Air dingin nampak mengalir dari kran berwarna perak. Dei termenung menatap cermin, wajahnya masih menyisakan rasa penasaran sekaligus rasa takut. Perlahan, ia mengangkat kedua tangannya dan teringat saat telapak tangan itu berdarah. Dei menelan ludahnya sekuat tenaga, bau anyir darah membekas, membuatnya kembali merasakan rasa takut. Sekujur tubuhnya nampak bergetar. Dei memejamkan kedua matanya dan membiarkan napasnya terhela dengan perlahan. Tangan kanannya terangkat dan tergenggam di depan dadanya, bergerak mengikuti ritme kembang kempis dadanya serta merasakan betapa dadanya masih berdebar-debar. Sebuah kejadian yang cukup membuatnya ketakutan.
Darah. Pekat. Merah. Amis. Pikiran Dei kalut, dia berkeringat dingin mengingat cairan kental nan pekat itu, membawa kembali ketakutan dalam relung hatinya. Sebuah monster serasa bangkit dan mulai menggeletik rasa tenangnya.
“Dei... rileks,” lirihnya pada diri sendiri. Namun, dia justru semakin tenggelam dalam rasa takutnya. Ingatannya semakin liar terkuak.
Kembali, Dei melihat tubuh papanya penuh darah. Tangan mamanya penuh darah. Baju seragam kecilnya penuh darah. Tiba-tiba dia mengingat kembali kuburan memori mengerikannya. Dei menggeleng kencang sambil menepuk pipinya dengan cepat.
Jangan ingat. Jangan ingat. Bernapas normal, Dei. Jangan ingat.
Suara itu menggema, cukup untuk membuat Dei linglung namun tangan kirinya yang memegang dinginnya washtavel, membuatnya tersadar jika semua yang membuatnya bergetar hanya ilusi. Dei kembali membuka kedua matanya saat ia merasakan sebuah getaran kecil dari ponselnya. Dei merogoh kantong celemeknya dan membaca sebuah pesan singkat dari Langit.
From : Langit
Maaf, acara malam ini batal. Harmonia harus segera ke Surabaya. Ada konser di sana. Maaf, Dei. Maaf.
Dei menghembuskan napas panjang. Wajahnya lesu, kecewa. Dua bulan adalah waktu yang Dei tunggu untuk bisa bertemu dengan Langit. Tapi, itupun berakhir dengan kekecewaan. Langit, serasa semakin jauh.
“Langit, Aku kangen kamu. Aku butuh kamu.”
Perlahan, Dei menatap pantulan dirinya yang masih pucat. Ketakutan dan kekecewaan, membuat wajahnya kian murung seketika.
-oOo-
Angin malam berhembus sepoi-sepoi, namun cukup membuat Dei tergelitik. Ia menggigil sekilas seraya menyentuh tengkuknya. Ia menyusupkan kunci toko roti ke dalam tas sambil melangkah meninggalkan toko. Jam sepuluh malam dan hanya nampak beberapa kendaraan lalu lalang di jalanan. Dei melangkah dengan tangan merangkul bahunya yang masih serasa dingin meski ia telah mengenakan coat berwarna ungu pastel.
Sesekali, manik matanya menelisik sekeliling. Takut jika ada pengalaman tidak mengenakan lagi. Ia pun sedikit mempercepat langkah kakinya sambil menelusupkan tangan di saku coat nya.
Rumah Dei hanya berjarak tiga blok dari toko roti, menyeberangi perempatan dan melewati beberapa gang kecil. Dei terhenti di persimpangan jalan, menunggu lampu pejalan kaki berubah menjadi hijau. Beberapa orang nampak tidak sabaran dan memilih melawan terjangan mobil yang lalu lalang. Dei meringis kecil, kenapa orang-orang begitu terburu-buru, hanya menunggu beberapa detik demi keselamatan. Susah?
Dei menggeleng kecil dan merogoh ponselnya. Tidak ada pesan atau miscall dari Langit. Dei menggigit bibir bawahnya, kembali menyusupkan benda kotak itu ke dalam saku coat-nya. Seseorang nampak mensejajarkan diri di sebelah Dei. Dei melirik kecil ke arah orang itu dan kembali fokus menatap lampu pejalan kaki. Dia menatap jalanan yang ditemani gelap malam.
Namun, tak lama, Kening Dei berkerut, dia menyadari ada sesuatu yang aneh. Perlahan, Dei kembali melirik sepasang kaki yang berdiri di sebelahnya. Benar. Orang disebelahnya tidak memakai alas kaki apapun. Dekil dan lusuh, namun ujung kukunya terlihat memakai kuteks merah darah. Sepasang kaki yang diyakini Dei milik seorang wanita.
