Dr. Djamal duduk di atas bebatuan sungai yang mengalir air dingin dan bening. Kedua kakinya sengaja ditenggelamkan di air bening yang mengalir itu hingga rasa segar menjalar ke seluruh tubuhnya.
Dr. Djamal menatap foto seorang gadis yang sangat cantik. Mengusap foto gadis yang sedang tersenyum itu hingga beberapa kali. Lalu menghapus air matanya yang menitik di sudut matanya. Setiap tahun menyambangi tempat yang menjadi favoritnya dan juga putrinya.
"Air disini segar Daddy! Leana betah main di sini!" teriak Leana sambil melambaikan tangannya.
Dr. Djamal hanya mengangguk sambil tersenyum. Bayangan itu selalu segar dalam ingatannya. Keceriaan putrinya saat berenang dan bermain air itu selalu menjadi kenangan indah baginya.
Leana, gadis berzodiak Pisces itu adalah sosok yang ceria dan mudah bergaul, memiliki rasa empati yang tinggi hingga paling suka membantu orang-orang yang sedang dalam kesusahan.
Leana sangat suka bermain air, sesuai dengan lambang zodiaknya yaitu ikan. Gadis itu sangat suka berenang hingga di kediaman mewahnya, Dr. Djamal menyediakan kolam renang eksklusif dengan berbagai jenis. Demi kebahagiaan putrinya yang merasa damai ketika bermain air ataupun berenang.
Orang bilang anak gadis yang mirip dengan ayahnya memiliki keberuntungan. Tapi, kenapa ini terjadi padamu Nak. Sedari kecil telah kehilangan ibumu saat remaja pun harus menderita kanker. Maafkan Daddy Nak, Daddy tak kuasa melawan takdir, batin Djamal sambil memandang putrinya yang asyik berenang di kolam pribadi miliknya.
Meski telah tersedia kolam renang indah di rumahnya, kejenuhan tetap datang. Leana ingin berenang di kolam renang yang lain. Namun perasaannya yang cukup sensitif dan mudah tersinggung dengan perkataan orang lain membuatnya merasa sedih.
Karena Leana harus menjalani kemoterapi hingga membuat rambutnya rontok, menjadi perhatian bagi orang-orang yang melihatnya. Leana tak mau lagi ke tempat wisata-wisata air dan tak mau lagi berada di tengah-tengah keramaian.
Dr. Djamal, saat menjadi mahasiswa adalah anggota Mapala. Mantan mahasiswa pencinta alam itu akhirnya mengajak putrinya berpetualang ke lembah-lembah yang dialiri sungai-sungai. Hingga akhirnya mereka menemukan sebuah lembah dengan sungai yang mengalir bening.
Leana tak tahan ingin segera menceburkan diri ke dalam sungai bening yang teduh itu. Leana merasa damai serta diselimuti rasa bahagia. Setiap liburan Leana akan mengajak ayahnya ke lembah dengan sungai yang mengalir air bening itu.
"Sekarang waktunya pulang ya Nak," ucap Djamal sambil menatap foto anak gadisnya.
Sejak putrinya meninggal, setiap tahun Dr. Djamal selalu memperingati hari kematian putrinya dengan datang ke sungai itu. Baru saja pemilik rumah sakit mewah itu menyimpan foto anak gadisnya, Dr. Djamal dikejutkan oleh suara benda jatuh ke sungai.
Laki-laki setengah baya itu menoleh ke arah tebing di hadapannya. Laki-laki itu langsung menghampiri dan terkejut saat melihat sesosok tubuh yang dikiranya mayat.
Dokter yang juga menjadi ketua yayasan kanker itu kaget saat melihat orang yang ditemukannya. Tubuh yang penuh luka dengan tangan yang patah, tak cukup membuatnya kaget. Dr. Djamal lebih kaget saat melihat wajahnya yang rusak parah dari pemilik tubuh itu.
Dr. Djamal memeriksa tanda-tanda kehidupan dari sosok tubuh yang ditemukannya itu ketika sosok penuh luka itu tiba-tiba terbatuk dan sadar.
"Papa …. Papa ….," ucap gadis itu lemah sambil berusaha menyentuh wajah Dr. Djamal.
"Ya ini Papa," ucap Djamal berusaha menjalin komunikasi dengan gadis yang misterius baginya itu.
"Tetaplah sadar, Papa akan membawamu ke rumah sakit," ucapnya dan segera menggendong Livia yang telah lemah ke pinggir sungai.
