Livia tahu kondisi perusahaan ayahnya tak kunjung membaik. Tak sengaja Livia mendengar percakapan ayahnya dan Shanty.
"Cukup Pa, aku tak mau menjual perhiasanku lagi, untuk apa aku membeli selama ini jika akhirnya harus aku jual," ucap Shanty.
"Ini hanya untuk sementara, nanti jika kamu bisa membelinya kagi. Demi berhemat dilakukan pemotongan gaji seluruh karyawan. Bahkan ada yang belum bisa dibayarkan. Sementara kamu masih terlihat berfoya-foya, itu membuat para karyawan tak percaya kalau aku tak mampu membayar karyawanku. Hentikan kebiasaanmu membeli produk bermerek dengan harga yang fantastis, setidaknya untuk saat ini," ucap Robert memohon dengan wajah yang murung.
Livia menitikkan air mata mendengar suara ayahnya yang menghiba. Belum pernah seumur hidupnya terdengar begitu memohon. Sementara suara Shanty terdengar seperti tak peduli. Livia ingin menyerahkan perhiasan miliknya yang pernah dibelikan ibu kandungnya. Hanya sepasang anting-anting yang melekat dirinya sejak gadis itu masih kecil.
Gadis itu kembali ke kamarnya dengan air mata yang masih mengalir. Terisak-isak sendiri di kamarnya, Livia mencoba untuk tidur. Di tengah malam ayahnya masuk ke kamar dan menggenggam kedua tangan putrinya.
"Pa?" Terdengar suara Livia yang bangun.
"Maaf Nak, Papa membangunkanmu?" tanya Robert dan Livia menggeleng.
"Sebenarnya Livia susah tidur," jawabnya.
"Kenapa?"
"Selalu ingat kesulitan perusahaan Papa," jawab Livia.
"Itu bukan urusanmu Nak, itu urusan Papa. Biar Papa yang pikirkan, kamu masih kecil belum menjadi tanggung jawabmu. Nanti kalau sudah besar, kamu boleh mengambil semua tanggung jawab Papa … kalau Papa sudah tidak ada," jelas Robert.
Hening, keduanya terdiam.
"Pa, Livia punya anting-anting bisa dijual nggak Pa untuk bantu perusahaan Papa," ucap Livia.
"Bisa," ucap Robert sambil tersenyum. "Tapi, tidak cukup untuk membiayai kebutuhan perusahaan Papa. Jadi disimpan saja ya Nak, karena cuma itu yang kamu punya. Kamu dan Mama adalah orang-orang sederhana yang tak pernah memiliki keinginan untuk mengoleksi perhiasan, tapi itu pembelian Mama bukan? Simpan saja baik-baik sebagai kenangan-kenangan dari Mama," ucap Robert lalu tertunduk menangis.
Livia bangun dan duduk di samping ayahnya.
"Papa kenapa?"
"Livia, Papa minta maaf Nak. Karena tidak bisa memberikan kebahagiaan untukmu. Papa tahu sejak awal menikahi Shanty, kamu banyak mengalah demi mereka. Papa minta maaf Nak, Papa gagal mendidik mereka dan maafkan Papa karena kondisi kita jadi seperti ini," ucap Robert sambil membelai wajah Livia yang telah rusak.
Laki-laki itu menangis mengusap bekas-bekas luka di wajah Livia. Penyesalan terbesar Tn. Robert adalah tak sanggup membiayai operasi plastik putrinya. Gadis itu menangis tersedu-sedu melihat ayahnya yang begitu sedih. Kedua ayah dan anak itu menangis bersama.
Siangnya Livia mendapat panggilan dari guru piket. Gadis itu diminta untuk ke rumah sakit karena ayahnya yang sedang kritis.
"Papa kenapa? Papa kenapa?" tanya Livia di sepanjang jalan menuju rumah sakit.
Guru wali kelas itu hanya bisa menangis sambil memeluk Livia. Gadis itu menangis sesenggukan. Sesampai di rumah sakit Livia langsung memeluk ayahnya yang telah tiada.
"NGGAK! NGGAK! NGGAK!" Jangan tutup wajah Papa! Jangan tutup wajah Papa!" jerit Livia sambil menggelengkan kepalanya.
Tangan Livia menyibak kain putih yang ingin ditutupkan ke wajah ayahnya. Tangisnya yang pilu memecah keheningan di instalasi gawat darurat itu. Livia tak bisa menerima kenyataan. Dokter itu akhirnya menggelengkan kepala pada suster yang ingin menutupi wajah Tn. Robert.