Pupil mata Dei berubah, membesar perlahan sementara ia merasakan tubuhnya kaku. Tiba-Tiba-tiba saja, ia teringat kejadian di toko tadi saat ia kedatangan sosok gadis langganan tokonya yang sudah meninggal. Sepasang kaki aneh di sebelahnya membuat ia merasa bergidik, ia merasa sulit bernapas secara mendafak. Dengan bergetar dan perlahan, Dei menoleh ke arah sosok yang baru hadir di sampingnya itu.
‘Bukan apa-apa. Pasti bukan apa-apa. Ini tidak mungkin.’
Dei menelan ludahnya sekuat tenaga dan menoleh tepat pada sosok itu. Dari samping, sosok itu nampak kaku, datar, pucat dan dingin. Namun, air mata Dei menggenang saat rambut sosok itu bergerak dengan kepala mulai berputar menghadapnya. Dei tercekat memandang mata sosok itu. Sebuah seringaian terbentuk dari bibir hitamnya. Mata sosok itu menatap lurus ke arahnya. Mata yang sangat Dei kenal.
“Mama... ,” lirih Dei tercekat.
Tiba-tiba, sosok itu bergerak mendekati Dei. Jarak mereka jadi begitu dekat hingga membuat Dei ketakutan. Dia selangkah demi selangkah mendekati Dei yang terdiam dalam ketakutan.
“Aaaarrgghhh!!!”
Dei memejamkan mata, mengumpulkan segenap keberaniannya lalu berlari menyeberangi jalan dengan secepatnya. Dia berlari begitu saja, mengabaikan lampu penyeberangan yang masih berwarna merah. Dia hanya tahu untuk berlari meninggalkan sosok mengerikan itu.
Tiiiiiinnnnnn.
Dei terhenti dan menoleh, sebuah lampu kuning yang menyilaukan membuatnya terhenti dengan mata terbelalak. Mobil itu mendekat dengan kecepatan hebat. Dei merasakan sesuatu yang berat dan dingin menempa tubuhnya. Dei seperti dihantam besi dingin yang besar dan membuat tulangnya remuk seketika. Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa ia hindari. Mobil itu menabrak hebat dirinya.
“Aaaahhh!!!”
Dei membuka mata dengan napas terengah, tangannya mencengkeram ujung selimutnya dan bergetar hebat. Ia terengah-engah dan menoleh ke sekelilingnya. Kamar. Bukan jalan raya. Tidak ada mobil, tidak ada sosok mama. Dei masih membelalakkan bola matanya ketakutan dan menghela napas berat. Dia menjamah tubuh bawahnya dengan panik. Dia masih hidup. Dia tidak ditarik dan tidak ada sosok mamanya yang menyeramkan.
Perlahan, Ia menarik lututnya lalu memeluknya, menangkupkan wajahnya di atas lengannya sambil terisak. Semakin lama, ia merasakan isakannya semakin kuat dengan air mata yang menetes.
“Kenapa... kenapa mimpi buruk ini datang? Kenapa mama harus ada di mimpiku? Kenapa?” isaknya.
Dei masih terisak dalam keheningan kamar hingga tak menyadari, sesosok wanita dengan tubuh bersimpah darah dan sebuah pisau dapur di tangan tampak tengah memandangnya, menyeringai dengan bibir hitamnya yang mengerikan. Kalender di sisi jendela kamar Dei berderai di tiup angin. Bergerak dan terhempas, terjatuh di atas lantai tepat terbuka sebuah tanggal.
24 Agustus.
Lalu tak lama, sosok wanita dengan pisau itu telah lenyap. Namun, sosok lain hadir di sisi luar sana bersama pekat malam. Sepasang kaki mengambang, melambung di luar jendela Dei. Sepasang kaki pucat penuh darah. Berdiam di sana, di antara gemerisik angin yang memainkan dedaunan pohon, melelapkan Dei dalam ketakutannya.
Yah, ketakutan Dei semakin dekat dan semakin nyata. Dan sosok itu terus berada di sana, mengamati Dei dalam diam di balik sepasang mata kelamnya.
-oOo-
Bersambung
Gimana, kalian masih menikmati alurnya? Agak sedikit lambat tapi memang aku mau menghadirkan setiap detail horornya. Jadi, agak lambat memang.
Tapi, tetap ikuti ya... jangan lupa like, komentar, rating dan favorit ya...
Kalau berkenan, kasih hadiah dan vote nya...
Jangan lupa juga, kalau kangen dengan Marry-Ravendra, kalian bisa baca di Marry To Me.
Regards Me
Far Choinice ^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
🥑⃟Riana~
Tambah penasaran aja...😅🤗
2023-06-30
0
Jans🍒
dei trauma drah?
2022-04-04
0
CumaAku
Haduuhh makin lama bikin gak tenang nih buku
2022-03-29
0