Dr. Djamal menghubungi rumah sakit dan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan. Sementara itu Dr. Djamal berusaha terus mengajak Livia bicara.
"Siapa namamu Nak?" tanya Djamal.
"Ini … Livia … Papa," ucap Livia terbata-bata sambil menatap bayangan hitam yang menghadap ke arahnya.
"Baiklah Livia, kita tunggu bantuan datang ya. Jangan tidur, tetaplah sadar!" seru Djamal menguatkan hati gadis yang ditemukannya itu.
Livia merasa berbicara dengan Tn. Robert Chandra, meski yang terlihat hanyalah bayangan hitam di antara silaunya langit. Namun bagi Livia tubuh dan suara dokter itu serasa seperti ayahnya. Rasa rindu Livia terhadap ayahnya membuat gadis itu bertahan untuk tetap bicara meski terbata-bata.
Tak lama kemudian Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan datang. Tim yang dikenal dengan SAR atau Search And Rescue itu mencari, menolong, dan menyelamatkan Livia. Dr. Djamal langsung membawa Livia ke rumah sakit miliknya.
Sepanjang perjalanan Livia selalu memegang tangan Dr. Djamal membuat dokter itu merasa iba. Livia yang sepanjang penantian tim SAR bercerita tentang perlakuan ibu tiri dan kakak tirinya. Seolah-olah mengadu pada ayahnya. Membuat dokter itu bertekad ingin mengangkat Livia sebagai putri angkatnya.
Sementara itu di kediaman keluarga Chandra, Shanty telah merasa sebagian rencananya berhasil. Warga perumahan elit itu telah mengetahui tentang Livia yang tak ditemukan. Dan meyakinkan warga disitu bahwa putri tirinya itu telah bunuh diri dengan menampilkan bukti rasa penyesalan dan kesedihan Livia. Rasa putus asanya hingga tak sanggup hidup lagi yang tertuang dalam buku harian Livia.
"Tapi di mana dia melakukan bunuh diri? Kenapa tidak ditemukan mayatnya?" tanya seorang warga yang cukup berpandangan kritis.
"Karena itulah kami masih menunggu kabar dari kepolisian. Mudah-mudahan Livia hanya pergi menenangkan diri saja," ucap Shanty dengan wajah risau namun dalam hatinya menggerutu.
Kurang ajar, berani-beraninya dia menaruh curiga. Mana yang lain pada ikut mengangguk lagi, batin Shanty.
Namun Shanty seperti mendapat pertolongan untuk memuluskan rencana busuknya. Tak lama kemudian terdengar kabar kalau ditemukan sesosok mayat beberapa kilometer dari lokasi di dorongnya Livia. Shanty yakin kalau itu adalah mayat Livia.
"Mom, Mommy yakin itu mayat Livia?" tanya Monica sambil berbisik.
"Ya pastilah!" bisik Shanty yakin.
"Tapi jauh dari lokasi kita mendorong Livia" tanya Monica lagi.
"Mereka bilang ditemukan di sungai. Pasti mayat Livia hanyut terbawa arus sungai," jawab Shanty.
Monica mengangguk-angguk. Shanty segera mengklaim bahwa mayat yang sudah tak jelas bentuknya itu sebagai anak tirinya. Surat kematian pun diperolehnya. Penyelenggaraan jenazah dilaksanakan di rumah sakit hingga jenazah itu dibawa ke kediaman keluarga Chandra dalam keadaan telah berada di peti.
Shanty dan Monica menyambut para pelayat dengan raut wajah yang terlihat sangat sedih. Namun kesedihan yang sebenarnya terjadi dalam diri Radian. Laki-laki itu merasa menyesal hari itu tak bersikap baik pada Livia.
Andai aku tahu itu adalah hari terakhirmu, aku akan menerima suapan sandwich darimu. Andai aku tahu hari itu adalah hari terakhirmu, aku akan bersedia menemanimu makan sandwich bersama denganmu, andai aku tahu … andai aku tahu, jerit hati Radian.
Air mata laki-laki itu mengalir, Radian yang penyendiri memilih tak menyambut para pelayat. Laki-laki yang tampan itu hanya bersandar di sebuah pohon yang berada di taman belakang rumahnya. Pohon di mana Livia biasa menangis, belajar dan tertidur dibawah pohon itu. Pohon yang diberi nama Fluffy karena baginya pohon itu adalah jelmaan kucing kesayangannya yang telah mati.