Livia menangis sejadi-jadinya, kenyataan harus melihat wajah orang tuanya ditutupi kain putih untuk kedua kali tak bisa diterimanya. Namun sekarang Livia telah cukup dewasa. Gadis tiga belas tahun itu telah cukup mengerti keadaan bahwa melarang suster menutup wajah ayahnya takkan bisa membuat ayahnya hidup lagi.
Kembali Livia menjalani prosesi pemakaman orang yang disayanginya. Namun kali ini gadis itu hanya berdiri terpaku dengan air mata yang selalu meleleh meski sesering apa pun dia mengusapnya. Tak lagi ada jeritan untuk menghalangi tugas para pengubur jenazah.
Papa pasti bahagia bersama Mama 'kan? Livia ikhlas Pa, asalkan Papa bahagia di sana bersama Mama, batin Livia dengan air mata yang tak berhenti mengalir.
Livia beranggapan bahwa dengan kepergian ayahnya itu membuat penderita ayahnya di dunia juga telah berhenti sampai disitu. Ayahnya tak perlu lagi menangis sambil memeluknya. Tak perlu sedih melihat wajahnya yang telah rusak. Tak perlu lagi memikirkan perusahaannya. Tak perlu merasa bersedih menghadapi keluarganya yang tak peduli padanya.
Tanpa sadar Livia mengangguk, dengan air mata yang masih mengalir deras. Gadis itu akhirnya mengikhlaskan kepergian ayahnya. Meninggalkan Livia yang harus menjalani hidup berempat bersama keluarga tirinya meski dalam kesehariannya merasa hidup seorang diri.
"Bi Iyah harus dipecat."
"Apa? Kenapa Mom?" tanya Livia yang tak ingin berpisah dengan satu-satunya orang yang masih peduli padanya.
"Kamu tidak lihat, Papamu sendiri tak bisa membayar gaji karyawannya. Lalu bagaimana kita bisa mengatasinya?" Ucap Shanty balik bertanya.
"Tapi Bi Iyah sudah lama ikut kita," ucap Livia sambil tertunduk.
"Kalau dia mau bekerja tanpa makan tanpa digaji tidak apa-apa. Para karyawan yang berdemo itu mungkin membiarkan kita bernapas sebentar saja. Setelah itu mereka akan kembali menagih gaji yang belum mereka dapatkan. Belum lagi hutang yang harus dibayarkan pada pihak ketiga. Dari mana semua itu kita dapatkan? Kita harus berhemat mulai sekarang," ucap Shanty di depan ketiga anaknya.
Kata-kata yang pernah diucapkan Papa, kini muncul dari mulut Mommy. Tapi Papa memang berhemat, bagaimana dengan Mommy? Apakah bisa berhemat? Batin Livia bertanya-tanya.
Livia menoleh ke arah Bi Iyah yang hanya tertunduk pasrah. Baginya tak masalah jika tak digaji asalkan bisa tetap di sisi putri dari majikannya yang telah diasuhnya sejak bayi. Namun Bibi itu tahu, Shanty dengan berbagai alasan sudah tidak menginginkannya lagi berada di rumah itu.
Livia menangis saat menatap kepergian Bibi yang sedari kecil mengasuh dan merawatnya. Kasih sayang Livia pada Bi Iyah sama seperti rasa sayangnya pada kedua orang tuanya. Bi Iyah pun merasakan demikian, Livia sudah seperti putrinya sendiri.
Keesokan harinya keluarga Chandra kedatangan seorang tamu. Tn. Rizaldi, yang mana adalah pengacara Tn. Robert.
"Maaf saya baru tahu kecelakaan yang menimpa Tuan Robert di tanah air karena saya baru pulang dari luar negeri," ucap Rizaldi.
Shanty mengangguk-angguk, dengan penuh tanda tanya di kepalanya. Pengacara Tn. Robert itu akhirnya menceritakan maksud kedatangannya bahwa Tn. Robert adalah nasabah pemegang premi asuransi jiwa dengan besaran premi tertinggi.
Tn. Rizaldi mengeluarkan sebuah map berlogo perusahaan asuransi yang berisi lembaran polis asuransi. Tn. Rizaldi menyerahkan kontrak perjanjian kerjasama Perusahaan Penyedia Asuransi dengan Tn. Robert Chandra sebagai nasabah Pemegang Polis.
