir hebat dari kedua tangan Dei, "Aaaaaarrgghh!!!”

           “Dei!!!” pekik sebuah suara bersamaan dengan sebuah tepukan di pundak.

           “Woaa!!!” Dei berjengit kecil, melompat menjauh dan berbalik.

           “Apaan sih? Ini aku, Yuna!” pekik Yuna yang berdiri di depan Dei dengan wajah bingung.

           “Yuna... ,” desah Dei sekaligus bernapas lega, ia menyentuh lengan Yuna. Yah, dia memang Yuna.

           Dei menatap kembali tangannya yang kosong. Tidak ada uang ataupun darah. Dia menatap sekelilingnya sekali lagi. Kosong. Hanya ada etalase berisi roti-roti yang berjejer di sudut-sudut toko serta pintu yang masih tertutup dengan bel yang tidak berdenting sama sekali. Napas Dei terengah-engah saat Yuna memegang pundaknya lembut, menarik kembali fokusnya.

           “Kamu kenapa?” tanya Yuna,”Keringetan gitu. Kamu tadi juga ngomong sendiri.”

           Dei nampak linglung,”Tadi... itu... aku... ,” Dei menyeka keringat dingin di keningnya lalu menggeleng lemah,”Nggak ada apa-apa. Sorry. Aku ke toilet bentar.”

           “Kamu yakin, nggak apa?” tanya Yuna yang diabaikan Dei dengan satu kibasan tangan sementara ia melenggang menuju toilet dengan wajah masih pucat.

           Dei melangkah gontai namun ia menyempatkan diri menoleh ke luar toko. Di sana, Dei melihat gadis yang mati itu berdiri, menatapnya kelam. Dei melengos cepat dan segera menghilang demi menghindari sosok menyeramkan itu.

 

-oOo-

Bersambung

Hayooo.. jangan lupa like, komentar, fav dan rating ya...

kalau berkenan, kasih hadiah dan vote juga...

Mampir juga di novel Marry to Me yang bakal bikin kalian ketagihan... ^^

Regards Me

Far Choinice

Terpopuler

Comments

Your name

Your name

Kenangan kelam masih kecil Dei juga menyebabkan ia mengidap pobia "nyctophobia" memiliki rasa takut yang berlebihan terhadap kegelapan, bahkan di kamar tidurnya sendiri.

2022-04-15

1

Jans🍒

Jans🍒

mmpi bruk s pngganggu tdr nyenyakk

2022-04-04

0

Jun!!!

Jun!!!

Hi kak, Aku datang berkunjung ni.

2022-04-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!