Livia kecil yang selalu menangis setiap kali teringat kucing kesayangan yang telah mati membuat Mina --ibunya-- memutar otak. Meminta suaminya menanam sesuatu di atas kuburan kucing itu. Tn. Robert pun menyanggupi dan keesokan harinya kedua suami istri itu mengajak Livia ke taman belakang yang luas itu.
"Livia lihatlah! Sekarang Fluffy telah berubah menjadi sebatang pohon," ucap Robert.
"Benarkah Pa?" tanya Livia kecil kagum sambil memegangi pipinya dengan kedua tangannya.
"Kucing kesayangan yang telah mati akan berubah menjadi pohon. Pohon ini akan tumbuh besar sama seperti Livia. Pohon ini akan selalu menemani Livia hingga tumbuh dewasa. Livia bisa berteduh di bawah pohon ini. Jika sudah berbunga, pohon ini akan sangat cantik sama cantiknya seperti Livia dan Fluffy," jelas Mina.
Livia bahagia, gadis kecil itu langsung memeluk kedua orang tuanya. Tn. Robert memberi papan nama berukir Fluffy pada Livia.
"Untuk sementara kita cantelin dulu kalau sudah besar baru kita pasang di pohonnya. Bagaimana?" tanya Robert.
Livia mengangguk, segera mencantolkan rantai papan ukiran Fluffy di dahan pohon itu. Kini pohon itu telah tumbuh tinggi, pohon Tabebuya yang berasal dari negara Brasil itu ketika berbunga, bunganya sangat lebat dan terlihat seperti sakura. Orang tua Livia memilih warna merah muda lembut sesuai dengan warna kesukaan Livia.
Radian mengusap papan nama yang terpasang di pohon itu seolah berpamitan. Laki-laki muda yang tampan itu memilih melanjutkan kuliahnya di luar negeri.
Kakak pamit … Livia! batin Radian.
Lalu meninggalkan rumah megah keluarga Chandra itu untuk menimba ilmu di luar negeri.
Shanty Rahayu bebas menguasai kekayaan almarhum suaminya. Sejak menunjukkan surat kematian Livia yang mana adalah satu-satunya keturunan Tn. Robert Chandra yang menjadi pewaris tunggal atas seluruh harta kekayaan pengusaha itu.
Shanty menunjuk Direktur Operasional sebagai CEO sementara menggantikan Tn. Robert Chandra hingga putranya Radian menamatkan kuliahnya di luar negeri.
Sementara itu, Livia dijadikan putri angkat oleh Dr. Djamal dan dibawa ke luar negeri untuk dilakukan rekonstruksi wajah. Livia yang telah berubah menjadi cantik dengan wajah yang sangat mirip dengan wajah Leana, putri Dr. Djamal yang telah meninggal dunia.
Menempuh pendidikan di luar negeri dan berhasil menjadi CEO di perusahaan yang didirikannya sendiri. Livia Chandra yang telah hidup sebagai putri angkat Dr. Djamal mengganti namanya menjadi Leana Djamal persis seperti putri kandung dokter itu. Hidup sebagai putri kandung Dr. Djamal dan disayangi seperti putri kandung dokter itu.
"Kamu akan kembali ke Indonesia?" tanya Djamal melalui sambungan langsung internasional.
"Ya Daddy, aku akan menjadikan kantor cabangku di Indonesia sebagai kantor pusat. Aku ingin berkumpul dan tinggal lagi bersama Daddy," jawab Leana sambil memandang panorama city lights melalui kaca besar penthouse miliknya.
Sebuah unit mewah yang berada di lantai teratas gedung apartemen dengan harga premium untuk satu unitnya. Menawarkann keindahan pemandangan dari lantai teratas gedung pencakar langit itu. Memiliki semua fasilitas di dalam satu unit hingga semua kegiatan bisa dilakukan dengan lebih privasi dan ekslusif karena menguasai satu lantai khusus untuk satu unit hunian
Memberikan sensasi kemewahan yang luar biasa dengan fasilitas yang menakjubkan dalam sebuah kenyamanan privasi. Namun dibalik semua yang dimilikinya, Leana merasa kesepian. Leana sangat bersyukur akan limpahan kasih sayang yang diperolehnya dari ayah angkatnya.
Namun dibalik itu ada kepedihan di hatinya, yaitu rasa sedih dan bertanya-tanya kenapa keluarganya sendiri begitu membencinya hingga tega membunuhnya.