Shanty Rahayu menerima dan segera membacanya. Raut wajahnya sedikit berubah saat melihat nominal manfaat yang bisa diterimanya dari klaim asuransi itu. Shanty langsung menyetujui untuk mengurus klaim asuransi berjumlah sangat besar itu. Dengan nominal itu Shanty bisa memenuhi kewajiban perusahaan pada kreditur hingga kondisi perusahaan itu pun dapat diselamatkan.
Setelah perusahaan stabil, Tn. Rizaldi pun kembali datang untuk membawakan surat wasiat dari Tn Robert Chandra.
"Suamiku membuat surat wasiat?" tanya Shanty tercengang.
Tn. Rizaldi mengangguk, seorang asisten yang ikut menjadi saksi pembuatan surat wasiat itu mengeluarkan sebentuk amplop tertutup. Shanty dan semua anaknya duduk berhadapan dengan para pengacara itu.
Mata Shanty tak berkedip saat menatap amplop yang dibuat dengan akta di hadapan notaris itu. Sebuah akta yang memberikan kejelasan kepemilikan harta benda yang ditinggalkan suaminya saat suaminya meninggal dunia.
Berbeda dengan Livia yang memandang amplop itu dengan tatapan yang sayu. Dengan matanya yang berkaca-kaca gadis itu membayangkan ayahnya memikirkan dan menulis surat wasiat itu. Livia tertunduk sambil menghapus air matanya. Jika boleh diganti dia tak inginkan akta wasiat itu muncul, dia ingin ayahnya yang kembali padanya.
Surat wasiat itu pun dibacakan. Shanty beserta seluruh anak-anak mendengar Tn. Rizaldi membacakan surat wasiat Tn. Robert. Namun Shanty Rahayu terkejut luar biasa saat mendapati suaminya menyerahkan seluruh warisan atas nama Livia Chandra, putrinya kandungannya, saat gadis remaja itu beranjak dewasa.
Sementara Shanty dan anak-anaknya hanya mendapat uang bulanan sama seperti sebelum Tn Robert meninggal. Darah di dalam tubuh Shanty terasa mendidih saat mendengar pembacaan surat wasiat itu namun Shanty berusaha untuk tenang. Berbeda dengan Livia yang terkejut dan Monica yang ternganga.
"KURANG AJAR! KURANG AJAR! SETELAH SEKIAN LAMA MENDAMPINGIMU HANYA UANG BULANAN YANG AKU DAPATKAN? MENURUTMU SIAPA YANG MENYELAMATKAN PERUSAHAANMU? KURANG AJAR! KURANG AJAR!" teriak Shanty sambil mengobrak-abrik isi kamarnya.
Livia mengerti kemarahan ibu tirinya, namun dia sendiri tak punya kuasa apa-apa. Meski tak bicara secara langsung namun dalam kesehariannya Shanty semakin membenci Livia. Shanty menjadikan gadis berwajah cacat itu sebagai asisten rumah tangga di rumahnya sendiri.
Jika terjadi kesalahan maka tak segan-segan Shanty menghukumnya. Seperti hari ini, Livia terlambat menyiapkan sarapan untuk mereka. Gadis itu pun tak mendapat jatah sarapan. Namun beruntung saat melangkahkan kakinya ke sekolah dengan lunglai, Radian melempar kantong plastik berisi sandwich buatan Livia sendiri.
"Kak!" teriak Livia.
Laki-laki yang tak pernah tersenyum itu menghentikan langkahnya.
"Ayo makan sama-sama," ucap Livia riang.
Gadis itu tahu persis, Radian hanya memakan sepotong dan selebihnya ada di kantong plastik itu.
"Aku tidak suka!" ucapnya lalu melanjutkan langkahnya.
Radian yang memang tak pernah ingin menikmati kemewahan di rumah itu selalu memilih naik angkutan umum untuk ke sekolahnya dan sekarang Livia pun begitu. Mobil milik ayahnya dikuasai sepenuhnya oleh Shanty, sementara mobil Shanty beserta sopir untuk menunjang aktivitas Monica.
"Nggak mungkin, nggak suka. Biasanya Kak Radian selalu menghabiskan sandwich buatan Bu Iyah," ucap Livia sambil mensejajarkan langkah mereka meski agak kesulitan karena Radian dengan tungkai kakinya yang panjang membuat satu langkah Radian menjadi dua langkah bagi Livia.
"Memangnya ini buatan Bi Iyah?" tanya Radian tanpa menoleh.
"Aaah, Kakak banyak bicara sekarang. Aku jadi tahu suara Kakak," ucap Livia sambil mengangkat wajahnya demi menatap pemuda tampan itu.
Livia memang jarang mendengarnya berbicara. Belakangan agak sering namun hanya untuk menghentikan keributan yang ditimbulkan oleh teriakan Monica yang menganiaya Livia. Dan Livia tentu saja tak memperhatikan suara Kakak laki-lakinya itu karena sedang menangis.
"Makasih ya Kak, karena Kak Radian sering menolongku," ucap Livia tulus.
"Aku tidak menolongmu, aku hanya tidak suka keributan," ucap laki-laki pendiam itu.
Mendengar Radian bicara lagi, Livia tertawa. Setelah hitungan tahun gadis itu tak lagi bisa tertawa. Sejak wajahnya rusak ditambah ayahnya yang meninggal tiba-tiba. Bagi Livia meski Radian tak berniat menolongnya tapi menghentikan perbuatan Monica, itu menjadi sebuah pertolongan baginya.
Gadis itu mengeluarkan sandwich dari kantong plastik itu dan menyodorkannya ke mulut Radian.
"Nggak mau!" ucapnya ketus.
"Ayolah satu sandwich untuk Kakak, satu sandwich untukku. Kakak harus makan lebih banyak dariku karena Kakak lebih tua dan lebih tinggi. Ayo Kak," ucap Livia.
"TIDAK MAU!" ucapnya keras dan segera naik bus menuju sekolahnya.
Langkah Livia terhenti karena Livia harus memilih bus yang berbeda. Gadis itu melambaikan tangannya yang menggenggam sandwich sambil tersenyum. Radian yang tadinya tak peduli akhirnya menoleh dan menatap wajah yang tertutup masker itu. Hanya menatap mata Livia yang menyipit menandakan gadis itu sedang tersenyum.
Radian bersikeras tak mengambil sandwich yang disodorkan Livia karena dirinya masih dibekali uang jajan. Berbeda dengan Livia yang hanya dibekali ongkos angkutan umum. Radian kembali menoleh ke arah Livia yang masih melambai-lambai. Entah apa sebabnya laki-laki itu ingin kembali melihat Livia yang masih melambaikan sandwich padanya.
Sepulang sekolah Livia di jemput oleh Shanty dan Monica. Mereka mengajak Livia berlibur ke Villa.
"Tapi aku tak bawa pakaian ganti Mommy?" tanya Livia.
Shanty sedikit kaget dengan pertanyaan Livia. Namun segera wanita itu mencari alasan.
"Ini acara dadakan untuk memberi surprise pada Radian. Dia dinyatakan lulus di universitas di luar negeri," ucap Shanty seenaknya.
"Benarkah? Wah Kak Radian hebat," ucap Livia kagum.
Rasa kagum dan sayang Livia pada Kakaknya yang satu itu semakin menjadi. Baginya meski terlihat tak acuh dan ketus tapi Radian satu-satunya keluarga yang tidak pernah menyakitinya.
Sepanjang perjalanan Livia bahagia karena akan ikut merayakan keberhasilan Kakak laki-lakinya itu. Namun mesin mobil tiba-tiba mati. Shanty segera mengarahkan mobil itu ke pinggir.
"Kenapa Mommy?" tanya Livia.
"Entahlah tiba-tiba mesinnya mati. Ayo kita turun dulu, minta bantuan pada orang lewat," ucap Shanty.
Mereka bertiga pun turun, di daerah pengunungan dan sepi. Monica dan Shanty melihat-lihat ke jalanan apakah ada mobil atau siapa pun yang lewat. Namun jalan dengan hutan, tebing dan jurang itu sangat sepi dilalui. Terlebih bukan saat liburan.
Posisi mobil yang berhenti di pinggir jurang itu pun sebenarnya sangat mengkhawatirkan. Livia juga melihat ke kanan dan ke kiri namun tetap tak melihat siapapun. Lelah melihat ke jalan Livia menoleh ke arah belakangnya.