"Baiklah sayang kalau begitu katakan saja pada Daddy kapan pesawatmu landing, Daddy akan siap sedia menjemputmu di bandara," ucap Djamal.
Leana tertawa, karena mengingat sesuatu.
"Tidak perlu Daddy, ada orang yang akan menjemputku," ucap Leana.
"Oh ya? Siapa itu?" tanya Djamal.
"AKU?" tanya Radian setengah berteriak pada Mikho, personal assistant-nya.
"Benar Tuan. Nona Leana tidak bersedia dijemput kecuali oleh Tn. Radian. Jika Tuan tidak menjemput Nona Leana di bandara maka kontrak kerjasama dua perusahaan ini akan dibatalkan," jelas Mikho, personal assistant Radian.
Radian menghempaskan punggungnya di kursi kebesarannya. Kursi untuk jabatan CEO pada PT Cahaya Chandra milik keluarganya.
Dan kini, CEO tampan itu harus berdiri berdesakan dengan para penunggu kedatangan internasional seperti keinginan rekan bisnisnya. Kertas karton berwarna putih yang bertuliskan nama Leana sama sekali tak pernah diangkat di atas kepalanya. Radian merasa gengsi untuk melakukan semua itu.
Sial! Aku ini CEO, enak saja dia memperlakukanku seperti ini. Awas saja kamu Leana! Seperti apa sih orangnya? Sombong sekali, lihat saja, aku akan balas perlakuanmu ini, batin Radian menggerutu.
Laki-laki itu kesal harus meninggalkan kantornya demi berdiri menunggu wanita yang sama sekali belum dikenalnya. Radian berdiri kacak pinggang dengan sebelah tangannya memegang karton putih bertuliskan nama Leana dan sebelah tangannya memijat pangkal hidungnya.
Sial …, sial …, siaal…! batin Radian masih menggerutu.
Hingga penumpang kedatangan internasional mulai berdatangan. Satu persatu dari mereka bertemu penjemputannya, sahabat, keluarga, saudara, kebanyakan dari mereka saling menyapa, bersalaman bahkan berpelukan dengan wajah yang ceria.
Radian menoleh pada wajah-wajah tak sabar namun ceria di sampingnya. Hanya wajah Radian yang terlihat kesal. Meski sebagian kecil dari para penunggu itu ada yang saling tak mengenal hingga terpaksa mengangkat karton bertuliskan nama, namun wajah mereka tak menunjukkan wajah kesal.
Leana menatap dari balik pintu kaca itu dan langsung tersenyum saat melihat laki-laki yang sangat dikenalnya itu.
Kak Radian, makin ganteng saja dia, tapi … kenapa wajahnya cemberut begitu? Batin Leana sambil membuka sedikit kaca mata hitamnya.
Gadis itu meneruskan langkahnya keluar melewati pintu kaca kedatangan internasional itu.
Sombong sekali, dia tidak mengangkat karton bertuliskan namaku. Justru diremuk begitu saja. Baiklah kita lihat siapa yang bisa bertahan, batin Leana sambil berdiri, dengan wajah yang menoleh kanan kiri, seolah-olah mencari penjemputnya.
Radian tak kunjung mengangkat kertas bertuliskan nama Leana.
Kalau perlu sampai besok pagi kita berdiri di sini, sebelum mengangkat kertas itu aku tidak akan peduli, batin Leana.
Leana bersikap tak acuh, namun kadang mata mereka bertemu. Beruntung Leana sembunyikan matanya di balik kacamata hitamnya. Karena jika tidak Radian akan tahu kalau matanya terbelalak dan jantungnya berdebar kencang.
Jangan-jangan dia orangnya, tapi kenapa tak bertanya padaku? Kalau kamu orangnya, lihat saja! Jangan harap aku akan menghampirimu. Kalau perlu sampai besok pagi kita berdiri di sini, batin Radian kesal.
Laki-laki itu menatap lurus ke arah Leana. Menatap gadis cantik itu dengan tatapan mata yang tajam. Debar jantung Leana semakin kencang namun gadis itu berusaha untuk terlihat tenang.
Angkat kertas itu, maka aku akan menghampirimu, batin Leana.
Radian menghembuskan napas berat. Perlahan akhirnya laki-laki itu melangkah mendekati wanita cantik yang berdiri lurus dihadapannya.
"Kamu yang bernama Leana Djamal."
"Ya."
"Kenapa tidak menghampiriku?" tanya Radian.