Namun tiba-tiba Shanty dan Monica mendorong gadis itu hingga terperosok jatuh ke dalam jurang. Dengan senyum puas kedua wanita berhati iblis itu meninggalkan lokasi yang menjadi saksi bisu kejahatan mereka.
Setiap kali Shanty melihat Livia, setiap kali itu pula kebenciannya bertambah. Teringat harta warisan suaminya yang begitu diharapkannya jatuh ke tangan anak tirinya itu tanpa menyisakan apa pun untuk dia dan anak-anaknya.
Namun jika Shanty sedikit sadar diri, harusnya dia bersyukur atas apa yang telah diberikan suaminya selama ini. Kehidupan mewah yang tadinya hanya sebuah halusinasi baginya bisa tercapai berkat Tn. Robert yang menikahinya demi putrinya. Namun kenyataannya kasih sayang yang tadinya terlihat tulus ternyata penuh kepalsuan.
Sangat wajar jika Tn. Robert lebih mengkhawatirkan putrinya. Karena Tn. Robert tahu. Jika seluruh warisan jatuh ke tangan putrinya, Livia tak akan menelantarkan ketiga orang itu. Sebaliknya jika semua warisan diserahkan pada istrinya itu, maka dengan mudah wanita itu mengusir Livia.
Namun mengharapkan Shanty menjadi orang yang tahu diri dan tahu berterima kasih adalah hal yang percuma. Hatinya telah dipenuhi oleh rasa dendam hingga akhirnya Shanti Rahayu merencanakan pembunuhan terhadap putri tirinya sendiri.
Keesokan harinya Monica membuat kehebohan yang membuat Radian keluar dari kamarnya karena kesal.
"Kak lihat, Livia bunuh diri," ucap gadis itu sambil memperlihatkan buku harian Livia.
Tertulis kesedihan dan penyesalannya atas kecelakaan yang menimpanya hingga akhirnya merusak wajahnya. Di sana juga tertulis rasa sedih Livia karena kehilangan ayahnya hingga gadis itu merasa tak mampu lagi meneruskan hidupnya.
Radian langsung membuka lembaran-lembaran sebelumnya. Terlihat tulisan yang sama, Livia benar-benar menulis penyesalannya itu. Kata-kata 'rasanya aku tak sanggup lagi meneruskan hidupku' menjadi senjata bagi Monica untuk meyakinkan Kakaknya.
Gadis yang selalu usil dan ingin tahu isi diary Livia itu pada suatu hari menunjukkan diary itu pada ibunya. Awalnya hanya untuk menertawakan gadis malang itu namun sekarang digunakan sebagai alibi atas Livia yang tak pulang sejak berangkat sekolah kemarin pagi.
Radian tak menyangka hari itu, hari di mana mereka berjalan bersama adalah hari terakhir baginya menatap adik tirinya itu. Karena tanpa disadarinya, ibu kandungnya telah merencanakan pembunuhan terhadap gadis malang itu
Meski tak begitu dekat, meski merasa tak menyayangi Livia. Namun saat-saat terakhir bersama gadis itu terbayang dalam ingatannya. Suara tawanya, sipit matanya saat tersenyum, dan lambaian tangannya. Tak bisa lenyap dari pikiran Radian hingga tanpa terasa air matanya menetes.
Shanty mengumumkan kehilangan putrinya dengan menampilkan bukti rasa penyesalan dan kesedihan Livia, rasa putus asa hingga tak sanggup hidup lagi yang tertuang dalam buku harian Livia. Ditambah dengan berita ditemukannya mayat beberapa kilometer dari lokasi di dorongnya Livia.
Shanty Rahayu bebas menguasai kekayaan almarhum suaminya.
Namun tanpa diketahui Shanty, Livia yang jatuh ke jurang dengan sungai di bawahnya itu. Diselamatkan oleh seorang dokter bedah plastik yang sedang memperingati hari kematian putrinya di lembah dengan sungai tepat di mana Livia jatuh.
Livia dijadikan putri angkatnya dan dibawa ke luar negeri untuk melakukan rekonstruksi wajah. Livia yang cantik, cerdas dan kaya raya kembali mendekati keluarga itu yang tak lagi mengenalinya untuk membalas dendam.
...~ Bersambung ~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
✨viloki✨
Ntar ketemu radian di LN?
2022-06-06
0
Mustika Aira
wahhh seru seruuu,,, semangat KK 💪🏻💪🏻
2022-04-07
0
Kymilla Cania Juita
Next
2022-03-31
0