"Kenapa aku harus menghampirimu?" ucap Leana balik bertanya.
"Kamu pasti sudah tahu dari tadi kalau aku yang akan menjemputmu,"
Ya, batin Leana.
"Bagaimana aku bisa tahu?" tanya Leana membalas tatapan Radian.
Meski gadis itu harus mengangkat wajahnya demi menatap mata laki-laki bertubuh tinggi itu. Radian menelan ludah ditatap seperti itu.
"Kamu pasti sudah mengira kalau aku … orang yang akan menjemputmu," ucap Radian lagi.
"Aku tidak suka mengira-ngira, aku tidak melihatmu mengacungkan kertas bertulis namaku," jawab Leana lagi.
"Ini kertas bertuliskan namamu," ucap Radian sambil mengibaskan di samping pahanya.
"Aku tidak melihatnya."
"Ini … ini … ini!" ucap Radian dengan kesal.
Leana memalingkan wajahnya.
"Kalau begitu acungkan, sama seperti yang lain," ucapnya sampai menunjuk dengan meruncingkan mulutnya pada penunggu lain yang mengangkat kedua tangan sambil memegang kertas bertuliskan nama.
"Aku tidak mau!" jawab Radian ketus.
"Ya sudah," ucap Leana kembali memalingkan wajahnya.
Radian menghembuskannya nafas berat, Leana menahan tawanya. Akhirnya Radian mengangkat kertas bertuliskan nama itu di depan perutnya. Leana cuek. Laki-laki itu menaikan setinggi dadanya. Leana malah menatap kuku jarinya. Radian mengatupkan giginya menahan emosi.
Kembali meninggikan kertas itu terus, terus, terus hingga di atas kepalanya. Leana tersenyum.
"Ayo."
Radian meremuk kertas itu hingga membentuk bola dan ingin melemparnya ke arah gadis itu yang telah berjalan di depan dengan anggunnya.
Sabar, sabar, sudah sampai sejauh ini, aku sudah kalah satu kali. Pengorbananku tak boleh sia-sia, batin Radian.
Laki-laki itu akhirnya membuang bulatan kertas itu di tong sampah dan berlari kecil mengiringi langkah Leana.
"Sebelah sini," ucap Radian mengarahkan di mana mobilnya terparkir.
Radian membuka pintu mobilnya, Leana berdiri di seberangnya di bagian belakang.
"Kamu pikir, aku sopirmu?" tanya Radian dengan suara keras dan tatapan kesal.
Leana bergeser dua langkah ke sampingnya lalu kembali diam menatap Radian.
"Ya ampun," ungkap laki-laki itu sambil melangkah ke arah Leana dan membukakan pintu mobil untuknya.
Leana tersenyum dan masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil gadis itu menyimpan kacamata hitamnya. Radian duduk di belakang kemudi.
"Aku ingin dipijat, antarkan aku ke klinik Spa dan Massage yang terbaik di kota ini!"
"Apa?"
"Kamu tidak dengar?"
"Tentu saja aku dengar, aku hanya kaget, kenapa aku harus mengantarmu ke spa?" tanya Radian.
"Karena aku pegal, 22 jam perjalanan. Apa kamu tidak bisa membayangkan betapa lelahnya aku?" tanya Leana sambil menatap lurus ke depan.
"Ya, aku tahu tapi kenapa harus aku yang mengantarmu?" tanya Radian.
Leana menatap ke arah tangan Radian memegang kemudi.
"Karena kamu yang menyetir mobil ini," ucap Leana tenang.
Radian memejamkan matanya sambil mengusap wajahnya kasar. Leana tersenyum ke arah lain. Radian terpaksa menelpon personal assistant-nya untuk menanyakan klinik Spa dan Massage terbaik di kota itu dan mengantar Leana.
"Silahkan menunggu di sini ya," ucap Leana.
"Apa? Aku harus menunggu?"
"Ya! Selamat menunggu," ucap Leana sambil menampilkan senyum terbaiknya.
Radian terpaku, bukan hanya karena kecantikan Leana. Namun senyum dengan mata yang disipitkan itu mengingatkannya pada Livia.
...~ Bersambung ~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
simbok
kasian bgt Livia,,tp syukurlah bertemu dokter Jamal,,
2022-12-03
1
Niffi.ifie
Ha Ha Ha 😂
2022-04-24
1
Niffi.ifie
keberuntungan memihakmu, Shanty
2022-04-24
1